Jangan Menyakiti Siapa Pun: Jalan Keselamatan dan Kemuliaan Akhlak dalam Islam.
Di tengah dinamika kehidupan yang penuh dengan gesekan, kesalahpahaman, dan emosi yang tak terkendali, nasihat dalam gambar ini mengandung pesan yang dalam dan sangat relevan: “Jangan menyakiti siapa pun agar doanya tidak mempersulit hidupmu.” Kalimat sederhana, namun sarat makna spiritual dan sosial. Dalam Islam, menjaga lisan dan tingkah laku bukanlah sekadar sopan santun, tetapi bagian dari kesempurnaan iman dan jalan menuju keselamatan di dunia dan akhirat.
Makna Mendalam dari Jangan Menyakiti Siapa Pun
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
> “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis ini, Rasulullah menekankan bahwa seseorang belum sempurna keislamannya jika masih menyakiti orang lain, baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Menyakiti orang bisa berupa fitnah, gibah, mencaci, memukul, menipu, hingga sekadar mengabaikan hak-haknya. Bahkan, dalam konteks sosial, sekadar menyebarkan informasi negatif tentang orang lain bisa menjadi sebab turunnya bencana.
Mengapa kita harus menjaga diri dari menyakiti orang lain? Karena kita tidak pernah tahu seberapa kuat doa orang yang kita sakiti. Doa orang yang dizalimi sangat mustajab. Dalam hadis disebutkan bahwa:
“Takutlah kamu terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lidah: Senjata yang Lebih Tajam dari Pedang
Ungkapan dalam gambar tersebut melanjutkan: “Jaga lisanmu, jaga tingkahmu, sebab kamu tidak pernah tahu, hal apa yang bisa menyakiti orang lain.” Ini adalah pengingat untuk setiap Muslim bahwa lisan kita bisa menjadi sumber pahala besar atau dosa besar. Satu kalimat yang diucapkan bisa menyelamatkan atau menghancurkan hidup seseorang.
Di zaman media sosial, lisan berubah bentuk menjadi jari-jari. Apa yang kita ketik, unggah, dan sebarkan sama saja dengan apa yang kita ucapkan. Maka, menjaga “lisan digital” juga menjadi tuntutan zaman. Seringkali kita menyebarkan informasi yang belum tentu benar, menyindir, mencemooh, bahkan membully orang lain di dunia maya — tanpa menyadari dampaknya yang begitu dalam.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata:
> “Jika kamu ingin berbicara, maka timbanglah dahulu dengan akalmu. Jika tampak maslahatnya, maka bicaralah. Jika tidak, maka diam lebih baik bagimu.”
Kebaikan yang Akan Kembali Kepadamu
Kalimat berikutnya dalam gambar itu menyebutkan: “Kebaikan akan kembali dalam bentuk kebaikan, pada dasarnya semua itu tergantung diri sendiri.” Ini adalah prinsip penting dalam ajaran Islam: siapa yang menanam, dia yang akan menuai. Kebaikan yang kita tebarkan akan Allah balas, bahkan sering kali melebihi dari apa yang kita perbuat.
Allah Ta’ala berfirman:
> “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian) itu bagi dirimu sendiri.” (QS. Al-Isra: 7)
Berbuat baik kepada orang lain bukan hanya mencerminkan akhlak mulia, tetapi juga investasi jangka panjang. Sering kali, pertolongan datang dari arah yang tak terduga — dari doa orang yang pernah kita bantu, dari senyum yang pernah kita tebarkan, atau dari kebaikan kecil yang mungkin sudah kita lupakan, namun Allah tidak pernah lupa.
Berbuat Baik kepada Siapa Pun
Kalimat terakhir dari gambar tersebut mengatakan: “Berbuat baiklah dalam hal apa pun, baiklah pada siapa pun.” Ini adalah prinsip ihsan — berbuat baik tanpa melihat siapa yang menerima kebaikan itu. Islam mengajarkan kebaikan tidak hanya kepada sesama Muslim, tapi juga kepada manusia seluruhnya, bahkan kepada hewan dan alam.
Dalam sebuah kisah, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
> “Seorang wanita masuk neraka karena menyiksa seekor kucing. Ia tidak memberinya makan, tidak pula membiarkannya mencari makan sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu, dalam kisah lain:
> “Seorang lelaki melihat seekor anjing kehausan, lalu ia turun ke sumur dan memberi minum anjing itu. Maka Allah mengampuninya.” (HR. Bukhari)
Jika berbuat baik kepada binatang saja begitu bernilai, bagaimana dengan manusia?
Berbuat baik kepada siapa pun, tanpa memandang suku, agama, atau latar belakang, adalah akhlak para nabi. Kita bisa tidak setuju dengan pandangan seseorang, namun tetap berbuat baik kepadanya. Kita bisa berbeda pendapat, tapi tidak kehilangan akhlak.
Menghindari Karma Sosial dan Membangun Lingkungan yang Sehat
Secara sosial, orang yang menyakiti orang lain akan sulit dipercaya, dijauhi masyarakat, dan lambat laun menjadi beban. Sebaliknya, orang yang murah senyum, membantu tetangga, dan tidak mencampuri urusan orang lain — biasanya menjadi sosok yang disayangi masyarakat.
Ada semacam “karma sosial” yang bekerja. Siapa yang menyebarkan kebencian, akan dipenuhi kebencian. Siapa yang menebar kebaikan, akan dikelilingi kebaikan. Ini bukan hanya hukum spiritual, tapi juga hukum sosial yang nyata.
Meneladani Akhlak Rasulullah ﷺ
Akhirnya, semua prinsip dalam gambar ini bersumber dari teladan terbaik — Rasulullah Muhammad ﷺ. Beliau adalah manusia yang paling baik akhlaknya, bahkan kepada orang-orang yang memusuhinya. Ketika dihina, beliau diam. Ketika disakiti, beliau mendoakan. Ketika dilempari batu di Thaif, beliau malah memohonkan ampun untuk pelakunya.
Allah memuji beliau dalam Al-Qur’an:
> “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Sebagai umatnya, bukti kecintaan kita kepada Rasulullah bukan hanya pada lisan, tapi juga dengan meneladani akhlaknya. Kita mungkin tidak bisa sehebat beliau, tapi kita bisa meneladani langkah-langkah kecilnya: menjaga lisan, menghindari menyakiti orang lain, dan senantiasa berbuat baik dalam hal apa pun.
Penutup: Mari kita jadikan gambar penuh nasihat ini sebagai pengingat harian. Kita hidup di dunia yang saling terhubung, dan setiap kata atau perbuatan kita bisa berdampak jauh lebih besar daripada yang kita kira. Jangan sakiti siapa pun. Jangan meremehkan doa orang yang tersakiti. Dan jangan bosan berbuat baik — karena kebaikan akan kembali padamu, bahkan saat kamu telah melupakannya.
Mulailah hari ini dengan menjaga lisan, memperbaiki tingkah laku, dan memperbanyak amal kebaikan kepada siapa pun. Bukan untuk riya, bukan untuk pujian, tapi karena itulah jalan keselamatan dan kebahagiaan sejati. (Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
