SURAU.CO – Suatu malam, saya termenung setelah melihat status WhatsApp seorang teman dekat: “Ketika sudah tak dibutuhkan, bahkan ucapan ‘apa kabar’ pun jadi terlalu mahal.” Kalimat itu menohok. Mungkin tanpa sadar, saya telah mengabaikannya. Dan bisa jadi, saya belum menunaikan haknya sebagai sahabat.
Persahabatan bukan sekadar jalan bersama. Ia adalah amanah ruhani. Dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali tidak hanya bicara soal memilih sahabat, tetapi juga bagaimana kita wajib menunaikan hak-hak sahabat, agar persahabatan tidak menjadi sekadar basa-basi sosial, melainkan ladang pahala dan cinta karena Allah.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi (w. 505 H) adalah seorang ulama besar dari Persia yang menjembatani antara fikih, filsafat, dan tasawuf. Dalam perjalanan hidupnya, Al-Ghazali mengalami krisis eksistensial yang kemudian membentuk karya-karya reflektif dan membumi.
Kitab Bidayatul Hidayah adalah karya ringkas namun padat, ditulis sebagai nasihat untuk para penuntut ilmu dan pemula dalam jalan menuju Allah. Ia berisi panduan adab dalam kehidupan harian, mulai dari bangun tidur, mencari ilmu, hingga urusan pergaulan dan ibadah. Bab tentang persahabatan menjadi pengingat bahwa hubungan manusia juga bagian dari ibadah spiritual.
1. Menutup Aib dan Menjaga Kehormatan Sahabat
Al-Ghazali menulis:
وَأَمَّا حُقُوقُ الصُّحْبَةِ فَأَنْ تَسْتُرَ عَوْرَةَ صَاحِبِكَ، وَتَسْعَى فِي حَوَائِجِهِ، وَتَسْكُتَ عَنْ ذِكْرِ مَسَاوِئِهِ
“Adapun hak-hak persahabatan, di antaranya: menutup aib sahabatmu, membantunya dalam kebutuhannya, dan tidak menyebut keburukannya.”
Dalam era media sosial, menjaga aib teman adalah ujian besar. Betapa mudahnya kita menyebar screenshot obrolan pribadi, menggunjing, bahkan menjadikan konflik sebagai bahan konten. Padahal, hak sahabat adalah dijaga kehormatannya, bahkan saat ia sedang jauh dari kita.
Al-Ghazali mengajarkan bahwa menutup aib sahabat bukan berarti membenarkan kesalahannya, tetapi memberinya ruang untuk bertobat tanpa ditelanjangi di depan publik. Inilah bentuk kasih sayang yang sejati.
2. Memberi Nasihat dengan Lembut dan Tidak Menyakitkan
وَتَنْصَحَهُ فِي سِرِّهِ، وَتَعْذِرَهُ فِي زَلَّتِهِ، وَتَلْتَمِسُ لَهُ الْعُذْرَ
“Berilah ia nasihat secara diam-diam, maafkan kesalahannya, dan carilah alasan yang baik baginya.”
Nasihat adalah hak sahabat, tapi cara memberikannya adalah seni. Jangan menasihati untuk menunjukkan keunggulan diri, melainkan untuk menyelamatkan hati. Imam Al-Ghazali mengingatkan agar kita menasihati dalam kesunyian, bukan dalam keramaian yang mempermalukan.
Pernah suatu ketika, saya ditegur oleh seorang teman dengan sangat halus. Ia tidak langsung mengatakan saya salah. Ia bercerita, “Dulu aku juga pernah begitu. Tapi ternyata caraku keliru.” Dari situ saya sadar, nasihat tidak harus menusuk agar menyentuh. Kelembutan bisa lebih ampuh dari seribu debat.
3. Mendahulukan Sahabat dalam Cinta dan Doa
وَتُفَضِّلَهُ عَلَى نَفْسِكَ فِي الْمَحَبَّةِ وَالدُّعَاءِ
“Dahulukan ia atas dirimu dalam cinta dan doa.”
Doa adalah bentuk cinta tertinggi. Imam Al-Ghazali menyarankan agar kita mendoakan sahabat kita bahkan sebelum mendoakan diri sendiri. Bukan karena kita lebih hina, tapi karena cinta yang tulus selalu mengutamakan yang dicintai.
Betapa banyak hubungan retak hanya karena tak ada lagi yang saling mendoakan. Padahal, hubungan yang dijaga dengan doa akan tetap kuat meski terpisah jarak dan waktu. Cinta yang demikian tidak akan usang, karena tertambat pada Allah.
Persahabatan, Jalan Menuju Surga
Menunaikan hak sahabat bukan beban, tapi kesempatan. Di tengah kehidupan yang makin individualis, sahabat yang kita rawat bisa menjadi penolong kita di hari pengadilan.
اللهم اجعلنا من المتحابين فيك، واجعل صحبتنا طريقاً إلى جنتك.
Amin.
Pertanyaan untuk direnungkan: Apakah selama ini kita benar-benar menjadi sahabat yang menunaikan hak-hak sahabat kita? Mari koreksi diri sebelum Allah menanyakan: “Apa yang kau lakukan dengan persahabatan yang Kutitipkan padamu?”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
