SURAU.CO. Ayah biologis merupakan ayah kandung dari seorang anak. Istilah “ayah biologis” merujuk pada pria yang memiliki hubungan darah langsung dengan seorang anak melalui hubungan seksual dengan ibu anak tersebut. Meskipun secara umum “ayah biologis” dan “ayah kandung” memiliki makna yang serupa, penggunaan istilah “ayah biologis” lebih sering dijumpai dalam konteks hukum. Terutama dalam situasi yang melibatkan anak-anak yang lahir di luar pernikahan yang sah.
Saat ini, seorang ibu viral di medsos karena menuntut pengakuan dari ayah biologis anaknya yang lahir di luar pernikahan. Fenomena pengakuan hak anak terhadap ayah biologisnya semakin menjadi perhatian publik. Dalam konteks ini, pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana kedudukan ayah biologis dalam hukum positif Indonesia serta dalam hukum Islam. Apa kewajiban hukum dan agama yang melekat pada ayah biologis terhadap anak-anak yang lahir di luar pernikahan?
Kedudukan Hukum Ayah Biologis
Perdebatan mengenai kedudukan ayah biologis di Indonesia mendapat perhatian serius sejak adanya pengujian terhadap UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 43 ayat (1) yang pada awalnya berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Pengaturan dalam pasal ini memperlihatkan ketidakadilan bagi anak-anak yang lahir di luar perkawinan sah. Dalam pandangan hukum sebelumnya, ayah biologis tidak memiliki kewajiban hukum terhadap anak yang lahir di luar nikah. Meskipun secara biologis, anak tersebut adalah keturunannya.
Namun, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 46/PUU-VIII/2010, memutuskan untuk mengubah bunyi pasal tersebut. Perubahan ini memberikan dampak yang sangat signifikan, baik bagi anak-anak luar kawin maupun bagi masyarakat. Perubahan ketentuan ini memastikan bahwa mereka memiliki hak yang sah untuk mendapatkan perlindungan hukum, status hukum yang jelas, dan jaminan hak waris yang adil.
Isi Pasal 43 Ayat (1) yang baru berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Dengan adanya perubahan ini, ayah biologis dari anak luar kawin kini memiliki kewajiban hukum yang jelas terhadap anak yang lahir di luar pernikahan. Termasuk kewajiban nafkah, hak waris, dan pengakuan atas status anak tersebut. Selain itu, anak luar kawin juga memperoleh perlindungan hukum yang sebelumnya tidak ada, termasuk hak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan negara.
Meskipun orang tuanya tidak menikah secara sah, anak tersebut tetap berhak mendapatkan hak-haknya dari ayah biologisnya. Bahkan ketika orang tua tidak menikah sama sekali, maka Ibu atau ayah biologisnya bisa menuntut pengakuan anak di Pengadilan. Tidak hanya mengembalikan hak anak dari orang tua biologisnya, putusan Mahkamah Konstitusi no.46/PUU-VIII/2010 juga dapat menghapus stigma buruk masyarakat terhadap anak luar kawin.
Kedudukan Ayah Biologis menurut Islam
Dalam perspektif Islam, ada dua kategori utama mengenai ayah biologis. Pertama, ayah biologis dari anak yang lahir dalam pernikahan sah menurut hukum agama Islam, cukup rukun nikahnya. Ayah ini memiliki status sebagai ayah yang sah dan anaknya dinasabkan kepadanya, meskipun pernikahannya tidak tercatat di KUA. Pernikahan yang sah menurut hukum Islam sudah cukup untuk menegakkan hubungan nasab antara ayah dan anak.
Status hukum anak ini jelas, dan ayahnya memiliki kewajiban penuh terhadap anak tersebut. Termasuk memberikan nafkah, menjaga, mendidik, serta memberi hak waris. Dalam hal ini, baik ayah biologis maupun ibu memiliki hak dan kewajiban terhadap anak. Sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya tanggung jawab kedua orang tua dalam mendidik dan merawat anak-anak mereka.
