Khazanah
Beranda » Berita » Merdekakan Diri Kita Dari Perbuatan Syrik dan Sesaji, Itu Syirik: Antara Tradisi, Keyakinan, dan Tauhid yang Murni

Merdekakan Diri Kita Dari Perbuatan Syrik dan Sesaji, Itu Syirik: Antara Tradisi, Keyakinan, dan Tauhid yang Murni

Merdekan diri kita dari perbuatan syrik dan sesaji Itu Syirik: Antara Tradisi, Keyakinan, dan Tauhid yang Murni

Merdekan diri kita dari perbuatan syrik dan sesaji Itu Syirik: Antara Tradisi, Keyakinan, dan Tauhid yang Murni.

 

 

Di berbagai pelosok negeri, kita masih sering menjumpai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang melibatkan sesaji, tumpeng, atau bentuk-bentuk persembahan kepada apa yang mereka yakini sebagai “penghuni alam”, “roh leluhur”, atau “penguasa gaib” di tempat tertentu. Biasanya praktik ini dibungkus dengan embel-embel pelestarian budaya, adat istiadat, atau bahkan disebut sebagai bentuk rasa syukur kepada alam. Namun, sebagai seorang Muslim, kita dituntut untuk memilah mana yang sesuai dengan tauhid dan mana yang menyimpang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 136:

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

> “Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: ‘Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka saji-sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am: 136)

Ayat ini merupakan teguran keras terhadap praktik kemusyrikan yang lazim terjadi pada masyarakat Arab jahiliyah — dan hari ini praktik serupa masih hidup dalam bentuk yang berbeda, bahkan dikemas sebagai warisan budaya.

Makna Sesaji dalam Konteks Tauhid

Sesaji, secara harfiah, adalah persembahan makanan atau benda tertentu yang diletakkan di tempat tertentu sebagai simbol penghormatan atau pemanggilan kepada makhluk gaib. Dalam perspektif Islam, ketika seseorang mempersembahkan sesuatu bukan untuk Allah, apalagi dengan keyakinan bahwa pemberian itu dapat mendatangkan manfaat atau menolak bala, maka hal itu termasuk dalam perbuatan syirik — yakni menyekutukan Allah dalam bentuk penghambaan.

Syirik adalah dosa terbesar dalam Islam. Allah berfirman:

> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa: 48)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Betapa beratnya dosa ini, bahkan Rasulullah ﷺ memperingatkan umatnya bahwa kebanyakan bentuk syirik yang terjadi di akhir zaman adalah syirik yang samar, yang tidak disadari pelakunya. Maka, sesaji yang diniatkan kepada selain Allah—meskipun dibungkus dengan niat baik seperti keselamatan, tolak bala, atau bentuk penghormatan kepada leluhur—tetaplah bentuk pelanggaran terhadap prinsip tauhid.

Antara Tradisi dan Tauhid

Sebagian kalangan akan membela diri dengan dalih: “Ini hanya tradisi.” Tapi adakah tradisi yang bisa melampaui syariat? Apakah alasan budaya bisa membenarkan penyimpangan dari aqidah Islam?

Dalam surah Al-Baqarah ayat 170, Allah menegaskan:

> “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.”

Islam bukan agama yang anti budaya, namun budaya harus tunduk kepada wahyu. Ketika suatu tradisi menyalahi prinsip aqidah, maka tradisi itu harus ditinggalkan, bukan dilestarikan. Islam tidak datang untuk memberangus kearifan lokal, tapi Islam datang untuk menyucikan akidah dari kerusakan keyakinan yang diwarisi dari nenek moyang yang belum mendapat petunjuk.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Sesaji, Syirik, dan Bahaya Spiritualitas Semu

Praktik sesaji sering dikaitkan dengan aktivitas spiritual yang seolah-olah tinggi nilainya: meminta kepada alam, berdamai dengan gaib, menghormati roh leluhur. Namun, dalam Islam, satu-satunya bentuk spiritualitas yang diterima adalah penghambaan kepada Allah semata, bukan kepada makhluk atau entitas spiritual selain-Nya.

Jika seseorang berdoa, memohon, atau memberikan persembahan kepada makhluk—baik jin, leluhur, atau roh penjaga gunung dan laut—maka itu termasuk dalam bentuk ibadah kepada selain Allah. Dan setiap ibadah yang diberikan kepada selain Allah adalah syirik.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Barangsiapa yang menyembelih (hewan) bukan karena Allah, maka ia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)

Begitu pula saji-sajian berupa makanan atau buah-buahan yang diletakkan di tempat tertentu dengan niat agar tidak diganggu makhluk halus atau sebagai penghormatan kepada “penguasa tempat”, maka itu termasuk dalam perbuatan syirik. Apapun bentuknya — entah tumpeng, nasi kuning, buah-buahan, atau kopi pahit yang ditaruh di pojok rumah — jika niatnya bukan untuk Allah, maka itu adalah ibadah kepada selain-Nya.

Solusi: Meluruskan Niat dan Meninggalkan Tradisi Syirik

Tugas kita bukan sekadar mengecam, tetapi juga memberikan solusi. Berikut beberapa langkah yang bisa diambil:

1. Tingkatkan pemahaman tauhid.
Pendidikan tauhid harus menjadi prioritas dalam keluarga dan masyarakat. Kajian tentang aqidah harus kembali dimasifkan, tidak hanya fokus pada fiqih dan amalan zahir semata.

2. Bentengi diri dengan doa dan dzikir.
Banyak orang terjebak dalam sesaji karena ketakutan terhadap makhluk halus atau bencana. Padahal Allah telah menyediakan perlindungan melalui doa-doa ma’tsurat dan dzikir pagi-sore.

3. Ganti sesaji dengan sedekah.
Bila ingin bersyukur atas panen atau terhindar dari musibah, salurkan niat itu dalam bentuk sedekah kepada manusia, bukan kepada makhluk gaib.

4. Libatkan tokoh agama dan masyarakat.
Dakwah yang bijak dan edukatif perlu melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, dan ulama setempat agar pemahaman tauhid bisa menyatu dengan struktur sosial budaya.

5. Tegaskan batas antara Islam dan animisme.
Jangan campuradukkan Islam dengan tradisi yang berasal dari animisme, dinamisme, dan politeisme. Islam adalah agama yang menghapus keyakinan sebelumnya.

Penutup: Kembali kepada Tauhid

Setiap Muslim wajib menyucikan keyakinan hanya kepada Allah semata. Tidak ada ruang bagi keyakinan kepada jin, makhluk halus, atau arwah leluhur dalam ajaran Islam. Rasulullah ﷺ telah bersabda:

> “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah berkata: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mari kita kuatkan aqidah kita dan ajak keluarga serta masyarakat sekitar untuk meninggalkan tradisi sesaji yang bertentangan dengan tauhid. Budaya yang baik adalah budaya yang selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun budaya yang mengandung syirik, maka itu bukan warisan, tapi ujian yang harus ditinggalkan.

Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam keikhlasan ibadah dan kemurnian tauhid. Aamiin. Ditulis untuk edukasi dan penguatan akidah umat. Boleh disebarluaskan dengan tetap menyertakan sumber ayat & hadits. galeriposterdakwah | @gpdakwah. (Tengku)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement