SURAU.CO. Pajak adalah salah satu sumber pendapatan utama negara Indonesia. Namun, banyak orang merasa pajak di Indonesia terlalu tinggi. Belakangan, pemerintah semakin banyak mengenakan pajak, bahkan pada hal-hal yang selama ini tidak pernah terbayangkan, seperti pajak media sosial. Teranyar, pemerintah menerapkan pajak terhadap pembelian emas batangan, menyusul gagalnya kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh PPATK . Selain itu, ada juga rencana penerapan pajak tinggi bagi rumah tapak yang membuat publik terkejut dan memunculkan pro-kontra.
Isu pajak yang semakin banyak ini jadi bahan pembicaraan hangat di masyarakat. Mulai dari pajak amplop di acara pernikahan, pajak untuk UMKM, hingga pedagang online.
Pemerintah menyebutkan bahwa reformasi pajak bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak, mengurangi penghindaran pajak, serta meningkatkan pendapatan negara. Pemerintah perlu melakukan reformasi yang menyeluruh agar sistem perpajakan menjadi lebih adil, efisien, dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini meliputi perubahan tarif pajak, perluasan basis pajak, dan peningkatan penggunaan teknologi dalam administrasi pajak.
Bagaimana Islam melihat pajak? Pajak halal atau haram? Adakah pajak yang berkeadilan menurut Islam?
Pajak dalam Perspektif Islam
Islam mengenal konsep pajak melalui istilah “zakat” dan “jizyah”. Zakat adalah kewajiban bagi umat Muslim yang memenuhi syarat untuk memberikan sebagian harta mereka kepada yang berhak menerimanya. Fungsi zakat dalam ekonomi Islam adalah untuk menyucikan harta dan membantu yang membutuhkan.
Sementara itu, jizyah adalah pajak yang dikenakan pada warga non-Muslim yang tinggal di bawah pemerintahan Islam, sebagai imbalan atas perlindungan yang diberikan pemerintah. Jizyah dan zakat didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kedua kewajiban ini bertujuan untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan masyarakat serta sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
Dalam bahasa Arab, pajak disebut “dharibah,” yang secara etimologi berarti menetapkan, menentukan, atau membebankan kewajiban. Para ulama menyebut harta yang dipungut sebagai kewajibanm dengan istilah dharibah, seperti yang dijelaskan Lestari dalam Konsep Pajak dalam Perspektif Ekonomi Islam.
Pada zaman Rasulullah SAW, orang mengenal pajak dengan istilah “kharaj” dan “jizyah”, yang hanya dikenakan kepada non-Muslim yang tinggal di wilayah Muslim. Namun, pemerintah saat ini mengenakan pajak pada semua warga, baik Muslim maupun non-Muslim. Dan pemerintah belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai Islam dalam Sistem Perpajakan seperti nilai ketuhanan, keadilan, dan sosial. Menurut prinsip Islam, pajak hanya boleh dipungut untuk membiayai kewajiban yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan hanya sebatas jumlah yang diperlukan saja, tidak boleh lebih.
Perdebatan Hukum Pajak
Sebagian kalangan berpendapat bahwa pajak itu haram karena pemerintah menariknya secara paksa tanpa memberi pilihan kepada wajib pajak. Mereka menilai pajak sebagai bentuk pemaksaan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan ekonomi dalam Islam. Selain itu, mereka juga khawatir bahwa pemerintah bisa menggunakan pajak untuk membiayai kegiatan yang tidak sesuai dengan syariat, seperti kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Beberapa ulama yang mengemukakan pandangan ini menilai bahwa sistem perpajakan yang ada sekarang lebih condong kepada sistem kapitalisme yang berorientasi pada eksploitasi rakyat, bukan untuk kesejahteraan umat. Selain itu, pajak yang tidak sesuai dengan syariat bisa menyebabkan ketidakadilan, terutama bagi umat Muslim yang harus membayar pajak untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Di sisi lain, banyak ulama yang berpendapat bahwa pajak itu halal jika pelaksanaannya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan tujuan penggunaannya untuk kepentingan umat. Masyarakat memaknai pajak sebagai bagian dari tanggung jawab sosial untuk membangun negara dan memajukan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pandangan syariah Islam, pajak dipandang sebagai bentuk mu’amalah dalam ekonomi yang membantu memenuhi kebutuhan negara dan masyarakat. Pajak yang sesuai dengan syariat dapat menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Di Indonesia, pemerintah seharusnya menerapkan sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi universal untuk menciptakan keadilan, transparansi, dan pemerintahan yang baik. Dengan demikian, pemerintah dapat menjalankan praktik ekonomi Islam yang berpihak pada rakyat dan kebenaran. Sistem ekonomi syariah dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Banyak negara, baik Islam maupun non-Islam, termasuk beberapa negara barat, menerapkan sistem ekonomi syariah karena prinsip-prinsipnya yang menekankan keadilan dan transparansi. Berbagai kalangan dapat menerima prinsip-prinsip Islam dalam pajak di seluruh dunia. Namun, Indonesia masih belum menerapkan sistem perpajakan yang sesuai dengan konsep syariah yang ideal.
Pajak Haram?
Islam secara jelas menjelaskan keharaman pajak melalui dalil-dalil yang mendasari baik secara umum maupun khusus mengenai pajak itu sendiri. Secara umum, Allah berfirman dalam Q.S. An-Nisa ayat 29, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil…”.
Allah swt melarang umat muslim mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan. Banyak orang menganggap pajak sebagai salah satu bentuk cara batil yang menyebabkan pengambilan harta orang lain tanpa kerelaan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan dalam hadits shahih bahwa:. “Tidak halal harta seseorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” (dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir).
