Khazanah
Beranda » Berita » Kisah Dzulkarnain: Pemimpin Adil Penakluk Timur dan Barat

Kisah Dzulkarnain: Pemimpin Adil Penakluk Timur dan Barat

Ilustrasi Kepemimpinan Dzulkarnain

SURAU.CO – Kisah Dzulkarnain adalah salah satu narasi agung dalam Al-Quran. Kisahnya terabadikan dengan indah dalam Surah Al-Kahfi ayat 83 hingga 98. Ia bukanlah seorang nabi, melainkan seorang raja yang saleh. Allah SWT memberinya kekuasaan, ilmu, dan kekuatan yang luar biasa. Oleh karena itu, ia menjadi teladan pemimpin yang adil dan bijaksana sepanjang masa.

Identitas asli Dzulkarnain sendiri masih menjadi misteri. Beberapa ahli tafsir mengaitkannya dengan Alexander Agung dari Makedonia. Namun, sebagian besar ulama menolaknya karena perbedaan akidah yang mendasar. Ada pula yang berpendapat ia adalah Cyrus Agung, raja Persia yang dikenal adil. Terlepas dari siapa sosoknya, hikmah dari perjalanannya jauh lebih penting untuk kita renungi.

Perjalanan Pertama: Menuju Ufuk Barat

Perjalanan Dzulkarnain dimulai atas petunjuk dari Allah SWT. Ia menempuh sebuah perjalanan jauh ke arah matahari terbenam. Al-Quran menggambarkannya tiba di suatu tempat di mana ia melihat matahari seakan terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam.

Di sana, ia bertemu dengan suatu kaum. Allah kemudian memberinya pilihan. Dzulkarnain bisa menyiksa kaum tersebut atau berbuat baik kepada mereka. Di sinilah keadilannya teruji.

Dengan tegas, Dzulkarnain menunjukkan prinsip kepemimpinannya. Ia berkata bahwa orang-orang yang zalim akan menerima azab. Kemudian, mereka akan dikembalikan kepada Tuhannya untuk menerima siksa yang lebih pedih. Sebaliknya, orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan mendapatkan balasan terbaik. Mereka juga akan menerima perlakuan yang mulia. Keputusan ini menunjukkan kebijaksanaan dan keadilannya yang tak pandang bulu.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Perjalanan Kedua: Menjelajahi Ufuk Timur

Setelah menyelesaikan urusannya di barat, Dzulkarnain melanjutkan ekspedisinya. Kali ini, ia bergerak ke arah timur, menuju tempat terbitnya matahari. Perjalanannya membawanya kepada sebuah negeri yang sangat berbeda.

Ia menemukan suatu kaum yang hidup sangat sederhana. Mereka tidak memiliki bangunan atau pakaian yang dapat melindungi diri dari sengatan matahari. Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci interaksi Dzulkarnain dengan mereka. Namun, ayat tersebut menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah yang meliputi segala urusan hamba-Nya, termasuk kekuasaan Dzulkarnain.

Perjalanan Ketiga: Membangun Tembok Penghalang Ya’juj dan Ma’juj

Perjalanan ketiga menjadi puncak dari kisah Dzulkarnain. Ia tiba di sebuah daerah yang terletak di antara dua gunung besar. Di sana, ia bertemu kaum yang bahasanya hampir tidak dapat dipahami.

Kaum tersebut mengadukan masalah besar mereka. Mereka berkata, “Wahai Dzulkarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu (makhluk) yang berbuat kerusakan di muka bumi.” Mereka adalah dua suku yang sangat buas dan selalu menimbulkan kehancuran.

Masyarakat di sana kemudian menawarkan imbalan besar. Mereka siap membayar upeti agar Dzulkarnain mau membuatkan dinding penghalang. Dinding itu diharapkan bisa melindungi mereka dari serangan Ya’juj dan Ma’juj.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Namun, Dzulkarnain dengan rendah hati menolak tawaran itu. Ia menunjukkan bahwa karunia dari Allah jauh lebih berharga daripada harta duniawi. Ia berkata:

“Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” (QS. Al-Kahfi: 95)

Dzulkarnain hanya meminta bantuan tenaga dan peralatan. Ia kemudian memerintahkan mereka untuk membawa potongan-potongan besi. Besi itu disusun hingga tingginya sama rata dengan kedua puncak gunung. Selanjutnya, ia meminta mereka meniupkan api ke tumpukan besi tersebut hingga seluruhnya membara.

Ketika besi telah merah menyala seperti api, ia meminta langkah terakhir. Dzulkarnain memerintahkan agar tembaga yang mendidih dituangkan ke atasnya. Akhirnya, terbentuklah sebuah dinding raksasa yang sangat kokoh. Tembok itu begitu licin dan tinggi. Ya’juj dan Ma’juj tidak akan mampu mendakinya. Mereka juga tidak sanggup untuk melubanginya.

Setelah selesai, Dzulkarnain tidak menunjukkan kesombongan. Ia justru mengembalikan semua pujian kepada Allah. Ia berkata:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Dinding ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar.” (QS. Al-Kahfi: 98)

Pernyataannya menjadi pengingat bahwa sekuat apa pun ciptaan manusia, ia akan hancur atas kehendak Allah SWT kelak di akhir zaman. Kisah Dzulkarnain mengajarkan kita tentang kekuatan yang diimbangi keimanan, kepemimpinan yang adil, serta kerendahan hati dalam menerima karunia Tuhan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement