SURAU.CO – Di era digital yang serba terhubung ini, kita sering mendengar istilah FOMO atau Fear of Missing Out. Perasaan ini memicu cemas dan gelisah karena kita merasa orang lain menjalani kehidupan yang lebih baik. Media sosial terus-menerus menyiramkan bensin ke dalam api kecemasan ini. Setiap hari, kita menyaksikan teman-teman berlibur, membeli barang baru, atau merayakan kesuksesan mereka.
Akibatnya, hati kita kehilangan ketenangan. Kita mulai membanding-bandingkan panggung belakang kita dengan panggung depan orang lain. Perasaan tidak cukup baik dan takut ketinggalan tren pun mulai menghantui. Namun, kita harus sadar bahwa FOMO bukanlah penyakit modern. Sejatinya, ia hanyalah penyakit hati kuno yang kini berganti nama.
Akar Masalah: Hilangnya Syukur dan Qana’ah
Pada hakikatnya, FOMO berakar dari penyakit hati yang lebih dalam. Dua hal utama yang memicu penyakit ini adalah kurangnya rasa syukur dan hilangnya sifat qana’ah atau merasa cukup. Hati yang terjangkit FOMO akan selalu memandang ke atas dalam urusan duniawi.
Pandangan yang terus-menerus tertuju pada pencapaian orang lain inilah yang menyuburkan benih hasad atau iri dengki. Akibatnya, seseorang tidak lagi merasa bahagia dengan hidupnya sendiri. Ia terlalu sibuk mengkhawatirkan apa yang tidak ia miliki, sementara ia lupa pada anugerah yang sudah ada di dalam genggamannya.
Resep Langit: Obat Penenang Jiwa dari Rasulullah
Syukurlah, Islam tidak membiarkan kita terombang-ambing dalam kegelisahan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebuah resep yang sangat ampuh. Jika kita mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, resep ini akan memutus akar FOMO hingga ke dasarnya. Beliau mengajarkan sebuah cara pandang yang sungguh revolusioner.
Dalam sebuah hadis, beliau bersabda,
“Lihatlah orang yang berada di bawah kalian, dan janganlah melihat orang yang berada di atas kalian. Yang demikian itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Nasihat ini terdengar sederhana, tetapi dampaknya bagi jiwa sungguh luar biasa. Mari kita bedah dua bagian penting dari resep nabawi ini.
1. Lensa Duniawi: Selalu Arahkan Pandangan ke Bawah
Resep pertama memerintahkan kita untuk selalu melihat orang yang kurang beruntung dalam urusan dunia. Jika Anda merasa mobil Anda sudah tua, maka lihatlah saudara kita yang hanya memiliki sepeda motor. Apabila Anda merasa motor Anda kurang bagus, maka lihatlah mereka yang setiap hari harus bergantung pada angkutan umum. Jika Anda lelah naik angkutan umum, maka ingatlah mereka yang harus berjalan kaki berkilo-kilometer setiap hari.
Metode ini secara otomatis akan memicu rasa syukur yang tulus dari dalam hati. Kita akan menyadari, “Alhamdulillah, ternyata nikmat yang Allah berikan kepadaku jauh lebih banyak.” Ketika rasa syukur ini memenuhi rongga dada, perasaan FOMO tidak akan mendapat tempat lagi.
2. Lensa Akhirat: Selalu Arahkan Pandangan ke Atas
Akan tetapi, dalam satu arena, Islam memerintahkan kita untuk melakukan hal sebaliknya. Arena tersebut adalah urusan akhirat. Dalam hal ibadah, ilmu, dan ketakwaan, kita harus senantiasa melihat orang-orang yang lebih hebat dari kita. Jika Anda merasa sudah rajin shalat, maka lihatlah mereka yang tidak pernah meninggalkan shalat malam. Apabila Anda merasa sudah banyak bersedekah, maka lihatlah mereka yang berani menginfakkan separuh hartanya di jalan Allah.
Cara pandang ini akan melahirkan semangat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Sikap ini membuat kita takut ketinggalan dalam meraih pahala. Kita menjadi cemas jika Allah lebih mencintai amalan orang lain daripada amalan kita. Islam justru sangat menganjurkan FOMO semacam ini.
Ketika Rasa Iri Menjadi Terpuji
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan menjelaskan semangat kompetisi dalam kebaikan ini pada hadis lain. Beliau bersabda,
“Tidak boleh hasad (iri), kecuali pada dua orang. (Pertama) yaitu seorang yang Allah anugerahkan Al-Qur’an, lalu ia membacanya pada waktu malam dan siang. (Kedua) yaitu seorang yang Allah anugerahkan harta, lalu ia infakkan pada waktu malam dan siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud hasad di sini bukanlah iri dengki yang tercela, melainkan ghibthah. Ghibthah berarti kita menginginkan nikmat yang sama tanpa berharap nikmat itu hilang dari orang lain.
Mengubah Arah Pandang untuk Ketenangan
Jadi, obat sesungguhnya untuk FOMO bukanlah sekadar berhenti dari media sosial. Obat paling mendasar adalah mengubah arah pandang kita. Arahkan pandangan kita ke bawah untuk urusan dunia, lalu arahkan pandangan kita ke atas untuk urusan akhirat. Dengan menerapkan resep nabawi ini, kita akan memenuhi hati kita dengan dua sifat mulia: syukur dan semangat beribadah. Inilah jalan pasti menuju ketenangan jiwa yang hakiki.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
