SURAU.CO – Pernahkah kita merasa lebih baik dari orang lain karena amal yang kita lakukan? Misalnya, kita telah bangun malam untuk tahajud, rajin bersedekah, atau khusyuk dalam salat. Namun, diam-diam, muncul bisikan batin yang menyesatkan: “Aku hamba yang saleh.” Inilah akar dari penyakit hati bernama ujub.
Dalam kitab klasik Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali menjelaskan secara mendalam tentang sifat ujub sebagai maksiat batin yang merusak amal. Artikel ini akan menuntun kita menyelami bahaya ujub, mengenali tandanya, dan memahami cara meninggalkannya.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, lahir di Tus, Persia, abad ke-11. Ia dikenal sebagai Hujjatul Islam, ulama besar dalam fikih, filsafat, dan terutama tasawuf. Bidayatul Hidayah adalah karya pengantar menuju jalan hidayah. Ditujukan bagi penempuh jalan spiritual, kitab ini memuat panduan adab lahiriah, pencegahan maksiat, dan pembinaan hati.
Pada fasal kedua, Al-Ghazali menyoroti maksiat batin, termasuk sifat ujub.
Ujub Amalan yang Terkoyak oleh Kepuasan Diri
Dalam Bidayatul Hidayah, Al-Ghazali menulis:
“وَأَمَّا الْعُجْبُ فَهُوَ اسْتِعْظَامُ النِّعْمَةِ، وَرُؤْيَةُ النَّفْسِ أَنَّهَا مُسْتَحِقَّةٌ لَهَا، وَنَسْبَتُهَا إِلَى نَفْسِهِ لا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى”
Artinya: “Ujub adalah menganggap besar nikmat (amal), merasa layak menerimanya, dan menyandarkannya kepada diri sendiri, bukan kepada Allah Ta’ala.”
Ujub lebih halus dari kesombongan. Ia tidak selalu tampak dalam ucapan, tetapi hidup dalam rasa puas terhadap diri sendiri. Ketika seseorang yakin bahwa kebaikannya lahir dari kekuatannya sendiri, bukan dari Allah, maka ujub telah berakar. Amal pun kehilangan ruh ikhlasnya.
Tanda-Tanda Ujub dalam Kehidupan Modern
Dalam dunia digital, ujub menjelma secara halus. Misalnya, seseorang memamerkan kegiatan sosial di media, lalu muncul bisikan hati: “Lihat, aku bermanfaat.” Atau ketika rutin mengikuti kajian, kemudian memandang rendah yang tidak hadir.
Ujub juga hadir saat seseorang merasa cukup dengan amalnya. Ia menganggap itu jaminan surga. Padahal, amal yang tercemar ujub bisa tertolak.
Empat Langkah Menyembuhkan Hati dari Ujub
Imam Al-Ghazali menawarkan jalan keluar:
- Akui bahwa semua amal dari Allah. Tidak ada satu pun amal yang lahir dari kekuatan kita. Jika berhasil melakukan kebaikan, ucapkan syukur dan serahkan pujian hanya kepada-Nya.
- Sadari bahwa amal belum tentu diterima. Bisa jadi, amal yang dibanggakan justru penuh riya, sum’ah, atau ujub. Maka, koreksi niat secara terus-menerus.
- Kenali aib diri sendiri. Mereka yang melihat cacat dirinya tak akan sibuk memuji amalnya. Ini akan melahirkan kerendahhatian.
- Berdoa agar terhindar dari ujub. Doa adalah pintu rahmat. Mohonlah perlindungan agar hati bersih dari ujub yang tersembunyi namun mematikan.
Sifat ujub seperti duri kecil yang menyakitkan dalam perjalanan ruhani. Ia tidak terlihat, namun bisa melumpuhkan arah menuju Allah. Dalam kesunyian, ia membisikkan pujian untuk diri sendiri.
Maka, mari kita jaga hati, bukan hanya dari dosa lahir, tetapi juga dari penyakit batin. Jalan menuju Allah butuh kebeningan hati, bukan sekadar amal luar.
اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا مِنَ الْعُجْبِ وَالرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ، وَاجْعَلْ أَعْمَالَنَا خَالِصَةً لِوَجْهِكَ الْكَرِيمِ
Aamiin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