Kedua, ayah biologis dari anak yang lahir dari hubungan di luar pernikahan sah, yang sering disebut sebagai anak hasil perzinaan. Para ulama fiqih menggunakan istilah “anak zina” untuk menyebut anak yang lahir di luar perkawinan. Istilah ini merujuk pada anak yang lahir akibat hubungan tidak halal. Hubungan tidak halal adalah hubungan badan antara dua orang yang tidak terikat tali perkawinan dan tidak memenuhi syarat dan juga rukunnya.
Dalam pandangan hukum Islam, anak yang lahir dari perzinaan memiliki kedudukan yang berbeda. Para ulama fiqih secara tegas menyatakan bahwa anak yang lahir dari hubungan tidak sah (zina) tidak memiliki hubungan nasab yang sah dengan ayah biologisnya, hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Ini berarti, Ayah biologis tidak memiliki kewajiban nafkah terhadap anak tersebut. Sehingga hubungan yang timbul hanya secara manusiawi bukan secara hukum.
Ayah dan anak tersebut tidak dapat saling mengklaim hak waris. Sebagai konsekuensi hukum, ayah biologis juga tidak bisa menjadi wali bagi anak tersebut. Ayah biologis tidak memiliki hak untuk menikahkan anak perempuannya yang lahir di luar pernikahan.
Tanggung Jawab Hukum dan Agama Ayah Biologis
Secara umum, hukum Islam tidak menganggap anak yang lahir dari perzinaan sebagai anak yang sah menurut hukum syariat. Meskipun, anak tersebut secara biologis adalah keturunan dari ayah biologisnya. Hukum syariat tidak mengakui hubungan nasab antara anak dan ayah biologisnya karena status kelahirannya yang tidak sah.
Namun, fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 menetapkan kewajiban ayah biologis terhadap anak di luar pernikahan. Diantaranya, “Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk : a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah”. Hukuman tersebut bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Dalam konteks hukum positif Indonesia, setelah perubahan UU No. 1 Tahun 1974, hak anak luar kawin terhadap ayah biologisnya lebih terjamin. Namun, dalam pandangan Islam, meskipun ayah biologis tidak memiliki kewajiban hukum terhadap anak hasil perzinaan, ia tetap memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan nafkah dan perlindungan yang layak bagi anak tersebut. Terutama jika anak itu berada dalam kondisi yang membutuhkan perlindungan atau perhatian khusus. Hal ini lebih pada prinsip kemanusiaan dan tanggung jawab sosial.
Sebagaimana Fatwa MUI menyatakan lelaki yang menyebabkan lahirnya anak dari perzinaan dapat dikenai hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup anak tersebut. Meskipun, Islam tidak mengakui hubungan nasab anak tersebut, namun ayah biologis tetap memiliki kewajiban moral untuk bertanggung jawab terhadap anak tersebut. Dengan demikian, ayah biologis harus memenuhi kebutuhan anak tersebut.
Antara Perlindungan Anak dan Normalisasi Zina
Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pengakuan terhadap ayah biologis dalam hukum Indonesia adalah langkah penting untuk memberikan perlindungan hak-hak anak, terutama anak yang lahir di luar pernikahan.
Dalam Islam, meskipun anak yang lahir dari zina tidak memiliki status sah secara syariat, kita tetap harus melihat perlindungan anak sebagai prioritas utama. Anak, dalam kondisi apapun, berhak untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan, dan pendidikan yang layak. Oleh karena itu, baik dalam konteks hukum positif Indonesia maupun dalam hukum Islam, perhatian terhadap hak-hak anak harus menjadi prioritas utama demi menciptakan keadilan sosial yang lebih merata.
Namun, kita perlu memahami bahwa perubahan ini tidak bertujuan untuk menormalisasi perzinaan. Oleh sebab itu jangan kita memanfaatkan Undang-Undang ini untuk melindungi pelaku zina. Dalam Islam, zina dianggap sebagai dosa besar yang dihukum berat. Islam tidak menghukum anak hasil perzinaan karena dosa orang tuanya, namun status anak tersebut memiliki dampak hukum yang berbeda.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
