Ibadah Khazanah
Beranda » Berita » Cara Meninggalkan Maksiat Batin (Sifat Riya’) dalam Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali

Cara Meninggalkan Maksiat Batin (Sifat Riya’) dalam Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali

Riya
Seorang pria Muslim yang tenang dan introspektif duduk sendiri di ruangan sederhana, merenung dalam-dalam dengan cahaya bersinar dari hatinya.

SURAU.CO – Pernahkah kita merasa lebih semangat beribadah saat ada yang melihat? Atau merasa bangga ketika amal baik kita dipuji? Jika iya, mungkin sifat riya’ telah menyusup dalam batin. Dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengajarkan bagaimana cara menghindari maksiat batin yang lebih halus ini—riya’, penyakit hati yang sering tersembunyi namun merusak amal.

Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi hidup pada abad ke-5 Hijriah (1058–1111 M), seorang ulama besar dari Khurasan (Iran sekarang). Ia dikenal sebagai pemikir brilian, sufi, dan mujadid (pembaharu agama) pada masanya. Kitab Bidayatul Hidayah ditulis sebagai panduan awal bagi para pencari ilmu agar memulai perjalanan spiritual dengan akhlak dan disiplin diri.

Karya ini menjadi pintu gerbang menuju karya besarnya, Ihya’ Ulumuddin, yang menggabungkan fikih, akhlak, dan tasawuf. Bidayatul Hidayah difokuskan pada penataan lahiriah dan batiniah, termasuk cara menjauhi maksiat anggota tubuh dan hati. Di pesantren dan majelis ilmu, kitab ini masih menjadi rujukan utama dalam membina akhlak dan kesadaran spiritual.

Riya’  Musuh Tak Terlihat dalam Amal

Imam Al-Ghazali menulis:

فَاحْذَرْ ثُمَّ احْذَرْ أَنْ تَكُونَ عَامِلًا لِلنَّاسِ، مُرَائِيًا فِي أَعْمَالِكَ، فَتَكُونَ كَالْمُنَافِقِينَ

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“Waspadalah, sekali lagi waspadalah, jangan sampai engkau beramal untuk manusia, berbuat riya’ dalam amalanmu, hingga engkau termasuk golongan orang-orang munafik.”

Riya’ adalah ketika seseorang beramal bukan karena Allah, melainkan demi dilihat dan dipuji manusia. Bahayanya, amal yang seharusnya menjadi bekal akhirat justru bisa lenyap karena niat yang salah arah.

Di era media sosial, kecenderungan untuk menampilkan ibadah atau sedekah agar mendapat pengakuan bisa menjebak siapa saja. Misalnya, mengunggah foto saat membantu korban bencana dengan niat tersembunyi agar dianggap dermawan. Niat seperti itu, jika tidak diluruskan, bisa mengikis pahala.

Niat Pondasi yang Menentukan Amal

Al-Ghazali mengajarkan bahwa niat adalah kunci dari seluruh amal. Ia berkata:

فَصِلْ أَعْمَالَكَ عَنِ الْرِّيَاءِ تَكُنْ صَادِقًا

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

“Pisahkan amalmu dari riya’, maka engkau akan menjadi orang yang jujur (ikhlas).”

Ikhlas tidak muncul begitu saja. Ia hasil dari mujahadah—perjuangan batin yang terus-menerus. Al-Ghazali menyarankan kita untuk selalu mengevaluasi diri sebelum, saat, dan setelah beramal. Apakah kita ingin Allah yang melihat atau manusia yang memuji?

Pengalaman seorang sahabat saya menggambarkan ini. Ia biasa membagikan sedekah di jalan tanpa diketahui siapa pun. Suatu hari, ia diminta mendokumentasikan kegiatan sosialnya untuk laporan komunitas. Ia bimbang: apakah ini tetap ikhlas? Lalu ia menulis di catatan pribadi, “Ya Allah, Engkaulah saksiku. Jika niatku menyimpang, luruskanlah kembali.”

Menjaga Amal agar Tetap Murni

Imam Al-Ghazali menyarankan agar kita menyembunyikan amal kebaikan sebagaimana kita menyembunyikan aib. Ia menulis:

وَأَخْفِ أَعْمَالَكَ كَمَا تُخْفِي ذُنُوبَكَ

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

“Sembunyikan amalmu sebagaimana engkau menyembunyikan dosamu.”

Penting untuk menjaga kesucian amal dari bisikan ujub dan riya’. Tidak semua hal baik harus diumumkan. Terkadang, keheningan dalam beramal justru lebih berbobot di sisi Allah.

Di zaman sekarang, mungkin kita bisa mulai dari hal kecil: tidak selalu memposting setiap ibadah, tidak menceritakan semua sedekah, dan tidak haus akan validasi digital. Kita belajar menikmati hubungan batin yang tersembunyi dengan Allah, bukan sekadar tampil dalam sorotan manusia.

Antara Popularitas dan Keikhlasan

Sifat riya’ adalah bayang-bayang yang selalu mengintai amal baik. Namun jika kita menyadarinya, ada jalan untuk kembali: introspeksi, memperbaiki niat, dan memperkuat ikhlas. Mari kita bertanya pada diri, “Untuk siapa sebenarnya aku melakukan ini?”

اللَّهُمَّ نَقِّ قُلُوبَنَا مِنَ الرِّيَاءِ وَاجْعَلْ أَعْمَالَنَا خَالِصَةً لِوَجْهِكَ الْكَرِيمِ

“Ya Allah, sucikanlah hati kami dari riya’, dan jadikanlah amal kami murni karena wajah-Mu Yang Mulia.”

Popularitas di dunia tidak sebanding dengan penerimaan di sisi Allah. Maka rawatlah amal seperti merawat benih dalam senyap, penuh kasih, dan hanya mengharap panen dari langit.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement