SURAU.CO – Agama bukan hanya tentang rukuk dan sujud. Ia menjadi jalan kehidupan yang membentuk cara kita berpikir dan berhubungan dengan sesama. Islam tidak hanya mengajarkan cara berdoa, tetapi juga membimbing kita memperlakukan orang lain dengan penuh kasih sayang. Dalam hal ini, dua hari raya besar dalam Islam—Idul Fitri dan Idul Adha—menunjukkan bahwa agama selalu menyatukan ketakwaan dengan kemanusiaan.
Idul Fitri: Tentang Menahan Diri dan Berbagi
Setelah umat Islam menjalani puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, mereka merayakan Idul Fitri. Banyak orang menyebutnya sebagai hari kemenangan. Namun, kemenangan seperti apa yang kita rayakan? Bukan kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas diri sendiri—dalam menahan hawa nafsu, menundukkan ego, dan mendekatkan hati kepada Allah.
Lebih dari itu, Idul Fitri bukan sekadar perayaan individu. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan hari raya harus kita bagi dengan sesama. Oleh karena itu, agama mewajibkan kita menunaikan zakat fitrah—sebuah ibadah sosial yang menjadi pengingat bahwa kita hidup berdampingan dengan orang-orang yang kurang mampu.
Kita menyisihkan sebagian harta untuk zakat fitrah agar saudara-saudara kita yang kurang mampu juga ikut merasakan kebahagiaan di hari raya. Agama tidak hanya mengarahkan kita untuk bergembira diatas penderitaan orang lain, tetapi untuk menyertakan mereka dalam rasa syukur dan suka cita.
Zakat fitrah tidak cukup bila kita pandang sebagai angka atau kewajiban administratif. Justru, ia menjadi cara konkret untuk membangkitkan empati. Kita mungkin memiliki tetangga yang kesulitan membeli beras, anak-anak yang tidak bisa memakai baju baru, atau keluarga yang tidak mampu menyajikan hidangan istimewa. Dalam kondisi seperti itu, kita menjadikan zakat fitrah sebagai jembatan kepedulian—bukan hanya memberi, tapi juga mengajak mereka ikut merayakan.
Idul Adha: Belajar Mengikhlaskan dan Memberi
Beberapa bulan setelah Idul Fitri, kita menyambut Idul Adha. Hari raya ini tidak hanya mengenang kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, tetapi juga mengajarkan kita makna ikhlas. Bukan sekedar menyemembelih hewan kurban, kita pun belajar untuk menyembih ego, ambisi pribadi, dan keserakahan.
Islam mengajarkan bahwa dalam setiap rezeki yang kita miliki, terdapat hak orang lain. Maka, saat kita berkurban, kita tidak boleh menikmati daging itu sendirian. Justru, kita harus membagikannya kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan demikian, kurban bukan sekadar simbol ketakwaan, namun juga wujud nyata solidaritas. Kita tidak hanya menyatakan keimanan secara lisan, tetapi juga membuktikannya melalui tindakan.
Seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an,
“وَلَن يَنْالَ لَحْمُ الإِبِلِ وَلا دِمَاءُهَا وَلَكِن يَنْالَهَا التَّقْوَى”
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (QS. Al-Hajj: 37). Artinya, bukan ritual fisik yang dinilai, melainkan sikap hati dan kepedulian yang mengiringinya.
Iman dan Hubungan Sosial
Dua hari raya ini menjadi cermin bahwa Islam bukan hanya agama yang mengajarkan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Ia juga mengajarkan hubungan horizontal antar sesama manusia. Dalam setiap ibadah besar, selalu ada dimensi sosial yang ditegaskan: zakat, kurban, sedekah, silaturahmi, dan lain sebagainya.
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda,
كما قال النبي محمد صلى الله عليه وسلم: “لا يكتمل إيمان عبد حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه” (رواه البخاري ومسلم).”
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, ukuran keimanan sejati bukan hanya terletak pada lamanya kita bersujud, namun juga pada seberapa besar kepedulian kita kepada sesama.
Agama, pada hakikatnya, merupakan wujud kepedulian yang konkrit. Ia hadir tidak hanya dalam masjid yang tenang, tetapi juga dalam rumah-rumah sederhana yang perlu perhatian dan bantuan. Ia tidak hanya menjelma dalam lantunan doa, tetapi juga dalam senyum dan uluran tangan. Di setiap gema takbir, kita mendengar pesan agar tidak menjadi pribadi yang hanya memikirkan kebahagiaan diri sendiri. (heniwati)
Referensi:
- Kementerian Agama RI. (2020). Makna Sosial dalam Hari Raya Islam
- Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin , Bab Tentang Ikhlas dan Kepedulian Sosial
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
