SURAU.CO – Merujuk Kompilasi Hukum Islam terkait pernikahan, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Lebih lanjut, pernikahan itu sendiri bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Saat kita menghadiri proses ijab qobul pernikahan, biasanya kita menyaksikan calon pengantin pria menjabat langsung tangan wali nikah dalam proses ijab dan qobul. Akan tetapi, pernahkah kita mendapatkan pengalaman berbeda saat calon pengantin pria merupakan penyandang disabilitas fisik amputasi kedua tangan, dan tak dapat menjabat langsung tangan wali nikah?
Disabilitas Fisik
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, menyatakan bahwa:
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Terdapat beberapa ragam disabilitas, termasuk disabilitas fisik. Disabilitas fisik merupakan terganggunya fungsi gerak. Antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
Melangsungkan perkawinan bagi disabilitas, khususnya disabilitas fisik merupakan hak yang harus mendapat penghormatan dan perlindungan negara. Hak ini termasuk dalam hak privasi bagi disabilitas, yakni hak membentuk sebuah keluarga, dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Walaupun terdapat hambatan yang mereka alami, terdapat potensi-potensi untuk tetap berkontribusi dalam masyarakat. Salah satu penghambat bagi mereka untukpemenuhan hak yakni stigma negatif dan pandangan karitas. Sebuah perspektif bahwa penyandang disabilitas merupakan kelompok yang harus selalu mendapat belas kasihan dan bantuan. Oleh karena itu, melangsungkan sebuah perkawinan yang sah juga merupakan bagian pemenuhan hak disabilitas.
Hukum Berjabat Tangan
Mengutip dari buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas dari Lembaga Bahtsul Masail PBNU, para ulama dan pemerhati disabilitas dapat mensosialisasikan hal bahwa berjabat tangan dengan orang yang sejenis atau se-mahram hukumnya adalah sunah. Hal ini salah satunya mengacu dalam ungkapan Imam Nawawi yang mengatakan:
“Bersalam-salaman hukumnya Sunah secara Mujma’ alaih ketika dua orang saling bertemu. Sungguh Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Dawud dan Imam at-Tirmidzidi telah mengeluarkan Hadits dari Sahabat Bara’ bin Azid yang Nabi pernah bersabda: “Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian keduanya saling bersalaman kecuali diampuni dosa- dosanya sebelum mereka berdua berpisah.”
Menjabat Tangan Dalam Ijab-Qobul
Akad nikah merupakan suatu rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. Dalam rukun pernikahan terdapat syarat yakni : Calon Suami; Calon Isteri; Wali nikah; Dua orang saksi serta ljab dan Qobul.
Akan tetapi, yang perlu kita ketahui bahwa terkait konteks ‘berjabat tangan’ , bagi orang yang sedang melakukan akad nikah bukanlah termasuk rukun dan kewajiban nikah. Sehingga bagi seorang disabilitas fisik amputasi kedua tangan, ketika melakukan akad nikahnya memang tidak harus dengan menggunakan tangan. Selanjutnya akad nikahnya tetap sah.
Mu’aqanah Sebagai Sunnah
Selanjutnya, bagi disabilitas fisik amputasi kedua tangan bila bertemu orang lain yang sejenis atau mahramnya sekalipun, dia tidak dapat kesunnahan melakukan jabat tangan atau mushafahah. Yang dapat kita lakukan ketika bertemu dengan disabilitas fisik amputasi kedua tangan, dengan mempraktikkan ‘mu’anaqah’. Yakni saling menempelkan pundak satu sama lain. Mu’aqanah ini hukumnya sunnah.
Hal ini tercermin dalam ungkapan Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Roudhatutthalibin yang menyatakan:
“Disunnahkan mencium wajah temannya, apabila dia baru saja datang dari bepergian atau yang semisalnya dan juga disunnahkan untuk mu’anaqah (saling menempelkan pundak) karena adanya hadits shahih tentang kesunnahan keduanya. Adapun mu’anaqah (saling menempelkan pundak) dan mencium wajah untuk orang yang tidak dari bepergian jauh atau semisalnya maka hukum keduanya makruh. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam al-Baghawi dan yang lainnya dikarenakan adanya hadits shahih larangan bagi keduanya.
Sehingga jelas dalam bahasan terkait hukum jabat tangan bagi disabilitas fisik ketika akad nikah. Ini menandakan Islam tak pernah membedakan penyandang disabilitas, khususnya disabilitas fisik dengan yang non disabilitas. Karena semua manusia sama kedudukannya di hadapan Sang Pencipta. Sekaligus pula menunjukan bahwa Islam tidak pernah mempersulit umatnya dalam beribadah. Islam selalu memberikan kemudahan bagi umatnya untuk selalu dekat kepada Allah. (St.Diyar)
Referensi:
Lembaga Bahtsul Masail PBNU, FIQIH PENGUATAN PENYANDANG DISABILITAS, 2018.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
