SURAU.CO – Menjadi guru bukan sekadar menyampaikan ilmu. Dalam tradisi Islam klasik, terutama dalam kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali, tugas guru jauh lebih sakral yakni menuntun hati, bukan hanya akal. Guru adalah lentera di tengah zaman yang gelap oleh kepentingan dunia.
Saya ingat betul, suatu ketika seorang sahabat mengeluh: “Hari ini, murid-murid seperti tidak hormat lagi pada guru.” Saat itu saya hanya diam. Tapi di dalam hati saya bergolak: mungkin bukan hanya soal murid, mungkin kita para guru juga telah melupakan adab yang dahulu dijaga oleh para ulama salaf.
Kitab Bidayatul Hidayah mengajak kita untuk kembali menata niat dan laku. Imam Al-Ghazali, sang hujjatul Islam, tidak menulis ini untuk menciptakan metode pengajaran baru. Ia menulis untuk menghidupkan kembali ruh pengajaran.
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, seorang ulama besar dari Persia, hidup antara tahun 450–505 H. Ia dikenal luas sebagai pakar fikih, kalam, dan terutama tasawuf. Setelah menempuh pencarian intelektual dan spiritual, ia menulis karya-karya besar, termasuk Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah.
Bidayatul Hidayah merupakan kitab pengantar spiritual bagi para penuntut ilmu. Ditulis khusus untuk murid yang ingin serius menapaki jalan Allah. Bahasanya ringkas, tapi isinya dalam. Ia menekankan pentingnya adab lahir dan batin dalam menuntut ilmu dan mengajar.
Kitab ini bukan hanya dipelajari di pesantren, tapi juga menjadi bacaan ruhani bagi siapa saja yang ingin mengembalikan makna pendidikan sebagai jalan mendekat kepada Ilahi.
1. Mengajar adalah Jalan Akhirat
Imam Al-Ghazali membuka bab ini dengan mengingatkan:
واعلم أن تعليمك للعلم من التجارة الآخرة، وهو أشرف الأعمال…
“Ketahuilah, mengajar ilmu adalah bagian dari perniagaan akhirat, dan itu termasuk pekerjaan paling mulia…”
Mengajar bukan ladang mencari dunia. Ini adalah investasi ruhani. Seorang guru harus menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari lisannya bisa jadi cahaya di hari kiamat, atau sebaliknya, menjadi beban jika tidak diniatkan dengan benar.
Di zaman sekarang, banyak guru terjebak dalam rutinitas administratif. Namun kutipan di atas menegaskan sesibuk apapun, niat utama kita harus tetap lurus mengharap ridha Allah, bukan pujian manusia.
2. Sesuaikan Ilmu dengan Kadar Akal Murid
Selanjutnya, Al-Ghazali mengingatkan:
ولا تذكر لهم من دقائق العلم إلا ما يليق بعقولهم…
“Jangan sampaikan kepada mereka detail-detail ilmu yang tidak sepadan dengan akalnya…”
Nasihat ini tampak sederhana, tetapi dalam praktik, sangat menantang. Banyak guru termasuk saya dahulu terjebak ingin menunjukkan betapa pintarnya kita, tanpa peduli apakah murid kita paham atau tidak.
Al-Ghazali menasihati agar kita menahan diri, memahami kesiapan batin murid, dan menyampaikan ilmu secara bertahap. Ini bukan hanya pedagogi, tetapi juga laku rendah hati. Kita tidak mengajar untuk pamer, tapi untuk mengangkat derajat murid.
3. Hindari Popularitas dan Pamer Ilmu
Lebih lanjut, beliau menulis:
ولا يكن همك أن تتكثر بهم، فإن ذلك من علامات أهل الدنيا…
“Jangan jadikan tujuanmu agar muridmu banyak, karena itu tanda pecinta dunia.”
Banyak bukan berarti berkah. Hari ini, mudah sekali guru tergoda oleh jumlah followers, subscribers, atau audiens. Namun, Al-Ghazali mengajarkan bahwa kualitas lebih penting dari kuantitas. Satu murid yang tercerahkan lebih bernilai daripada seribu yang hanya sekadar hadir.
Saya teringat seorang guru di desa saya. Ia hanya mengajar lima santri, tapi seluruh hidupnya diabdikan untuk mereka. Kini kelima santri itu menjadi tokoh di masyarakat. Inilah yang dimaksud perniagaan akhirat kecil di mata dunia, tapi besar di sisi Tuhan.
Menjadi Guru yang Mendidik Jiwa
Di ujung bab ini, saya merenung adab guru bukanlah teori. Ia adalah latihan harian, mujahadah batin, dan laku spiritual. Menjadi guru yang penuh adab seperti yang digambarkan Al-Ghazali adalah proses yang panjang, tapi mulia.
Kita tidak hanya butuh kurikulum, tetapi juga ketulusan. Kita tidak cukup hanya dengan metode, tetapi perlu adab.
Semoga Allah karuniakan kita kekuatan untuk meneladani adab para ulama. Dan semoga setiap ilmu yang kita ajarkan menjadi jalan menuju cahaya, bukan sekadar gelar atau gaji.
اللهم اجعلنا من المربين بالهدى، ولا تجعلنا من المزخرفين بالهوى.
Amin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
