SURAU.CO – Di berbagai pelosok Indonesia, terutama di wilayah pedesaan dan pinggiran kota, fenomena “sound horeg” atau “sound system horeg” telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan hajatan masyarakat. Suara dentuman bass yang menggelegar, musik dangdut koplo yang menggoda, dan dentuman remix yang bergetar hingga ke tulang adalah ciri khas dari perhelatan ini. Namun, tidak semua pihak serta merta menerima kehadiran sound horeg. Kontroversi mencuat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pernyataan dan fatwa mengenai kebisingan serta dampak negatif hiburan yang berlebihan. MUI melarang sound horeg. Fenomena ini pun memunculkan tarik-ulur antara norma agama, etika sosial, dan kebutuhan ekspresi budaya kelas bawah.
Banyak artikel yang mengangkat topik serupa ini, tentang fenomena sound horeg. Dari pertimbangan kemanfaatan dan hal-hal kurang baik yang muncul dari sound horeg, tentu banyak yang mendukung sikap larangan terhadap sound horeg. Artikel ini melihat dari arah yang lebih tengah. Antara Larangan MUI dan tuntutan kelas bawah. Mencoba menawarkan titik temu antara keduanya.
Sound Horeg itu Apa?
Sound horeg adalah istilah populer yang merujuk pada penggunaan sound system berdaya tinggi dalam acara-acara hajatan seperti pernikahan, khitanan, hingga syukuran. Istilah horeg sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti bergerak atau berputar. Adapula yang berpendapat bahwa kata “horeg” sendiri berasal dari bahasa gaul yang bermakna ‘hore dan greget’.
Pastinya, sound horeg adalah kumpulan sound system yang pemutarannya dengan volume tinggi yang mencerminkan nuansa meriah dan penuh semangat. Biasanya, memutar musik campuran antara remix DJ lokal, lagu dangdut, hingga EDM, dengan suara bass yang sangat kuat.
Sound horeg bukan hanya soal musik, melainkan sudah menjadi bentuk ekspresi identitas sosial dan kebanggaan bagi sebagian masyarakat kelas bawah. Dalam situasi ekonomi yang pas-pasan, menyewa sound system besar menjadi simbol kesuksesan dan bentuk penghormatan kepada tamu yang hadir.
Muasal Sound Horeg
Sound horeg bermula pada era 2000-an. Saat itu, di Jawa Timur khususnya, masyarakat menggunakan pengeras suara untuk hiburan sederhana, termasuk juga untuk sholawatan. Ciri khasnya adalah penggunaan seperangkat sound system besar menggunakan truk, menghasilkan suara yang sangat keras dan menggelegar. Desain ini memungkinkan memindahkan perangkan dengan mudah dari satu lokasi ke lokasi lain. Ideal untuk karnaval keliling atau pertunjukan di ruang terbuka.
Beberapa catatan mengemukakan, kemudian fenomena sound horeg pertama kali mencuat di Malang pada 2014 saat pelaksanaan pawai di sana. Perkembangan komunitas sound horeg semakin terlihat dengan berdirinya Sound Malang Bersatu pada tahun 2017, yang awalnya beranggotakan 11 orang. Popularitas sound horeg terus meledak pada tahun 2019 dan berlanjut meskipun sempat terhenti sementara selama pandemi COVID-19.
Setelah pandemi pada tahun 2020, popularitas horeg meningkat pesat sebagai respons atas kerinduan masyarakat akan hiburan di luar rumah. Sound horeg menyebar ke berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Pati, Blitar, Jember, Kudus, Demak, dan Rembang. Namun, seiring dengan peningkatannya, tahun 2024 hingga 2025 berbagai insiden mewarnai sound horeg. Mulai dari kecelakaan hingga kontroversi mengenai kebisingan dan dampak lingkungan. Rangkaian kejadian inilah yang pada akhirnya mendorong MUI Jatim untuk mengeluarkan fatwa haram atas sound horeg pada Juli 2025.
Fatwa MUI Jatim
Menyikapi maraknya hiburan dengan sound horeg yang berlebihan, MUI Jawa Timur mengeluarkan sikap tegas. MUI Jatim menganggap bahwa sound horeg mengandung unsur tabdzir (pemborosan), menggangu kenyamanan masyarakat sekitar, serta dapat memicu tindakan maksiat seperti berjoget campur antara laki-laki dan perempuan dalam suasana yang tidak kondusif secara syar’i.
