Bendera One Piece dan Nasionalisme: Antara Kreativitas, Hukum, dan Kesadaran Bernegara.
Dalam semangat menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, berbagai bentuk ekspresi masyarakat mulai bermunculan. Dari mural, lomba khas 17-an, hingga kibaran bendera unik yang mencuri perhatian—salah satunya adalah pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece.
Sebuah gambar viral menampilkan Menko Polhukam (dalam konteks parodi, menyebut “Budi Gunawan”, padahal ia adalah Kepala BIN) yang memberi pernyataan bahwa akan ada konsekuensi pidana bagi siapa pun yang mengibarkan bendera One Piece menjelang 17 Agustus. Di bawah unggahan itu, komentar warganet pun banjir candaan hingga argumen hukum yang menarik dan tak kalah kreatif.
Namun di balik canda dan hiburan, ada perenungan penting yang perlu digali: Apa makna dari nasionalisme dalam era digital dan budaya populer saat ini? Apakah pengibaran bendera fiksi melanggar hukum, atau justru menjadi ekspresi cinta tanah air yang dibungkus estetika zaman?
Nasionalisme dan Simbol Negara
Dalam konteks hukum Indonesia, simbol negara seperti bendera Merah Putih memiliki kedudukan yang sangat sakral. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentangmu Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara secara tegas melarang:
> “Mengibarkan bendera selain Bendera Negara di tempat umum yang bisa menimbulkan kesan menggantikan atau menyaingi kedudukannya.”
Bahkan dalam pasal 66 UU tersebut, pelanggaran terhadap penghormatan terhadap bendera negara dapat diancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.
Namun dalam praktik sosial, batasan ini sering kali bersinggungan dengan bentuk kreativitas masyarakat. Seperti halnya di Jepang, Amerika Serikat, atau negara-negara lain, bendera-bendera fiksi dari anime, film, atau game kerap dikibarkan untuk merayakan identitas komunitas atau fandom. Di sinilah muncul dilema: apakah negara harus tegas terhadap setiap simbol asing, ataukah memberi ruang toleransi terhadap kreativitas masyarakat?
Budaya Pop dan Aspirasi Kebebasan
Bendera One Piece—dengan tengkorak dan topi jerami—bukan sekadar gambar bajak laut. Ia adalah simbol mimpi dan kebebasan, terutama bagi generasi muda yang tumbuh bersama anime ini. Karakter utama, Monkey D. Luffy, bahkan memiliki cita-cita yang mulia: menjadi Raja Bajak Laut bukan untuk menguasai dunia, tetapi agar bisa merdeka sepenuhnya dari belenggu kekuasaan yang korup.
Komentar netizen dalam gambar di atas menunjukkan hal ini. Salah satu dari mereka menyebut:
> “Malah jadi Tenryubito beneran nih pemerintah Indo, wkwk.”
Sebagai catatan, Tenryubito dalam anime One Piece adalah simbol aristokrasi yang menindas dan arogan. Komentar ini, walau satir, mengandung kritik tajam: bahwa sikap pemerintah yang terlalu represif bisa menimbulkan kesan feodal dan anti kebebasan.
Satir Politik dan Kecerdasan Netizen
Komunitas digital Indonesia terkenal dengan humornya yang tajam dan kritis. Wacana pengibaran bendera One Piece ini bukan sekadar soal anime, tapi juga menjadi cermin bagaimana masyarakat memaknai simbol kekuasaan dan hukum.
Salah satu komentar lain menuliskan:
> “Kan bendera Merah Putihnya masih di atas bendera One Piece, jadi nggak melanggar kan?”
Ini adalah tafsiran yang cerdik. Dalam UU 24/2009, memang disebutkan bahwa tidak boleh ada simbol atau bendera lain dikibarkan di atas atau menggantikan bendera negara. Maka jika bendera One Piece dikibarkan di bawah atau dalam konteks pribadi (bukan institusional), mungkinkah masih bisa ditoleransi?
Antara Regulasi dan Spirit Nasionalisme
Semangat nasionalisme tidak hanya diekspresikan melalui simbol formal seperti upacara atau bendera, tetapi juga melalui rasa cinta, penghargaan, dan keterlibatan dalam kehidupan berbangsa. Ketika generasi muda menggandrungi anime atau budaya populer, itu bukan berarti mereka anti-Indonesia. Justru di balik fandom itu, ada semangat kolaborasi, kreativitas, dan solidaritas.
Namun tentu saja, ada batas antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran norma hukum. Jika pengibaran bendera fiksi dilakukan secara masif menggantikan simbol negara dalam acara resmi, tentu harus ada klarifikasi dan edukasi.
Yang perlu dilakukan adalah bukan semata-mata represif, tetapi dialogis: mengedukasi masyarakat bahwa ada tempat dan waktu yang tepat untuk mengibarkan simbol-simbol kreatif tersebut.
Bendera Fiksi sebagai Ruang Aspirasi
Sebagian orang mungkin menganggap pengibaran bendera One Piece sebagai sesuatu yang konyol. Tapi bagi sebagian lainnya, ini adalah cara menyuarakan rasa frustrasi terhadap sistem, sekaligus harapan akan masa depan Indonesia yang lebih adil, bebas, dan manusiawi—mirip dengan mimpi Luffy akan dunia tanpa Tenryubito.
Dalam salah satu komentar, seorang netizen bahkan menulis:
> “Udah tanggung beli… Bismillah demi perubahan Indonesia melek.”
Ucapan ini, walau terdengar sarkastik, adalah isyarat bahwa anak muda Indonesia ingin perubahan—mereka ingin pemerintah yang dekat, mendengar, dan tidak alergi terhadap bentuk-bentuk kreativitas baru.
Saatnya Pemerintah Melek Budaya Pop
Jika pemerintah ingin dekat dengan generasi muda, pendekatannya tidak bisa lagi kaku atau normatif semata. Ia harus memahami bagaimana budaya pop bekerja. Di zaman ketika identitas dibentuk melalui meme, anime, film, dan platform digital, negara tidak bisa sekadar melarang—ia harus ikut masuk, berdialog, dan mendampingi.
Daripada menindak tegas pengibaran bendera fiksi, mengapa tidak dijadikan ajang edukasi dan kreativitas nasional?
Bayangkan jika di hari kemerdekaan, selain bendera Merah Putih berkibar, ada juga pawai cosplay yang dikurasi dengan baik, termasuk membawa bendera One Piece, Naruto, atau Gundam—dengan catatan: tetap menjunjung tinggi Merah Putih sebagai simbol utama. Bukankah itu lebih inklusif dan cerdas?
Penutup: Merdeka dalam Berpikir, Tertib dalam Bertindak
Kasus viral bendera One Piece ini sesungguhnya membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang makna kemerdekaan hari ini. Kita memang hidup di era global, di mana budaya lintas negara sangat cair. Tapi itu bukan berarti kita harus kehilangan identitas, atau sebaliknya—bersikap tertutup dan reaksioner terhadap segala yang baru.
Kita butuh keseimbangan: antara kebebasan berekspresi dan penghormatan pada simbol negara. Antara nasionalisme dan keterbukaan budaya. Dan di atas semuanya, kita butuh pemerintah yang cerdas secara budaya, serta rakyat yang kritis tanpa kehilangan etika.
Jangan sampai hanya karena sehelai bendera fiksi, kita lupa bahwa yang terpenting adalah bendera merah putih yang tertanam dalam hati, bukan sekadar berkibar di tiang. Merdeka! #Refleksi17Agustus #BenderaOnePiece #BudayaPop #NasionalismeCerdas #FandomMelekHukum (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
