Kisah
Beranda » Berita » Kisah Kaum Tsamud: Pelajaran dari Bangsa Pemahat Gunung

Kisah Kaum Tsamud: Pelajaran dari Bangsa Pemahat Gunung

Kisah Kaum Tsamud

SURAU.CO – Al-Qur’an menyajikan banyak sekali kisah umat terdahulu, bukan sekadar sebagai cerita, melainkan sebagai cermin dan pelajaran berharga. Salah satu kisah yang paling monumental adalah tentang Kaum Tsamud, sebuah bangsa yang pernah mencapai puncak peradaban. Namun, pada akhirnya kesombongan justru menghancurkan mereka.

Kisah mereka merupakan bukti nyata kekuasaan Allah yang mutlak. Lebih dari itu, ia menunjukkan akibat buruk dari penolakan terhadap kebenaran. Untuk itu, mari kita telusuri jejak kehidupan Kaum Tsamud dan saksikan bagaimana nikmat yang melimpah dapat berubah menjadi azab yang pedih ketika rasa syukur hilang dari hati.

Kemewahan yang Melahirkan Kesombongan

Kaum Tsamud adalah bangsa penerus dari Kaum ‘Ad. Mereka mendiami sebuah daerah subur bernama Al-Hijr, yang terletak di antara Hijaz dan Syam. Di sana, Allah menganugerahkan mereka nikmat yang tak terhitung. Tanah mereka begitu subur sehingga hasil pertanian dan perkebunan melimpah ruah.

Selain kekayaan alam, mereka juga memiliki keahlian arsitektur yang sangat luar biasa. Mereka begitu pandai memahat bebatuan. Bahkan, gunung-gunung besar mampu mereka ubah menjadi istana yang megah dan rumah-rumah yang kokoh. Allah Ta’ala mengabadikan kemahiran mereka dalam firman-Nya.

“Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin.” (QS. Asy-Syu’ara: 149)

Kisah Khaulah binti Tsa’labah dan Turunnya Surat al-Mujadilah

Akan tetapi, alih-alih bersyukur, semua kemewahan itu justru membuat mereka angkuh. Mereka melupakan Allah sebagai Sang Pemberi Nikmat. Akibatnya, mereka kembali tersesat dalam penyembahan berhala, sama seperti kaum sebelumnya.

Diutusnya Nabi Saleh ‘alaihissalam

Di tengah kesesatan tersebut, Allah menunjukkan kasih sayang-Nya dengan mengutus seorang rasul dari kalangan mereka sendiri. Rasul pilihan itu adalah Nabi Saleh ‘alaihissalam, seorang pria yang dikenal bijaksana dan terpandang di kaumnya. Tugas beliau sangatlah jelas, yakni mengajak kaumnya untuk kembali ke jalan yang lurus.

Dengan lembut Nabi Saleh berkata kepada mereka.

“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS. Hud: 61)

Beliau tanpa lelah mengingatkan mereka akan segala nikmat yang telah Allah berikan. Selain itu, beliau juga memperingatkan tentang azab yang pernah menimpa Kaum ‘Ad. Namun, seruannya hanya diterima oleh segelintir orang, sementara sebagian besar dari mereka tetap memilih kekafiran.

Imam Junaid al-Baghdadi: Dari Pegulat Tangguh Menjadi Kekasih Allah

Tantangan untuk Sebuah Mukjizat

Para pembesar Kaum Tsamud tentu merasa terganggu dengan dakwah Nabi Saleh. Mereka menganggapnya sebagai ancaman terhadap kekuasaan dan tradisi mereka. Oleh karena itu, mereka menantang Nabi Saleh untuk membuktikan kerasulannya dengan sebuah permintaan yang mustahil menurut akal.

Suatu hari, mereka berkumpul di dekat sebuah batu besar yang mereka agungkan. Lalu, mereka berkata dengan nada mengejek, “Jika engkau benar seorang rasul, mintalah kepada Tuhanmu untuk mengeluarkan seekor unta betina dari batu besar ini, lengkap dengan syarat unta itu harus sedang hamil sepuluh bulan.” Tanpa ragu, Nabi Saleh menerima tantangan itu dan segera berdoa kepada Allah Ta’ala.