Untuk dalil yang lebih khusus, terdapat beberapa hadits yang mengancam bagi para pemungut pajak. Salah satunya adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan, “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” (HR Ahmad, Abu Dawud dalam kitab Al-Imarah).
Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan hukum rajam terhadap seorang wanita yang berzina (dari Ghamid). Setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu mendekatinya dan melempar batu yang mengenai wanita tersebut, hingga darahnya mengenai pakaian Khalid. Khalid pun marah dan mencaci wanita itu. Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dengan mengatakan.
“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim , Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi)
Sikap Kaum Muslimin Terhadap Pajak
Setiap Muslim wajib mematuhi pemimpinnya selama pemimpin tersebut masih berstatus Muslim dan tidak memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan. Meskipun pemimpin itu melakukan kezhaliman seperti pungutan pajak yang tidak adil. Sebagai umat Islam, kita tetap harus taat kepada pemimpin selama perintahnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabat bahwa di akhir zaman, akan ada pemimpin yang zalim. Ketika para sahabat bertanya tentang sikap kaum muslimin, apakah mereka boleh memberontak? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan bagaimana seharusnya sikap umat Islam terhadap pemimpin yang berlaku zalim, terutama dalam hal pengelolaan harta rakyat. Dalam sebuah hadits shahih, setelah mengingatkan umat untuk selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan agar mereka mendengarkan dan menaati pemimpin, meskipun pemimpin tersebut adalah seorang hamba sahaya, selagi dia Muslim.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana umat Islam harus bersikap terhadap pemimpin zalim. Dalam sebuah hadits panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimpin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” (HR Muslim kitab Al-Imarah)
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberikan penjelasan yang sangat relevan terkait masalah ini. Beliau menyatakan, “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu)”.
Etika Perpajakan dalam Islam
Negara mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan untuk berbagai keperluan, dengan tujuan melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Dalam Islam, pemerintah harus menerapkan sistem perpajakan yang adil dan transparan. Pajak harus digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Islam mengajarkan prinsip pokok untuk mencapai keadilan dalam bidang sosio-ekonomi dan kebijakan umum pemerintah terhadap rakyatnya. Pemerintah harus menghindarkan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan terhadap rakyatnya. Keadilan dapat dicapai dengan menerapkan kaidah penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan. Dengan prinsip ini, pemerintah dapat membuat kebijakan yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas.
Pemerintah, sebagai wakil rakyat, harus bertanggung jawab dalam menetapkan kebijakan yang memprioritaskan kesejahteraan umum. Islam mengajarkan prinsip itikad baik. Pemerintah harus bertindak dengan itikad baik dan mempertimbangkan kemaslahatan umum dalam setiap keputusan yang diambil. Maka, pemerintah dapat memperkuat keadilan, keamanan, dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat.
Etika perpajakan mengatur bagaimana wajib pajak dan pemerintah berinteraksi. Dalam konteks ini, etika pajak mencakup kejujuran, keadilan, dan integritas dalam pengelolaan pajak. Wajib pajak harus melaksanakan kewajibannya dengan jujur, dan pemerintah harus memastikan pengelolaan pajak yang transparan dan adil.
Etika pajak dalam perspektif Islam berfokus pada kewajiban pajak sebagai bagian dari kebijakan fiskal yang berbasis pada nilai-nilai Islam. Ulil amri mewajibkan pajak secara temporer karena kekosongan baitul mal, sebagai tambahan setelah zakat. Pajak merupakan bentuk jihad kaum Muslim untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih besar jika hal itu tidak dilakukan. Penggunaan pajak hanya bagi kepentingan kaum muslim, bukan untuk kepentingan umum.
Keadilan dalam Sistem Perpajakan
Keadilan dalam sistem perpajakan adalah hal yang sangat penting. Dalam Islam, pemerintah harus menggunakan pajak secara bijak dan adil untuk membiayai kebutuhan umum seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, serta untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Pemerintah harus menetapkan aturan pajak secara proporsional sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing individu dan manfaat yang diterima oleh masyarakat.
Keadilan dalam perpajakan menurut Islam juga berarti tidak ada diskriminasi atau pemungutan pajak yang memberatkan kelompok tertentu. Pemerintah harus memperlakukan setiap orang sama di mata hukum, tanpa memprioritaskan atau merugikan siapa pun. Dalam pengelolaan pajak, pemerintah juga wajib memastikan transparansi, kejujuran, dan integritas tinggi.
Aturan Islam mengatur pemerintah dan otoritas pajak bertindak dengan itikad baik dan adil saat mengumpulkan, mengelola, dan menggunakan dana pajak. Mereka memastikan pemungutan pajak dengan cara yang tidak memberatkan atau mengeksploitasi masyarakat. Pemerintah juga perlu memberikan perlindungan hukum kepada warga negara untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak berwenang.
Menurut Yusuf Qardhawi, prinsip keadilan dalam kewajiban pajak dan zakat meliputi keadilan dalam pemungutan pajak, kebaikan, keringanan pajak, biaya pemungutan yang rendah, dan tidak sewenang-wenang. Prinsip keadilan menjadi landasan utama bagi sistem perpajakan Islam dalam menjaga kesejahteraan sosial dan memastikan penggunaan pajak untuk kepentingan umum. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pelayan rakyat harus bertindak dengan adil dan bijaksana agar dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera dan bebas dari penindasan.
Dalam ajaran Islam, keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya. Keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh jagad raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidakadilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. Oleh sebab itu segala tindakan manusia harus memenuhi rasa keadilan, hal ini dalam rangka menjaga kelestarian kehidupan umat manusia.
Wallahu’alam
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
