Ibadah Khazanah
Beranda » Berita » Cara Meninggalkan Maksiat (Menjaga Dua Tangan) dalam Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali

Cara Meninggalkan Maksiat (Menjaga Dua Tangan) dalam Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali

Menjaga Dua Tangan
Seorang pria Muslim yang tenang dan introspektif duduk sendiri, merenung dalam-dalam dengan cahaya bersinar dari hatinya.

SURAU.CO – Dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan tangan untuk bekerja, memberi, menulis, hingga membela diri. Namun di sisi lain, tangan juga bisa menjadi alat maksiat, jika tidak dijaga. Dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengajarkan kepada kita pentingnya menjaga dua tangan agar tidak tergelincir dalam dosa. Pelajaran ini terasa kian penting di zaman modern, saat jari-jari kita juga sibuk di dunia digital.

Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi adalah seorang ulama besar abad ke-5 Hijriah (1058–1111 M). Lahir di Thus, Khurasan (Iran), ia dikenal sebagai pemikir sufi, filosof, dan pembaru ilmu-ilmu keislaman. Bidayatul Hidayah ditulis sebagai panduan awal bagi para pelajar yang ingin menempuh jalan kebaikan dan mengenal Allah secara mendalam.

Kitab ini menjadi semacam gerbang menuju Ihya’ Ulumuddin, magnum opus beliau. Jika Ihya’ membahas ihwal batin dan lahir secara luas, maka Bidayatul Hidayah menyederhanakan langkah-langkah awalnya dari menjaga anggota tubuh, hingga menyucikan hati. Di pesantren-pesantren, kitab ini masih diajarkan sebagai bekal utama adab dan disiplin spiritual.

Tangan yang Tertuntun atau Terlena?

Imam Al-Ghazali menulis:

وَأَمَّا الْيَدَانِ فَلاَ تَبْسُطْهُمَا إِلَى مَا لاَ يَحِلُّ لَكَ، وَلاَ تَضْرِبْ بِهِمَا أَحَدًا
“Adapun kedua tanganmu, maka jangan engkau gunakan untuk mengambil sesuatu yang bukan hakmu, dan jangan memukul seseorang dengannya.”

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Dalam nasihat ini, Al-Ghazali menyoroti dua potensi buruk tangan yakni mencuri dan menyakiti. Namun maknanya lebih dalam. Ia mengingatkan bahwa tangan, yang tampak sebagai alat fisik, sejatinya adalah perpanjangan dari hati. Bila hati bersih, tangan akan penuh kasih. Bila hati kotor, tangan mudah merampas dan menyakiti.

Di zaman kini, bentuk tangan yang menyakiti bisa lebih halus dengan cara menekan keyboard untuk menghina, menandatangani dokumen korup, atau menahan bantuan dari yang membutuhkan. Kita perlu menanyakan pada diri, apakah tangan kita menjadi alat kemuliaan atau alat kerusakan?

Menahan Diri di Era Sosial Media

Dalam praktiknya, menjaga tangan juga berarti menahan diri dari reaksi spontan yang merugikan. Imam Al-Ghazali menganjurkan kehati-hatian dalam segala tindakan:

وَلاَ تَكْتُبْ بِهِمَا مَا لاَ يُرْضِي اللّٰهَ
“Dan janganlah engkau menulis dengan tanganmu sesuatu yang tidak diridhai Allah.”

Coba kita terapkan nasihat ini saat menggunakan media sosial hari ini. Jari-jari kita yang menulis status, komentar, atau berita. Apakah sudah mencerminkan kehendak Allah? Apakah kita menggunakan tangan untuk menyebar kebaikan atau malah menyulut permusuhan?

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Pengalaman pribadi saya di sebuah komunitas literasi pernah menyentuh hati. Seorang remaja yang semula aktif menyebar konten negatif, berbalik menjadi penulis inspiratif setelah membaca kutipan Al-Ghazali ini. Ia berkata, “Saya sadar, jari ini akan dipertanggungjawabkan.” Satu paragraf klasik menyentuh hatinya dan mengubah hidupnya.

Tangan sebagai Amanah, Memberi, Bukan Merampas

Al-Ghazali mengajarkan bahwa sebaik-baik tangan adalah tangan yang memberi. Dalam hadis Nabi, disebutkan:

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
“Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.”

Imam Al-Ghazali menafsirkan ini dengan menyuruh kita memperbanyak sedekah, membantu orang lemah, dan memperbaiki keadaan sosial. Ia tidak sekadar mengajak kita menjauhi kezaliman, tetapi juga mendorong kita mengisi tangan dengan amal saleh.

Dalam dunia modern, tangan yang aktif dalam kerja sosial, menulis dakwah, menyuplai bahan pangan ke tetangga, atau bahkan menanam pohon, adalah perwujudan tangan mulia yang diajarkan para ulama.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Sebuah Renungan Untuk Tangan Kita

Kelak, tangan kita sendiri akan menyampaikan apa yang telah kita lakukan. Tangan akan mengakui: “Aku telah menulis kebaikan,” atau sebaliknya. Maka mari kita rawat tangan kita bukan sekadar dengan sarung tangan, tetapi dengan kesadaran dan akhlak.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ أَيْدِينَا سَبَبًا لِلرَّحْمَةِ، وَلَا تَجْعَلْهَا سَبَبًا لِلظُّلْمِ
“Ya Allah, jadikanlah tangan kami sebagai sebab turunnya rahmat, dan jangan jadikan ia sebagai sebab kezaliman.”

Sebelum jari ini kembali menggulir layar, tanyakan pada hati, sudahkah kita menggunakannya sebagaimana yang Allah ridai?


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement