SURAU.CO – Beberapa waktu lalu, saya duduk di sebuah warung kopi kecil di terminal lama. Seorang bapak tua duduk di samping saya. Pakaiannya lusuh, matanya sembab, dan tak banyak bicara. Saya hanya menyapanya pelan. Tak lama kemudian, dia berkata, “Nak, terima kasih sudah menyapa. Sudah lama saya tak dianggap ada.” Kalimat itu menampar saya lebih keras daripada kuliah filsafat manapun.
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, adab kepada orang yang tidak kita kenal nyaris jadi barang mewah. Kita lebih peduli pada notifikasi ponsel daripada wajah-wajah asing yang kita lewati setiap hari. Di sinilah Bidayatul Hidayah hadir sebagai pengingat akhlak sejati bukan hanya kepada yang kita kenal, tapi justru kepada yang tak punya kuasa di hidup kita.
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi (w. 505 H) adalah salah satu ulama besar abad ke-5 Hijriah. Ia dikenal sebagai Hujjatul Islam, ahli fikih, filsuf, dan sufi agung yang menggabungkan kedalaman ilmu syariat dan hakikat. Setelah menempuh krisis eksistensial di puncak kariernya sebagai dosen di Madrasah Nizamiyah Baghdad, Al-Ghazali memilih jalan tasawuf dan menulis karya-karya spiritual yang monumental.
Salah satu karyanya yang ringkas dan praktis adalah Bidayatul Hidayah, sebuah panduan awal bagi penempuh jalan Allah. Kitab ini ditujukan bagi para pemula yang ingin menapaki tangga hidayah dengan adab, disiplin, dan akhlak. Dalam kitab ini, adab kepada orang asing bukan hal sepele, melainkan bagian dari pencapaian jiwa yang luhur.
1. Jangan Merendahkan Orang Asing, Meskipun Tidak Dikenal
Imam Al-Ghazali mengingatkan:
وَلَا تَسْتَحْقِرْ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنَّهُ عَظِيمٌ عِنْدَ اللَّهِ
“Jangan merendahkan seorang pun dari kalangan muslimin, sebab bisa jadi ia sangat mulia di sisi Allah.”
Kadang, kita mudah menghakimi orang dari tampilan luarnya. Seorang penjual cilok, pengamen jalanan, atau pemulung kita anggap mereka tak berharga karena tak tampak cerdas atau mapan. Namun Al-Ghazali membuka mata kita, siapa tahu orang yang kita remehkan justru lebih mulia di sisi Allah daripada kita yang merasa lebih ‘berilmu’ atau ‘beradab’.
Dalam kehidupan modern, adab ini menuntut kita untuk menanggalkan topeng kelas sosial dan ego akademik. Karena nilai seseorang tak bisa diukur dari followers, jabatan, atau almamater, melainkan dari kebeningan hatinya yang mungkin tersembunyi di balik sunyi.
2. Tampilkan Wajah Ramah, Walau pada yang Tak Kita Kenal
Al-Ghazali juga menulis:
وَلَا تَكُنْ عَبُوسَ الْوَجْهِ فِي وَجْهِ أَخِيكَ الْمُسْلِمِ، وَلكِنِ الْقَهْ بِالبِشْرِ وَالتَّبَسُّمِ
“Jangan bermuka masam kepada sesamamu Muslim. Sambutlah mereka dengan wajah cerah dan senyum.”
Senyum sederhana, barangkali tampak remeh. Tapi ia bisa menjadi penyambung silaturahmi, pembuka pintu hati, bahkan pemutus rantai kesepian. Di zaman yang serba tergesa, senyum pada orang asing bukan hanya sopan santun, melainkan tindakan spiritual.
Cobalah berjalan di trotoar kota besar, lalu tatap mata orang yang lewat dan berikan senyuman kecil. Jangan terkejut jika sebagian dari mereka balas tersenyum, dan bahkan merasa lebih dihargai sebagai manusia.
3. Hindari Su’udzan terhadap yang Tak Kita Kenal
Dalam kitab ini, Imam Al-Ghazali juga mengingatkan bahaya prasangka:
إِيَّاكَ وَسُوءَ الظَّنِّ، فَإِنَّهُ خِيَانَةُ الْقَلْبِ
“Hindarilah prasangka buruk, sebab itu adalah bentuk pengkhianatan hati.”
Kita sering mengira orang yang berpakaian lusuh pasti miskin, yang diam pasti sombong, atau yang banyak bicara pasti dangkal. Padahal, hidup selalu punya sisi yang tak terlihat.
Berbaik sangka kepada orang asing bukan berarti naif. Justru itu tanda keimanan dan ketawadhuan. Al-Ghazali mengajak kita melatih hati agar tidak mudah menuduh, apalagi menghina, hanya karena perbedaan wajah, warna kulit, atau logat bicara.
Saat Tak Ada yang Melihat, Allah Melihat
Adab kepada orang yang tak kita kenal adalah ujian ketulusan. Sebab, tidak ada balasan duniawi yang pasti. Tak ada pujian, tak ada reputasi. Hanya ada ridha Allah yang mungkin tersembunyi di balik sikap ramah, senyuman, atau sekadar menyapa orang asing.
Jika kita ingin menjadi hamba yang mulia, bukan hanya saat di mimbar atau panggung, tapi juga saat di angkot, di lorong pasar, dan di halte bus—maka belajarlah dari Bidayatul Hidayah.
اللهم اجعلنا من أهل التواضع، وأهل السُّمعة الحسنة في الدنيا والآخرة، واجعلنا ممن يحب عبيدك لوجهك الكريم.
Amin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.