Kisah
Beranda » Berita » Saladin: Dari Kepala Polisi Damaskus ke Penguasa Imperium

Saladin: Dari Kepala Polisi Damaskus ke Penguasa Imperium

Saladin: imperium
ilustrasi AI (sumber: gemini.google.com)

SURAU.CO – Yusuf bin Ayyub, nama asli Saladin, ia putra seorang tentara Kurdi yang beruntung. Ia lahir pada 1138 di Tikrit (kini Irak). Ayahnya dan pamannya, Shirkuh, mengabdi kepada Zangi (Imaduddin Zangi)– Panglima pasukan Muslim Damaskus–dan putranya, Nuruddin.

Yusuf besar di Damaskus, menikmati gegap gempit keduniawian pada  masa muda. Dia bermain pacuan kuda pada  malam hari dengan penerangan lilin bersama Nuruddin, yang menjadikannya kepala polisi Damaskus. Dia mempelajari al-Quran sekaligus juga silsilah kuda.

Dalam perjuangan merebut wilayah Mesir, Nuruddin mengirim Shirkuh, yang membawa serta
keponakannya, Yusuf, yang saat itu berusia dua puluh enam tahun. Bersama-sama dengan memimpin hanya 2.000 tentara berkuda dan mengatasi rintangan-rintangan yang melelahkan, Shirkuh dan Yusuf berhasil merebut Mesir dari angkatan perang Fatimiyah.

Saladin: Wazir Terakhir Fatimiyah

Pada Januari 1169, Yusuf, yang menyandang nama sangar, Saladin–Kebaikan dalam (menegakkan) Agama– dalam politiknya ia menyingkirkan  wazir yang kemudian digantikan oleh pamannya–Shirkuh. Tapi, Shirkuh meninggal karena serangan jantung.

Pada usia tiga puluh satu tahun, Saladin menjadi wazir terakhir  dinasti Fatimiyah. Pada 1071, ketika khalifah terakhir meninggal, ia menghapuskan kekhalifahan Syi’ah Mesir–yang tetap menjadi Sunni hingga kini, dan menyingkirkan pengawal-pengawal Sudan. Selanjutnya ia menambahkan Mekkah, Madinah, Tunisia dan Yaman ke dalam wilayah imperiumnya.

Mengenal Dunia agar Tidak Tertipu olehnya: Tafsir Hikmah Al-Hikam

Saladin Memperluas Imperium

Ketika Nuruddin meninggal pada 1174, Saladin menuju ke utara dan merebut Damaskus. Ia  pelan-pelan meluaskan imperiumnya dengan mencaplok banyak bagian dari Irak dan Syria, di samping Mesir. Akan tetapi penghubung kedua teritori itu adalah wilayah yang kini bernama Yordania, sebagian masih  dalam kekuasaan Tentara Salib. Terkait Yerusalem, Saladin menilai perang dengan Yerusalem tidak hanya memerlukan  teknologi perang yang bagus, tapi juga memerlukan politik istana yang efektif.

Saladin lebih menyukai tinggal  Damaskus dibanding Mesir. Ia memposisikan Mesir hanya sebagai ‘sapi perahnya’, untuk  menyuplai pasokan untuk kekuatan imperium Saladin.

Saladin Bukan Seorang Diktator

Saladin sendiri bukanlah tipikal pemimpin yang diktator. Imperiumnya adalah hasil kerja para amir yang  ambisius, para pangeran pemberontak dan saudara-anak-keponakan yang gemar berebut wilayah kekuasaan dengan imbalan loyalitas, pajak-pajak dan para petempur.

Dia selalu kekurangan uang dan tentara. Hanya karisma Saladin-lah yang mempersatukan mereka. Ia sering dikalahkan oleh Tentara Salib, dia bukan seorang jenderal yang menonjol. Akan tetapi dia orang yang keras kepala. Dia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya untuk memerangi Muslim lain, tapi kini misi pribadinya, Perang Suci untuk merebut kembali Yerusalem, menjadi api pendorong semangatnya.

Aku telah melepaskan kesenangan duniawi, kata Saladin. Aku sudah puas dengan semua itu.

Panjang Umur Belum Tentu Bermakna: Hikmah dalam Al-Hikam tentang Kualitas Usia

Suatu hari ketika berjalan-jalan di tepi pantai saat perang, dia mengatakan kepada menterinya, Ibnu Shaddad,  “Aku sedang memikirkan bahwa, ketika Allah mengizinkan aku menaklukkan seluruh pantai ini, aku akan membagi tanah-tanah, membuat perjanjian dan berlayar di laut ini untuk memburu mereka di sana sampai tidak ada
lagi di muka bumi orang yang mengingkari Allah—atau aku mati dalam usaha itu.”

Saladin dan 21 Dokter

Dia paling bahagia bila duduk di malam hari bersama para jenderal dan intelektualnya, menerima utusan-utusan sambil bercakap-cakap. Dia mengagumi para sarjana dan penyair, dan istana nya tidak lengkap tanpa Usamah bin Munqidh–ksatria, diplomat, penyair, sekaligus penulis Muslim dari Syam pada masa Perang Salib–yang menulis kitab terkenal Al-I’tibar, Usamah kini  berusia sembilan puluh tahun. Saladin mengatakan “Dengan itikad baik Usmah, ia mengambilku dari taring kemalangan.Dia memperlakukanku seperti keluarga.” ujar Saladin.

Saladin punya raga yang lemah dan sering sakit, dua puluh satu dokter pribadi merawatnya—delapan Muslim, delapan Yahudi– termasuk Maimonides–filsuf, teolog Yahudi–dan lima Kristen. Ketika sultan berdiri untuk      shalat atau memesan lilin, para kerabat istana tahu tanda-tanda bahwa malam akan berakhir. Namun dibalik kelemahannya itu, ia menunjukkan pada dunia bahwa ia berhasil mempersatukan umat dalam imperium Saladin. Demi membebaskan Yerusalem dari Tentara Salib. Saladin wafat pada 4 Maret 1193 di Damaskus, meninggalkan warisan sebagai pemimpin yang memadukan keberanian, kecerdikan, dan sikap ksatria terhadap musuh sekalipun.(St.Diyar)

Referensi:

Simon Sebag Montefiore, Jerusalem the Biography, 2011.

Bahagia di Tengah Luka: Rahasia Spiritual Dzikir dari Al-Hikam


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement