Adab Memberi Nasehat: Kunci Memperbaiki Tanpa Melukai
Memberi nasehat adalah salah satu bentuk kebaikan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, sebagaimana ilmu dan amal lainnya, memberi nasehat pun memiliki adab dan tata cara yang harus diperhatikan agar pesan tersampaikan dengan baik dan tujuan perbaikan tercapai. Imam Syafi’i Rahimahullah mengingatkan kita bahwa cara memberi nasehat sangat menentukan hasilnya.
Imam Syafi’i berkata:
“Barang siapa memberikan nasehat kepada saudaranya dengan sembunyi-sembunyi maka sungguh ia telah menasehati dan memperbaikinya. Sedangkan orang yang memberikan nasehat kepada saudaranya secara terbuka (di khalayak umum) maka sungguh ia telah membongkar aib dan mengkhianatinya.” — (Al Hilyah)
Nasehat secara sembunyi: Menjaga kehormatan, membangun kebaikan
Memberi nasehat secara sembunyi berarti mengingatkan atau menegur seseorang secara pribadi dan rahasia, tanpa mengekspos kesalahannya di depan orang lain.
Sikap ini menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang kepada yang dinasehati.
Dengan cara ini, orang yang dinasehati merasa dihargai, tidak dipermalukan, sehingga lebih terbuka untuk menerima dan memperbaiki diri.
Nasehat secara terbuka: Membongkar aib, merusak ukhuwah
Sebaliknya, memberi nasehat dengan cara membuka aib seseorang di depan umum justru bisa membuat orang tersebut malu, sakit hati, bahkan marah.
Hal ini berpotensi merusak hubungan baik, memecah belah persaudaraan, dan meninggalkan luka batin yang sulit disembuhkan.
Dalam Islam, menjaga kehormatan orang lain adalah bagian dari akhlak mulia yang sangat dijunjung tinggi.
Hikmah di balik adab memberi nasehat
Islam mengajarkan bahwa niat baik harus diiringi dengan cara yang baik pula agar kebaikan itu benar-benar sampai kepada sasaran dan tidak menimbulkan mudharat.
Memberi nasehat dengan penuh hikmah, kelembutan, dan rahasia adalah bentuk kasih sayang yang membawa pada perubahan positif.
Penutup: Mari kita biasakan memberi nasehat dengan cara yang mulia, menghargai perasaan orang lain, dan menjaga kehormatan mereka. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi pemberi nasehat, tetapi juga pelaku kebaikan yang sejati.
Titik Mesra Sunnah, Syi’ah, dan Ahmadiyah: Menemukan Ruang Dialog dalam Perbedaan.
Dalam dunia Islam yang luas dan beraneka ragam, perbedaan mazhab dan pandangan keagamaan sering menjadi sumber ketegangan dan konflik. Namun, buku “Titik Mesra: Sunnah, Syi’ah dan Ahmadiyah” karya Dr. Asrar Mabrur Faza menghadirkan sebuah perspektif penting yang mengajak kita membuka dialog yang konstruktif antar kelompok tersebut. Buku ini menjadi suara penting dalam mendorong toleransi dan saling pengertian di tengah keberagaman.
Mengapa Dialog Antarmazhab Penting?
Sejarah panjang umat Islam menunjukkan bahwa perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan adalah hal yang alami. Sunnah sebagai mayoritas, Syi’ah dengan tradisi khasnya, dan Ahmadiyah dengan keyakinan yang unik, semua memiliki titik persamaan dan perbedaan yang perlu dikaji secara objektif dan terbuka. Konflik yang berlarut-larut dan sikap eksklusif hanya akan menimbulkan perpecahan dan mengabaikan potensi persatuan umat.
Apa Makna “Titik Mesra”?
Istilah “titik mesra” dalam buku ini menggambarkan titik temu, atau ruang keakraban yang dapat ditemukan antar penganut berbagai mazhab. Titik ini bukan berarti menghilangkan identitas masing-masing, melainkan mengakui adanya kesamaan nilai-nilai dasar, seperti keimanan kepada Allah, penghormatan pada Nabi Muhammad SAW, dan semangat untuk menjalankan ajaran Islam secara damai dan beradab. Titik mesra menjadi fondasi dialog sehat yang menghindari saling menyalahkan dan kebencian.
Peran Akademisi dan Ulama dalam Dialog
Dr. Asrar Mabrur Faza, dengan latar belakang keilmuan yang kuat, menunjukkan bagaimana peran akademisi dan ulama sangat vital dalam membuka ruang dialog. Dengan pendekatan ilmiah dan adil, mereka bisa menjadi jembatan pemahaman, bukan sekadar pengulas rujukan yang mempertegas perbedaan. Pendekatan seperti ini menghindarkan umat dari fanatisme sempit dan menumbuhkan sikap saling menghargai.
Toleransi sebagai Kunci Kebersamaan
Penulis menegaskan bahwa toleransi bukan hanya sikap pasif menerima perbedaan, tetapi aktif membangun kerjasama dan dialog. Hal ini relevan di era modern yang penuh dinamika sosial dan kultural. Dengan dialog terbuka, umat Islam dapat menghadirkan wajah yang ramah dan harmonis di mata dunia, serta memperkuat keutuhan internal tanpa kehilangan jati diri.
Relevansi Buku untuk Masa Kini
Tantangan umat Islam kini tidak hanya soal mempertahankan aqidah dan ritual, tetapi juga bagaimana menghadapi realitas pluralitas dan globalisasi. Buku ini memberikan panduan penting agar perbedaan tidak menjadi penghalang, melainkan kekuatan untuk memperkaya pemahaman keagamaan dan sosial.
Penutup: Merajut Persatuan Lewat Pemahaman
“Titk Mesra: Sunnah, Syi’ah dan Ahmadiyah” mengingatkan kita bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, termasuk untuk umatnya sendiri yang beragam. Dengan menanamkan sikap terbuka, menghargai, dan mau belajar dari perbedaan, umat Islam dapat membangun persatuan yang kokoh dan damai. Buku ini layak menjadi bacaan bagi siapa saja yang ingin memahami dan merawat kebhinekaan dalam Islam secara bijak. (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