Fatwa tersebut mendasarkan pendapat pada beberapa dalil, antara lain:
- Larangan tabdzir dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara setan…” (QS. Al-Isra: 27) - Larangan mengganggu orang lain, sebagaimana hadits:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dengan demikian, MUI Jatim menilai bahwa penggunaan sound system yang berlebihan, terlebih lagi bila mengandung unsur maksiat, tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Tuntutan Sosial dan Budaya Kelas Bawah
Namun, masyarakat tidak serta merta menerima pandangan dan sikap MUI Jatim. Di desa-desa, sound horeg adalah bagian dari dinamika sosial yang lebih luas. Perayaan besar dengan dentuman musik bukan hanya hiburan, tetapi juga menjadi bentuk solidaritas sosial, ajang mempererat relasi antarwarga, dan sarana hiburan murah dan aksesnya mudah.
Sebagian besar masyarakat kelas bawah tidak memiliki akses ke tempat hiburan modern. Di sinilah sound horeg menjadi “panggung rakyat”, tempat warga bisa berjoget, melepaskan penat, dan menghibur diri di tengah kerasnya kehidupan. Dalam konteks ini, sebagian kalangan menganggap kritik terhadap sound horeg sebagai bentuk alienasi atau bahkan diskriminasi terhadap budaya kelas bawah.
Bahkan, beberapa kepala desa dan tokoh masyarakat mempertahankan praktik ini dengan alasan tradisi lokal. Mereka berargumen bahwa menghidupkan sound horeg sudah menjadi bagian dari melestarikan kearifan lokal, selama tidak melanggar norma hukum dan ketertiban umum.
Terkini, dari paguyuban pengusaha sound system di Malang mengganti nama sound horeg usai adanya fatwa haram dari MUI dan aturan yang hampir rampung dari Pemprov Jawa Timur. Paguyuban pengusaha itu kini memakai nama Sound Karnaval Indonesia.
Perseteruan antara fatwa MUI Jatim dan praktik sound horeg di lapangan mencerminkan ketegangan yang lebih dalam: yaitu konflik antara idealisme moral keagamaan dan realitas sosial-ekonomi masyarakat.
Pada satu sisi, MUI memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga umat dari perilaku yang melampaui batas. Namun di sisi lain, masyarakat kecil membutuhkan ruang ekspresi yang mudah dan murah, terangkau, dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam konteks ini, pelarangan total tanpa alternatif justru dapat menciptakan resistensi dan memperbesar jurang antara elite agama dan umat akar rumput.
Mencari Titik Temu: Edukasi, Regulasi, dan Akomodasi
Pendekatan yang lebih solutif mungkin adalah edukasi dan regulasi. Ini lebih baik dari pelarangan mutlak sound horeg. Pemerintah daerah, tokoh agama, dan komunitas lokal dapat duduk bersama untuk merumuskan aturan main yang adil. Jalan tengah kesepakatan misalnya:
- Membatasi volume maksimal sound system agar tidak mengganggu tetangga.
- Menetapkan batas waktu hingga pukul 22.00 malam.
- Mengarahkan pemilik hajatan untuk memilih lagu dan hiburan yang tetap bernuansa sopan.
- Menyediakan panggung seni budaya alternatif yang lebih edukatif namun tetap meriah.
Tokoh agama juga bisa masuk lebih dalam dengan pendekatan yang tidak menghakimi, melainkan membina. Misalnya, mengajak komunitas sound system untuk menghadirkan hiburan yang bernilai positif, menyisipkan selingan ceramah ringan, atau mengangkat musik religi yang tetap bisa tampil secara semarak.
Fenomena sound horeg adalah potret nyata bagaimana ekspresi budaya kelas bawah berhadapan dengan batasan moral dan etika agama. Fatwa MUI tentu memiliki dasar kuat dalam syariat, namun respons sosial dari masyarakat kecil juga menunjukkan adanya kebutuhan riil yang tidak boleh terabaikan.
Maka dari itu, perlu adanya titik temu antara dua kutub ini. Bukan dengan meniadakan salah satunya, melainkan dengan mencari jalan tengah yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai agama. Karena pada akhirnya, suara keras yang bisa terdengarkan bukan hanya dari speaker, tapi juga dari nurani, kearifan, dan empati kita bersama.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
