SURAU.CO – Sifat ujub atau sombong sering kali hadir secara halus ke dalam hati manusia. Ia muncul di balik amal baik yang dilakukan seseorang, lalu mendorongnya merasa lebih unggul dibandingkan orang lain. Ujub tidak sekadar menumbuhkan rasa bangga, tetapi juga mendorong seseorang untuk menilai dirinya dengan lebih baik sambildan memandang amal orang lain secara negatif. Bila seseorang tidak segera menyadarinya, sifat ini akan merusak hubungan sosial dan bahkan merugikan dirinya sendiri.
Apa Itu Ujub?
Ujub berasal dari bahasa Arab yang berarti kekaguman terhadap diri sendiri. Dalam dunia spiritual, orang yang mengidap ujub biasanya merasa dirinya istimewa karena amal, ilmu, atau kelebihan lainnya. Sifat ini sering membuatnya lupa bahwa Allah-lah yang menganugerahkan semua kelebihan itu. Ia bahkan mulai meremehkan orang lain dan memandang rendah ibadah serta amal yang dilakukan orang lain.
Imam Bisyr Al-Hafi, seorang ulama sufi besar, menyatakan bahaya ujub secara serius. Beliau menjelaskan bahwa orang yang terjangkit ujub akan melihat amalnya sendiri sebagai sesuatu yang luar biasa, seolah lebih utama daripada amal orang lain. Dalam waktu yang sama, ia justru menganggap amal orang lain kecil dan tidak bernilai. Padahal, Allah tidak menilai besar kecilnya amal seperti yang manusia lihat, tetapi Allah melihat keikhlasan dan ketundukan hati setiap pelakunya.
Pandangan Imam Syafi’i
Dalam kitab Kifayatu al-Akhyar karya Sayyid Bakar Al-Makkiy, Imam Syafi’i memberikan Arah bijak agar manusia tidak terjatuh dalam sifat ujub. Beliau mengajak kita untuk selalu memikirkan hal-hal penting: menjadikan ridha Allah sebagai tujuan, mengejar pahala, menjauhi siksa, mensyukuri nikmat, serta menjadikan ujian sebagai pengingat untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Dengan merenungkan semua itu, Imam Syafi’i ingin kita menyadari bahwa kita tidak boleh menganggap amal sebagai hasil usaha pribadi semata. Kita harus memandangnya sebagai karunia Allah yang patut kita syukuri. Ketika seseorang memahami bahwa semua berasal dari Allah, ia akan memenuhi hati dan tidak merasa lebih mulia dari orang lain.
Tiga Cara Menghindari Sifat Ujub
Berikut tiga langkah aktif yang bisa kita lakukan untuk menghindari sifat ujub:
1. Bersyukur kepada Allah
Langkah pertama yang Imam Syafi’i ajarkan untuk menanggulangi ujub adalah memperbanyak rasa syukur. Kita harus menyadari bahwa hanya karena pertolongan dan izin Allah-lah kita mampu melakukan amal dengan baik. Tanpa taufik-Nya, kita tidak akan bisa melakukan sedikit pun kebaikan. Jika kita menyadari hal ini, maka kita tidak akan bangga atas amalnya, justru bersyukur dan rendah hati.
Orang yang bersyukur akan mengakui bahwa ia hanyalah hamba yang melaksanakan perintah Tuhan. Ia melakukan amal saleh bukan karena ingin tampil hebat, melainkan sebagai wujud cinta dan ketaatan kepada Sang Pencipta.
2. Memahami Keterbatasan Diri
Banyak orang yang membiarkan ujub tumbuh karena mereka lupa pada keterbatasan dirinya. Padahal, seberapa banyak amal yang dilakukan seseorang, ia tidak dapat memastikan apakah Allah menerima. Bahkan amal kecil yang dilakukan orang lain bisa saja jauh lebih bernilai karena dilandasi keikhlasan yang tinggi.
Jika kita menyadari bahwa Allah selalu berperan dalam setiap amal baik, kita tidak akan meremehkan usaha orang lain. Kita justru akan menghargai perjuangan mereka dan menjauhkan diri dari rasa ujub. Kesadaran ini akan melindungi kita dari virus hati yang bisa merusak kehidupan spiritual dan sosial.
3. Introspeksi dan Muhasabah
Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah melakukan introspeksi diri atau muhasabah secara rutin. Kita perlu memeriksa kembali niat dan amal yang kita lakukan setiap hari. Apakah kita sudah beramal karena Allah? Ataukah kita masih menginginkan pujian dan pengakuan dari manusia?
Jika kita membiasakan diri melakukan muhasabah, kita akan lebih mawas diri. Kita bisa mengenali kelemahan kita, menundukkan hati, dan membuka pikiran untuk memperbaiki kekeliruan. Kita juga bisa membandingkan diri dengan diri sendiri di masa lalu, bukan dengan orang lain. Pertanyaannya: apakah kita sudah menjadi pribadi yang lebih baik? Apakah amal kita membawa manfaat bagi sesama? Bila masih belum, maka kita tidak punya alasan untuk merasa lebih baik daripada siapa pun.
Penutup
Sifat ujub menyimpan bahaya besar dalam kehidupan spiritual. Ia mungkin tidak terlihat secara langsung, tetapi secara perlahan ia dapat merusak hati dan menghapus nilai amal. Imam Bisyr Al-Hafi dan Imam Syafi’i telah memberikan peringatan yang sangat berarti tentang bahaya ujub serta solusi konkret untuk menghindarinya.
Jika kita ingin menjaga kebersihan hati, maka kita perlu menanamkan rasa syukur yang mendalam, mengenali keterbatasan diri, dan membiasakan introspeksi. Pada akhirnya, amal yang paling mulia bukanlah yang orang lain puji, tetapi yang hanya Allah catat muliakan.
Referensi:
Imam Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Hilyatu al-Auliyâ’ wa Thabaqâtu al-Ashfiyâ’ , Juz VIII, hal. 49.
Sayyid Bakar Al-Makkiy, Kifayatu al-Akhyar , hal. 78.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
