Fiqih
Beranda » Berita » Hukum Membayar Pajak Dalam Islam

Hukum Membayar Pajak Dalam Islam

Hukum Membayar Pajak Dalam Islam

Hukum Membayar Pajak Dalam Islam

Hukum membayar pajak dalam Islam bukan topik yang disepakati mutlak oleh semua ulama, karena pajak dalam bentuk yang kita kenal sekarang tidak dikenal secara langsung pada masa Rasulullah ﷺ. Yang ada pada masa itu adalah zakat, ushr, kharaj, jizyah, dan pungutan lain yang sifatnya diatur syariat.

Pembahasan hukumnya dalam fiqh modern biasanya dibagi menjadi pandangan besar:

Jika pajak digunakan untuk kemaslahatan umum & dikelola adil

Banyak ulama kontemporer (seperti Yusuf al-Qaradawi, Wahbah az-Zuhaili, dan Majma’ Fiqh Islam) berpendapat:

Pajak boleh dan wajib dibayar bila negara membutuhkan dana untuk keperluan yang tidak cukup ditutupi zakat dan sumber syar’i lainnya.

Syaratnya:

“Anjir” dan Teman-Temannya: Saat Umpatan Jadi Budaya

1. Dipungut secara adil dan proporsional, tidak memberatkan secara zalim.
2. Diperuntukkan bagi kemaslahatan umum: infrastruktur, pendidikan, keamanan, kesehatan, dan penegakan keadilan.
3. Tidak menggantikan atau menghapus kewajiban zakat.
Dalil yang digunakan:

QS. An-Nisa’ 59 → “Taatilah Allah, Rasul, dan ulil amri di antara kalian…”

Kaidah fiqh “Tasharruful imam ‘ala ra’iyyatihi manutun bil maslahah” kebijakan pemimpin harus terkait kemaslahatan rakyat.

Kisah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz yang menetapkan pungutan tertentu untuk keperluan negara.

Jika pajak disalahgunakan atau memberatkan

Ulama yang cenderung kritis menilai pajak yang berlebihan, memberatkan, atau disalahgunakan untuk hal haram bisa termasuk al-maks (pungutan zalim).

Diam: Seni Menemukan Problem Solving

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak akan masuk surga orang yang memungut pajak secara zalim (ash-shahibul maks).” (HR. Abu Dawud, Ahmad)

Maksudnya: bila pajak menjadi alat penindasan atau pungutannya melampaui kebutuhan, itu dilarang.

Dalam kondisi ini, sebagian ulama membolehkan membayar pajak sekadar untuk menghindari mudharat (misalnya sanksi hukum), tapi tetap berdosa bagi pihak yang memungutnya secara zalim.

Posisi Muslim sebagai Warga Negara

Dalam konteks negara modern:

Kurikulum Cinta dan Dakwah Perempuan

Membayar pajak sering dipandang bagian dari ketaatan pada kesepakatan sosial (mu‘ahadah), seperti perjanjian antara warga negara dan pemerintah.
Jika negara melindungi keamanan, memberi fasilitas, dan membangun kemaslahatan, maka membayar pajak termasuk menunaikan hak waliyul amr.
Menolak pajak tanpa alasan syar’i bisa termasuk melanggar perjanjian (ghadr).

Ringkasan Hukum: Kondisi Hukum.

Pajak adil, transparan, untuk maslahat umum Wajib dibayar. Pajak zalim, berlebihan, untuk tujuan haram, Haram memungutnya, tapi boleh membayar untuk menghindari mudharat pribadi. Pajak menggantikan zakat Tidak sah, zakat tetap wajib dibayar.

 

 


 

Saya Tidak Tahu

Kalimat saya tidak tahu sering kita gunakan untuk menunjukkan ketawadu’kan bukanlah aib, melainkan tanda kejujuran, kehati-hatian, dan kerendahan hati, terutama bagi seorang ulama sejati. Beberapa riwayat dan ulama terkemuka memang meneladani sikap ini.

Teladan dari Imam Malik bin Anas (W. 795 M)

Al-Haitsam bin Jumail meriwayatkan bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang 48 masalah, dan beliau menjawab “Saya tidak tahu” (“la adrî” atau “la uhsinuhâ”) pada 32 di antaranya .

Seorang penanya yang kecewa karena melakukan perjalanan jauh untuk menemui beliau pun ditenangkan dengan kata:
“Katakan saja bahwa Malik berkata: ‘Aku tidak tahu’.”

Dalam versi riwayat lain, ketika ditanya dan menjelaskan bahwa ia tidak memahami baik permasalahan tersebut, beliau meminta agar hal itu disampaikan kepada masyarakat di daerah penanya .

Ibnu Wahb menambahkan bahwa jika semua ucapan “saya tidak tahu” dari Imam Malik dikumpulkan, maka akan memenuhi banyak lembar kertas .

Perspektif Akhlakul Ulama (Imam Al-Ajurri)

Kitab Akhlaqul Ulama oleh Imam Abu Bakar al-Ajurri (360 H) memang menekankan bahwa bagi ulama, menyatakan ketidaktahuan ketika memang tidak tahu bukanlah aib. Justru, seorang ulama yang mengatakan “saya tidak tahu” dalam keadaan yang sebenarnya tidak memahami, menjaga kewibawaannya dan menunjukkan integritas ilmiyah, tidak gegabah berfatwa.

Kegiatan Mengakui Ketidaktahuan dalam Tradisi Islam

Abu Dardaʾ menegaskan:

“Ucapan ‘saya tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu.”

Lokasi lain menyatakan bahwa mengaku tidak tahu adalah setengah ilmu, mengindikasikan ilmu sejati tampil dari kerendahan hati dan pengakuan terhadap keterbatasan diri .

Sikap ini juga mencerminkan kesadaran bahwa hanya Allah Pemilik ilmu sesungguhnya—ulama hanya menyampaikan apa yang diketahui dan tidak merampas otoritas Ilahi.

Ringkasan Insight: Nilai Penjelasan

Kejujuran Ilmiyah Menolak memberi fatwa tanpa dasar yang kuat. Ketawadhu’an (Kerendahan) Menunjukkan rendah hati sebagai tanda ilmu yang hakiki.

Menjaga Wibawa Bukannya merusak reputasi, justru menambah hormat sebagai ulama bijak.
Menghindari Sesat Melindungi umat dari fitnah dan kesalahan fatwa.  Menghormati Proses Ijtihad Memahami bahwa tidak semua persoalan diketahui dan perlu penelitian lebih lanjut.

Jadi, sama seperti Imam Malik, menyatakan “saya tidak tahu” adalah cerminan dari kehati-hatian dan tanggung jawab ilmiah, bukan kelemahan. Ini adalah salah satu akhlak ulama yang patut kita contoh. (Tengku)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement