SURAU.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold. Keputusan ini secara langsung memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Banyak pihak memandang keputusan tersebut sebagai angin segar bagi demokrasi Indonesia. Mereka menilai keputusan ini membuka peluang lebih luas bagi partisipasi politik. Namun, sebagian kalangan tetap merasa khawatir akan kualitas dan integritas calon pemimpin di masa depan.
Jika kita meninjau langkah ini dari sudut pandang Al-Qur’an, kita akan melihat bahwa penghapusan ambang batas tersebut mencerminkan upaya menghadirkan nilai keadilan, kesetaraan, dan amanah dalam politik. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan bukan sekedar jabatan. Kepemimpinan adalah amanah besar yang menuntut tanggung jawab dan harus dijalankan oleh orang yang benar-benar mampu.
Kesetaraan dan Keadilan dalam Politik
Sebelum MK menghapusnya, aturan Presidential Threshold mewajibkan partai atau gabungan partai politik memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Ketentuan ini sering menutup jalan bagi tokoh potensial dari partai kecil atau calon independen yang tidak memiliki kekuatan politik besar. Akibatnya, demokrasi berjalan dalam ruang yang sempit dan tidak inklusif.
Al-Qur’an melalui Surat An-Nisa (4:58) menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…”
Ayat ini memberi penekanan bahwa urusan kepemimpinan, termasuk pemilihan presiden, harus didasarkan pada siapa yang paling berhak—yakni mereka yang memiliki kapasitas, integritas, dan niat yang baik untuk memimpin. Oleh karena itu, saat MK menghapus ambang batas tersebut, terbuka peluang yang lebih luas bagi calon-calon yang berkualitas, meskipun berasal dari partai kecil atau bahkan calon independen.
Prinsip Musyawarah dan Inklusivitas
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam memilih pemimpin. Surah Ash-Shura (42:38) menyebutkan,
“…إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها…”
“…urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka…”
Ayat ini mengingatkan bahwa urusan penting sebaiknya kita putuskan melalui musyawarah. Jika sistem pemilu hanya memberi pilihan terbatas karena aturan ambang batas, maka proses itu tidak mencerminkan semangat musyawarah yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Dengan menghapus ambang batas, MK membuka lebih banyak jalan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin dari latar belakang beragam. Langkah ini memungkinkan demokrasi kita berkembang menjadi lebih terbuka dan representatif. Ajaran Islam pun mendorong sistem yang inklusif dan memberi ruang kepada semua elemen bangsa.
Tanggung Jawab Bersama dan Tantangan Baru
Meski langkah ini membawa angin segar, kita tetap menghadapi tantangan baru. Jika tidak ada sistem seleksi yang ketat, calon yang tidak memiliki kapasitas dapat muncul hanya karena popularitas atau modal besar.
Surat Al-Ma’idah (5:8) mengingatkan:
“اعدلوا فإن العدل أقرب إلى التقوى”
“Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa.”
Dalam konteks ini, keadilan bukan hanya memberikan ruang yang sama kepada semua calon, tetapi juga memastikan bahwa kompetisi dilakukan secara sehat dan bertanggung jawab. Maka, setelah menghapus ambang batas, tantangan berikutnya adalah merancang regulasi dan mekanisme yang ketat agar kualitas calon tetap menjadi prioritas.
Partai politik juga memegang peran penting dalam memastikan kualitas kandidat. Tanpa ambang batas, partai memiliki keleluasaan mencalonkan siapa pun. Tapi justru di dalamnya tanggung jawab moral dan politik mereka diuji. Apakah mereka benar-benar mencalonkan sosok yang memiliki kapabilitas dan integritas, atau sekadar tunduk pada pragmatisme politik?
Menjadikan Demokrasi sebagai Ladang Amanah
Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah (2:30), Allah SWT berfirman:
“إني أريد أن أكون خليفة في الأرض”
“Sesungguhnya Aku hendak menjadi seorang khalifah di bumi.”
Ayat ini memberikan gambaran bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Sebagai khalifah, kita mempunyai tugas memilih pemimpin yang mampu menjalankan amanah. Kita tidak boleh memilih hanya berdasarkan popularitas atau kepentingan kelompok. Dalam demokrasi, rakyat memegang peran penting sebagai pemilik suara. Suara itu harus kita gunakan dengan bijak dan penuh tanggung jawab.
Dengan demikian, Keputusan MK ini harus kita jadikan momen refleksi. Siapkah kita membangun sistem demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif? Apakah partai dan masyarakat siap memikul tanggung jawab dalam menjaga kualitas calon pemimpin?
Menjaga Keseimbangan demi Demokrasi yang Adil
Ke depan, kita harus menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan tanggung jawab. Sistem politik yang sehat tidak hanya memberi ruang partisipasi seluas-luasnya. Sistem itu juga harus memastikan bahwa semua proses berjalan aman dan transparan.
Kita harus menjadikan nilai-nilai Al-Qur’an seperti keadilan, musyawarah, dan amanah sebagai pilar utama demokrasi. Dengan penghapusan ambang batas pencalonan presiden, kita memiliki peluang besar untuk menghadirkan demokrasi yang lebih representatif. Namun, keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada kedewasaan semua pihak baik rakyat, partai politik, maupun penyelenggara pemilu dalam menjalankan peran dan tanggung jawab mereka.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
