SURAU.CO – Di tengah isu kerukunan yang sering mengemuka, sejarah Islam menawarkan pelajaran berharga. Kita bisa meneladani langsung dari Sang Uswatun Hasanah, Nabi Muhammad SAW. Jauh sebelum dunia modern mengenal konsep hak asasi manusia, beliau telah mempraktikkannya. Kisah toleransi umat beragama di zaman Rasulullah bukanlah sekadar narasi. Namun, ini adalah bukti nyata ajaran Islam yang damai dan inklusif.
Ajaran ini tidak hanya terbatas pada teori. Rasulullah SAW membuktikannya melalui tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Beliau membangun masyarakat yang menghargai perbedaan.
Piagam Madinah: Fondasi Negara Pluralistis
Langkah monumental pertama Rasulullah setibanya di Madinah adalah menyusun sebuah konstitusi. Dokumen ini dikenal luas sebagai Piagam Madinah. Piagam tersebut menjadi landasan hukum bagi masyarakat Madinah yang majemuk. Saat itu, Madinah dihuni oleh kaum Muslimin, Yahudi, Nasrani, dan kelompok lainnya.
Melalui Piagam Madinah, Rasulullah menjamin kebebasan beragama bagi semua penduduk. Setiap kelompok berhak menjalankan keyakinan dan ritualnya masing-masing. Mereka juga memiliki kedudukan hukum yang sama. Salah satu pasalnya menegaskan bahwa kaum Yahudi dari Bani Auf adalah satu umat bersama kaum mukminin. Kaum Yahudi memiliki agama mereka, dan kaum Muslimin pun memiliki agama mereka.
Piagam ini bukan sekadar perjanjian damai. Dokumen ini secara efektif mendirikan negara kewarganegaraan pertama. Semua warga, tanpa memandang suku atau agama, memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk membela negara dari serangan luar.
Interaksi Hangat dengan Umat Nasrani Najran
Kisah lain yang sangat menginspirasi datang dari interaksi Nabi Muhammad dengan delegasi Kristen dari Najran. Sekelompok pemuka Nasrani datang ke Madinah untuk berdialog tentang teologi. Rasulullah menyambut mereka dengan sangat baik di Masjid Nabawi. Beliau menjamu mereka dan memberikan ruang untuk berdiskusi secara terbuka.
Puncak dari peristiwa ini terjadi ketika waktu ibadah mereka tiba. Tanpa ragu, Rasulullah SAW mempersilakan delegasi tersebut untuk melakukan kebaktian di dalam Masjid Nabawi. Mereka pun beribadah menghadap ke arah timur, sesuai dengan keyakinan mereka. Peristiwa ini menunjukkan keluhuran akhlak Nabi. Beliau tidak hanya menghormati keyakinan lain, tetapi juga memfasilitasi ibadah mereka di tempat suci umat Islam.
Welas Asih kepada Individu Non-Muslim
Toleransi Rasulullah tidak hanya berlaku pada level komunal atau politik. Sikap tersebut juga tercermin dalam interaksi personal beliau. Diriwayatkan bahwa seorang anak Yahudi yang biasa melayani Nabi jatuh sakit. Mendengar kabar itu, beliau segera menjenguknya.
Beliau duduk di sisi kepala anak itu dan dengan lembut mengajaknya memeluk Islam. Anak itu memandang ayahnya yang juga berada di sana. Sang ayah berkata, “Taatilah Abul Qasim (panggilan Nabi Muhammad).” Akhirnya, anak itu pun masuk Islam. Rasulullah kemudian keluar seraya berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR. Bukhari)
Kisah ini menunjukkan kepedulian tulus Rasulullah yang melintasi batas-batas keimanan. Beliau melihat sesama manusia sebagai makhluk yang patut dikasihi.
Prinsip Fundamental: “Untukmu Agamamu, dan Untukku Agamaku”
Landasan teologis dari semua tindakan toleransi ini sangatlah kokoh. Al-Qur’an secara tegas memberikan panduan tentang hubungan antarumat beragama. Salah satu ayat yang paling fundamental adalah:
“لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ”
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)
Ayat ini bukanlah pernyataan permusuhan. Sebaliknya, ini adalah deklarasi pengakuan atas eksistensi keyakinan yang berbeda. Prinsip ini menegaskan tidak ada paksaan dalam beragama. Setiap individu memiliki hak untuk memilih jalan spiritualnya.
Kesimpulan: Teladan yang Abadi
Kisah toleransi umat beragama di zaman Rasulullah memberikan kita cermin. Beliau menunjukkan bahwa Islam dan toleransi adalah dua sisi mata uang yang sama. Melalui Piagam Madinah, interaksi dengan delegasi Najran, dan sikap welas asih personal, Rasulullah membangun fondasi masyarakat yang adil dan harmonis.
Warisan ini sangat relevan untuk kita hari ini. Di dunia yang semakin terhubung, teladan Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk mengedepankan dialog, rasa hormat, dan kemanusiaan di atas perbedaan. Dengan begitu, kerukunan sejati dapat kita wujudkan bersama.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
