SURAU.CO. Di era digital ini, ketajaman lisan telah bergeser ke jari-jemari yang berbicara melalui tulisan di media sosial. Media sosial riuh dengan berbagai status dan komentar. Sebagai umat Islam, kita harus berhati-hati dalam membuat status atau komentar yang dapat menyinggung dan menyakiti orang lain. Lisan kita ibarat pisau yang dapat melukai banyak orang jika tidak digunakan dengan bijak. Banyak dosa yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka berasal dari lisan mereka, seperti berdusta, menuduh orang tanpa bukti, memaki-maki, memfitnah, dan menggunjing.
Kita harus menjaga lisan dan tulisan kita karena keselamatan manusia tergantung pada kemampuan kita menjaga lisan. Di era internet dan media sosial, budaya berkomentar telah menjadi kebiasaan yang berkembang. Dengan mudahnya orang berkomentar tentang segala hal, tidak penting hal yang dikomentari penting atau tidak penting. Bagi mereka yang penting komentar. Agama Islam yang mulia ini telah mengarahkan kita pada kebiasaan yang sebaliknya yaitu sedikit berbicara/komentar dan banyak membaca.
Diam itu Emas
Dalam menjalani kehidupan ini, kita harus belajar untuk menjadi pribadi yang mampu menjaga lisan dengan baik dan benar. Banyak berbicara dapat membuat kita tergelincir dalam kesalahan. Agar terhindar dari berbagai kesalahan, kita harus mampu menahan diri untuk tidak berkomentar. Apalagi terhadap sesuatu yang kita tidak ketahui pasti kebenarannya dan juga kita tidak memiliki ilmu tentang sesuatu yang kita komentari.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia mengucapkan dengan kata yang baik, atau hendaknya dia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Diam dapat menjadi akhlak yang paling utama jika kita dapat menghindari pembicaraan yang sia-sia dan berbau maksiat.
Kita harus menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat bagi kepentingan dunia maupun agama, serta tidak membalas kata permusuhan. Kita juga harus menjaga lisan dan ucapan kita agar tidak melakukan dosa dan kesalahan. Dengan demikian, diam dapat menjadi ibadah yang paling tinggi tingkatannya karena kita dapat menghindari keburukan dan meningkatkan kualitas spiritual kita.
Meski diam dapat menjadi akhlak paling utama, banyak orang masih belum mau menahan diri untuk tidak terlibat dalam pembicaraan yang tidak berfaedah dan sia-sia. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga bersabda, “Diam itu hikmah, namun sedikit sekali yang melakukannya.” (Hr. Qadha’i)
Namun, diam juga tidak selamanya menjadi akhlak yang paling utama. Zikir, membaca Al-Quran, dan belajar ilmu agama jauh lebih baik daripada diam.
Penulis kitab Hasan as-samat fi as-Shumti karya Imam Suyuthi menjelaskan bahwa tuntutan diam tidak bersifat mutlak. Seorang muslim harus berbicara dengan bijak dan tetap pada konteks kebaikan. Kita harus menahan diri dari berbicara tentang keburukan dan topik yang tidak patut dibicarakan. Kita harus bertanggung jawab atas setiap perkataan yang keluar dari mulut kita dan mempersiapkan diri untuk pertanggungjawaban di akhirat atas setiap kata yang kita ucapkan.
Menjaga Lisan
Kita harus proaktif mengendalikan lidah kita dan menggunakan kata-kata yang bijak agar tidak menyakiti orang lain yang dapat menyebabkan kita masuk ke neraka. Luka fisik akibat pukulan tangan dapat sembuh dalam waktu singkat, tetapi luka batin akibat ungkapan lidah yang menusuk dapat sulit disembuhkan. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam menggunakan lidah kita dan mengendalikan kata-kata kita agar tidak menimbulkan kejahatan dan kerusakan. Dengan demikian, kita dapat meningkatkan kualitas spiritual kita dan menjaga hubungan baik dengan orang lain
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Engkau telah salah mengira wahai Mu’adz, tidaklah manusia dilempar ke Neraka di atas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka .” [HR.Tirmidzi]
Kita harus ingat bahwa setiap perkataan kita akan dicatat oleh malaikat, baik perkataan yang banyak maupun sedikit, teriakan yang keras maupun ungkapan kecil. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam berbicara dan memastikan bahwa kata-kata kita bernilai positif. Malaikat pencatat amal kita akan mencatat setiap perkataan kita, sehingga kita harus bertanggung jawab atas setiap kata yang keluar dari mulut kita.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Qaf ayat 18 menyebutkan “Tiada satu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”
Dengan demikian, kita harus berhati-hati dalam menggunakan lisan dan tulisan kita. Status media sosial kita dapat menjadi cerminan dari diri kita, dan kita harus memastikan bahwa kata-kata kita tidak menyakiti orang lain. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepada saya (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan jaminan masuk surga.” Kita harus berusaha untuk menjaga lisan dan tulisan kita dengan baik dan benar.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