Unta Betina, Tanda Kebesaran Allah

Karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Dia pun mengabulkan doa Nabi Saleh. Dengan izin-Nya, batu besar itu terbelah secara ajaib. Dari dalamnya, keluar seekor unta betina yang sangat besar, persis seperti yang mereka minta. Peristiwa luar biasa ini tentu saja sangat mengejutkan mereka.

Setelah melihat mukjizat yang begitu nyata, sebagian dari mereka akhirnya menyatakan beriman. Namun, para pemimpin yang sombong tetap bersikeras dalam penolakan. Mereka menutup mata dari kebenaran yang sudah ada di hadapan mereka.

Unta tersebut kemudian menjadi ujian langsung bagi seluruh kaum. Untuk itu, Nabi Saleh menetapkan sebuah aturan yang jelas.

Kisah Abu Bakar al-Syibli: Wali Allah yang Dituduh Orang Pelit

“Ini adalah seekor unta betina dari Allah sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu. Sebab itu, biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat.” (QS. Hud: 64)

Sebagai bagian dari ujian, ada pembagian jatah air minum. Sehari untuk unta, dan hari berikutnya untuk seluruh kaum dan ternak mereka.

Puncak Kedurhakaan: Pembunuhan Keji

Awalnya, mereka mematuhi aturan tersebut. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, mereka mulai merasa jengkel. Kehadiran unta ajaib itu mereka anggap sebagai penghalang. Rasa benci pun mulai tumbuh dan memuncak di dalam hati mereka.

Akhirnya, mereka merencanakan sebuah kejahatan besar. Di antara mereka, ada sembilan orang yang paling jahat dan menjadi provokator utama. Merekalah yang terus menghasut orang-orang untuk membunuh unta tersebut. Allah menceritakan peran mereka.

“Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan.” (QS. An-Naml: 48)

Terhasut oleh mereka, majulah orang yang paling celaka di antara kaum itu, yakni Qudar bin Salif. Dengan kejam, ia menyergap dan membunuh unta mukjizat tersebut. Setelah itu, mereka semua bersorak gembira seolah-olah telah meraih kemenangan.

Peringatan Azab dan Tiga Hari Penantian

Setelah melakukan kejahatan keji itu, mereka dengan angkuh menantang Nabi Saleh, “Datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami!” Menanggapi hal itu, Nabi Saleh kemudian memberikan peringatan terakhir yang tak bisa ditawar.

Beliau berkata, “Bersenang-senanglah kamu di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.”

Selama tiga hari penantian itu, tanda-tanda kebinasaan mulai muncul. Pada hari pertama, wajah mereka berubah menjadi kuning pucat. Keesokan harinya, wajah mereka memerah. Dan pada hari ketiga, wajah mereka menghitam legam. Ketakutan pun mulai menyelimuti mereka.

Azab Dahsyat yang Membinasakan

Tepat setelah hari ketiga berakhir, pada waktu subuh, azab Allah yang dijanjikan pun datang. Tiba-tiba, terdengar satu suara yang sangat keras dari langit. Suara itu begitu dahsyat hingga memecahkan jantung mereka seketika. Pada saat yang sama, bumi pun diguncangkan oleh gempa yang hebat.

“Dan satu suara yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di tempat tinggal mereka.” (QS. Hud: 67)

Dalam sekejap, semua penduduk yang kafir tewas bergelimpangan. Istana dan rumah-rumah batu yang mereka banggakan sama sekali tidak mampu melindungi mereka. Mereka mati dalam keadaan hina, sementara Nabi Saleh dan para pengikutnya telah diselamatkan oleh Allah dengan meninggalkan negeri itu sebelum azab tiba. Kisah mereka menjadi pengingat abadi bagi seluruh umat manusia.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement