SURAU.CO-Saat uban menyapa, manusia kerap terdiam dalam perenungan. Saat uban menyapa, ia tak sekadar menjadi penanda usia, namun juga bukti kebesaran Allah yang menunjukkan betapa hidup adalah siklus yang pasti, tak bisa dihindari. Perubahan rambut dari hitam ke putih bukan hanya proses biologis, tetapi juga sinyal spiritual yang mengajak kita merenungi makna hidup, waktu, dan kedewasaan jiwa.
Dalam Islam, uban bukanlah aib, melainkan tanda kemuliaan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya bagi seorang Muslim.” (HR. Abu Dawud). Tanda usia ini menunjukkan pengalaman, kedewasaan, dan perjalanan panjang yang Allah titipkan kepada hamba-Nya. Uban juga mengingatkan kita akan waktu yang terus berjalan, betapa cepat hidup berlalu, dan bagaimana kita harus mengisi usia dengan amal saleh.
Secara biologis, uban terjadi akibat berkurangnya melanin pada akar rambut. Namun secara spiritual, ia mengajarkan kita untuk menerima perubahan dengan ikhlas dan bersyukur. Ini adalah proses alami yang patut disikapi sebagai bagian dari ketundukan kepada takdir dan kehendak Sang Pencipta.
Refleksi Kehidupan: Ketika Uban Menjadi Cermin Perjalanan
Banyak orang mengaku tertegun saat melihat uban pertama mereka. Sebagian mungkin merasa cemas, namun banyak pula yang memaknai uban sebagai pengalaman hidup. Setiap helai putih itu seolah merekam momen tangis, tawa, doa, dan perjuangan yang telah dilewati. Saat seseorang melihat cermin dan menemukan uban, di sanalah hadir momen kontemplatif—saat jiwa bertanya: sudah sejauh mana aku dalam perjalanan menuju Allah?
Sebagai seorang penulis, saya pernah mendengar cerita dari seorang ibu lansia yang mengatakan, “Setiap uban ini adalah tanda bahwa Allah masih memberiku waktu untuk bertaubat.” Kalimat itu membekas dan mengajarkan bahwa uban bukan hanya soal usia, tetapi tentang kedekatan kita dengan hikmah dan makna hidup.
Bukti Kebesaran Allah dan Tanda Waktu Tak Pernah Salah
Uban menjadi bukti kebesaran Allah dalam menciptakan sistem kehidupan yang teratur. Dari bayi tak berdaya menjadi remaja kuat, lalu dewasa matang hingga menua. Semua proses itu berlangsung sesuai sunatullah. Tak ada manusia yang bisa menolak atau menunda uban, meski dengan teknologi sekalipun.
Dalam Q.S. Ar-Rum: 54, Allah berfirman: “Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban…” Ayat ini menjadi dalil kuat bahwa uban adalah bagian dari desain ilahi, bukan sekadar fenomena biologis.
Menerima Uban: Mengubah Perspektif Jadi Bersyukur
Saat uban mulai muncul, penting untuk mengubah cara pandang. Daripada memandangnya sebagai kelemahan, ubahlah ia menjadi motivasi untuk memperbaiki kualitas hidup. Jadikan setiap uban sebagai pengingat bahwa waktu tak bisa diulang, dan hidup harus dijalani dengan penuh keberkahan. Memelihara amal, memperkuat ibadah, dan memperbaiki hubungan dengan sesama menjadi prioritas yang tak bisa ditunda.
Uban adalah karunia dari Allah SWT, bukan kutukan. Ia adalah pesan lembut dari Nya, bahwa usia berjalan dan jiwa harus bersiap. Mari kita sambut uban sebagai tanda kasih sayang Allah yang memberi kita waktu untuk memperbaiki diri dan mendekat kepada-Nya.Setiap helai putih mengandung pesan bahwa waktu tidak akan menunggu siapa pun. Maka, kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin untuk mendekat kepada Allah dan memperbanyak amal kebajikan.
Uban bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari kesadaran yang lebih dalam tentang arti kehidupan. Ia mengingatkan bahwa setiap fase usia membawa peran dan tanggung jawab yang berbeda. Dengan memaknai uban sebagai tanda kasih sayang dan kebesaran Allah, kita belajar untuk lebih menerima, bersyukur, dan introspektif. (Hen)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
