SURAU.CO – Saya tumbuh besar dari rahim doa seorang ibu dan peluh ayah yang tak banyak bicara. Di balik kesederhanaan rumah kami, ada satu nasihat yang tak pernah hilang gema: “Nak, jangan tinggikan suara di depan orang tuamu, biarpun kamu merasa benar.”
Kalimat sederhana itu menggema kembali saat saya membaca Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali. Dalam kitab tersebut, bab tentang adab kepada orang tua bukan sekadar tambahan moralitas, tapi fondasi spiritual menuju ridha Allah. Dalam dunia yang kian gaduh, di mana keberhasilan sering disandingkan dengan pencapaian akademik atau finansial, adab terhadap ibu bapa seolah menjadi pelajaran yang tercecer di tepi jalan.
Namun, Imam Al-Ghazali menuntun kita kembali. Ia mengingatkan bahwa ridha Allah bergantung pada ridha orang tua. Mari kita menyelami warisan luhur ini.
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, wafat pada 505 H, dikenal sebagai pemikir besar dalam bidang tasawuf, filsafat, dan fiqih. Ia dilahirkan di Thus, wilayah Khurasan (Iran sekarang), dan pernah menjadi rektor Nizamiyah Baghdad, salah satu madrasah paling prestisius kala itu.
Namun, di puncak karier intelektualnya, Al-Ghazali mengalami krisis spiritual dan memilih jalan sufi. Salah satu karya penting setelah masa perenungannya adalah Bidayatul Hidayah kitab ringkas namun padat yang diperuntukkan bagi para pencari awal di jalan Allah. Kitab ini menata ulang relasi manusia dengan Tuhannya, sesama makhluk, serta adab-adab kehidupan sehari-hari.
Di antara bab-bab pentingnya, terdapat pembahasan mengenai adab kepada kedua orang tua. Ia menempatkan adab ini sebagai syarat awal untuk mendekat kepada Sang Khalik.
1. Jangan Sekadar Patuh, Tundukkan Hatimu
Imam Al-Ghazali menulis:
وَأَطِعْ وَالِدَيْكَ، وَتَوَاضَعْ لَهُمَا، وَلَا تَنْظُرْ إِلَيْهِمَا بِعَيْنِ الْغَضَبِ، وَلَا تَرْفَعْ صَوْتَكَ فَوْقَ صَوْتِهِمَا…
“Taatilah kedua orang tuamu, rendahkan dirimu di hadapan mereka, jangan memandang mereka dengan pandangan marah, dan jangan mengangkat suaramu di atas suara mereka…”
Al-Ghazali tidak hanya memerintahkan patuh, tapi juga menekankan kelembutan hati. Dalam dunia hari ini, di mana relasi kadang jadi formal dan fungsional, ajaran ini terasa begitu dalam. Patuh bisa jadi sekadar bentuk luar, tetapi menundukkan hati memerlukan kerendahan diri dan cinta yang tulus.
Banyak anak hari ini rajin mengirim uang ke orang tuanya, tapi jarang mengangkat telepon atau mendengar kisah lama yang diulang-ulang. Padahal, kadang yang dibutuhkan orang tua hanyalah perhatian dan waktu.
2. Doakan Mereka, Bahkan Setelah Mereka Tiada
وَادْعُ اللهَ لَهُمَا فِي حَيَاتِهِمَا وَبَعْدَ مَوْتِهِمَا
“Berdoalah kepada Allah untuk mereka, baik ketika masih hidup maupun setelah mereka wafat.”
Dalam tradisi Islam, doa anak shalih adalah amal jariyah bagi orang tua. Al-Ghazali mengajarkan bahwa hubungan seorang anak dengan orang tuanya tak berhenti di liang kubur. Bahkan justru setelah wafat, doa menjadi bentuk bakti paling murni.
Saya teringat saat ayah saya berpulang tahun lalu. Di atas pusaranya, saya hanya bisa mengulang lirih: “رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا” – “Ya Rabb, rahmatilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangiku ketika kecil.” Tidak ada lagi yang bisa saya beri, selain doa yang tulus.
3. Jangan Merasa Lebih Tahu dari Mereka
Di zaman modern, banyak anak merasa lebih pintar dari orang tuanya terutama karena akses internet dan pendidikan. Namun Al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu tanpa adab justru menjerumuskan.
Ia menyindir murid-murid yang fasih berbicara di forum diskusi, tapi lupa menolong ibu mengambilkan air minum. Bahkan dalam pembelajaran, ia menegaskan bahwa ilmu harus melahirkan kerendahan hati, bukan kesombongan.
Maka, meskipun kita bergelar sarjana atau doktor, tetaplah rendahkan suara saat menegur ibu. Tetaplah mendengarkan ayah, meski kadang ia mengulang cerita lama dengan nada keras. Karena di balik suara itu, ada cinta yang mungkin tak pandai dieja.
Menjadi Anak yang Dirindukan Langit
Membaca bagian ini dari Bidayatul Hidayah, saya merasa seolah Imam Al-Ghazali sedang menasihati kita secara pribadi. Ia tidak sedang memberi teori, tapi menggugah nurani.
Dalam tradisi Islam, orang tua bukan sekadar wali biologis, tapi pintu utama menuju ridha Ilahi. Jika kita ingin hidup kita diberkahi, jika kita ingin ilmu kita membawa cahaya, mulailah dari menata hubungan dengan ibu dan ayah.
اللهم اجعلنا من البارين بوالدينا في حياتهم وبعد موتهم، واغفر لنا تقصيرنا في حقهم.
Amin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
