Ibadah Khazanah
Beranda » Berita » Cara Meninggalkan Maksiat (Menjaga Kemaluan) dalam Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali

Cara Meninggalkan Maksiat (Menjaga Kemaluan) dalam Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali

Meninggalkan Maksiat
Sebuah perjalanan spiritual yang tenang

SURAU.CO – Dalam dunia yang penuh godaan visual dan kebebasan digital hari ini, menjaga kesucian diri bukanlah perkara sepele. Imam Al-Ghazali, seorang hujjatul Islam dari abad ke-11, telah mewariskan petunjuk akhlak dan spiritualitas yang relevan sepanjang zaman. Salah satunya tertuang dalam Bidayatul Hidayah, terutama dalam fasal tentang meninggalkan maksiat melalui penjagaan kemaluan.

Kitab Bidayatul Hidayah adalah karya Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, seorang cendekiawan sufi yang hidup pada era keemasan Islam (450–505 H/1058–1111 M). Beliau dikenal sebagai pemikir besar yang mampu memadukan fikih, tasawuf, dan filsafat dalam karya-karyanya.

Ditulis sebagai panduan awal bagi murid-murid yang ingin menempuh jalan menuju Allah, Bidayatul Hidayah menghadirkan nasihat praktis dan spiritual. Kitab ini adalah pintu masuk menuju karya besarnya, Ihya’ Ulumuddin. Dalam tradisi pesantren, kitab ini dibaca untuk mendidik akhlak dan menyiapkan diri sebelum mendalami ilmu-ilmu keislaman yang lebih tinggi.

Menjaga Kemaluan Sebagai Tanda Kejujuran dalam Iman

Imam Al-Ghazali menulis:

وَأَمَّا الْفَرْجُ فَاحْفَظْهُ مِمَّا حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْكَ، وَالزِّنَا حَرَامٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ
“Adapun kemaluan, maka jagalah ia dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Zina adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ ulama.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kutipan ini bukan sekadar larangan fiqh, melainkan peringatan spiritual. Dalam era sekarang, zina tidak hanya terjadi secara fisik, namun juga lewat pandangan, konten digital, hingga imajinasi yang liar. Imam Al-Ghazali mendorong umat Islam untuk menjaga batas, bahkan sejak lintasan hati.

Dalam kehidupan modern, godaan begitu mudah diakses melalui media sosial. Maka, menjaga pandangan menjadi pintu awal untuk menjaga kemaluan. Ini bukan hanya soal dosa, tetapi soal harga diri, martabat, dan kesucian jiwa.

Jalan Taubat dan Kesungguhan Melindungi Diri

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa pintu taubat selalu terbuka, namun harus disertai niat dan tekad kuat. Dalam Bidayatul Hidayah disebutkan:

وَاعْلَمْ أَنَّ الْبِدَايَةَ أَنْ تَتُوبَ إِلَى اللّٰهِ تَعَالَى مِنْ جَمِيعِ الذُّنُوبِ
“Ketahuilah bahwa permulaan (jalan menuju Allah) adalah bertaubat dari semua dosa kepada Allah Ta’ala.”

Taubat bukan sekadar ucapan, tapi perubahan arah hidup. Maka, menjaga kemaluan harus diiringi dengan komitmen menjaga lingkungan, pergaulan, dan konsumsi media. Kita bisa mulai dengan menghapus konten tidak layak, menjauhi candaan cabul, dan mendekatkan diri pada lingkungan yang shalih.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam pengalaman penulis, seorang remaja desa yang bergabung dalam komunitas literasi mengaku berhasil meninggalkan kebiasaan menonton konten tak senonoh hanya karena mulai rajin menulis dan membaca kitab akhlak. Ini bukti bahwa perubahan dimulai dari lingkungan yang sehat dan kegiatan yang bernilai.

Kekuatan Takwa Sebagai Penjaga yang Tak Terlihat

Imam Al-Ghazali tidak sekadar menyuruh “jangan berzina”, tetapi mendorong pembentukan rasa malu kepada Allah. Dalam tafsiran beliau, takwa adalah penjaga yang lebih kuat daripada pagar besi.

Di tengah masyarakat yang mengglorifikasi kebebasan tubuh, ajaran klasik ini justru mengajak kita merayakan kebebasan spiritual terbebaskan dari perbudakan nafsu.

Bayangkan jika generasi muda dibiasakan membaca nasihat seperti ini setiap pagi. mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa tubuh mereka adalah amanah, bukan komoditas. Bahwa harga diri lebih utama dari sekadar eksistensi online.

Jalan Sulit, Tapi Mulia

Menjaga kemaluan di zaman modern adalah perjuangan berat. Namun seperti kata Imam Al-Ghazali, jalan menuju hidayah memang dimulai dari mujahadah   perjuangan melawan diri sendiri.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Marilah kita tutup renungan ini dengan doa sederhana:

اللَّهُمَّ احْفَظْ جَوَارِحَنَا عَمَّا لاَ يُرْضِيكَ، وَزَيِّنْ قُلُوبَنَا بِتَقْوَاكَ
“Ya Allah, jagalah anggota tubuh kami dari hal yang tidak Engkau ridai, dan hiasilah hati kami dengan takwa kepada-Mu.”

Zaman boleh berubah, tapi maksiat tetaplah maksiat. Dan hidayah, seperti diajarkan Al-Ghazali, selalu dimulai dari kesungguhan menjaga diri.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement