Abdullah bin Mas’ud: Sang Ahli Al-Qur’an dan Pelita Ilmu Umat
Di antara banyaknya nama sahabat Nabi ﷺ yang menghiasi sejarah Islam, terdapat sosok yang kecil secara fisik namun besar dalam keilmuan dan ketakwaan. Dialah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, seorang faqih, ahli Al-Qur’an, dan pelayan setia Rasulullah ﷺ.
Awal Masuk Islam: Dari Gembala Menjadi Ahli Surga
Abdullah bin Mas’ud berasal dari Bani Hudzail, dan sejak kecil bekerja sebagai penggembala kambing. Suatu hari, Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar melewatinya dan meminta susu dari kambing yang digembalakannya. Dari percakapan itu, terpancarlah kejujuran dan akhlak tinggi dari pemuda Abdullah.
Ia kemudian masuk Islam sebelum Umar bin Khattab, menjadikannya termasuk orang keenam yang memeluk Islam. Sejak saat itu, kehidupannya berubah total — dari seorang gembala, ia menjadi sahabat dekat Nabi ﷺ dan ahli ilmu yang luar biasa.
“Engkau masih muda, tapi kamu telah pandai membaca Al-Qur’an dan memiliki pemahaman mendalam tentang agama,” kata Rasulullah ﷺ kepadanya.
Dekat dengan Rasulullah ﷺ
Abdullah bin Mas’ud bukan hanya murid, tapi juga pelayan pribadi Rasulullah ﷺ. Ia sering menyertai Nabi dalam perjalanan, membawakan siwak, sandal, dan air wudhu beliau. Karena kedekatannya, para sahabat menyebutnya sebagai “sahabat yang selalu bersama Nabi”.
Ibnu Mas’ud berkata:
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih paham dengan kitab Allah daripada Rasulullah, dan aku tidak tahu siapa yang lebih tahu dariku setelah itu.”
Keistimewaan dalam Ilmu Al-Qur’an
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Barang siapa yang ingin membaca Al-Qur’an sebagaimana diturunkan, maka bacalah seperti bacaan Ibn Ummi ‘Abd (yakni Abdullah bin Mas’ud).” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Ia adalah ahli qira’ah, hafiz, dan mufassir pertama dalam Islam. Rasulullah ﷺ sendiri memerintahkan sebagian sahabat untuk mempelajari bacaan dan pemahaman Al-Qur’an dari Ibnu Mas’ud.
Ibnu Mas’ud pernah berkata:
> “Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, tidaklah turun satu ayat pun dari Kitab Allah, melainkan aku tahu di mana ia diturunkan dan kepada siapa ia ditujukan.”
Ini menunjukkan betapa dalamnya pemahaman beliau terhadap wahyu.
Fisik yang Kecil, Tapi Bobotnya di Sisi Allah Besar
Suatu hari, para sahabat melihat Abdullah bin Mas’ud memanjat pohon. Mereka tertawa karena betisnya sangat kecil. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Kalian tertawa karena betisnya kecil? Demi Allah, kedua betisnya itu lebih berat di sisi Allah daripada Gunung Uhud.” (HR. Ahmad)
Pelajaran ini sangat dalam: bobot seorang hamba di sisi Allah bukan pada fisiknya, tapi pada iman, ilmu, dan amalnya.
Ketegasan dalam Aqidah dan Sunnah
Ibnu Mas’ud adalah orang yang sangat tegas dalam menjaga kemurnian tauhid dan sunnah Nabi ﷺ. Ia tidak segan menegur praktik yang menyimpang, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri.
Salah satu kisah masyhur adalah ketika ia melihat sekelompok orang berdzikir bersama dengan kerikil dalam majelis. Mereka memukul kerikil sambil mengucapkan “Subhanallah”, “Alhamdulillah”, dan “Allahu Akbar” secara berjamaah, dipandu oleh seorang pemimpin dzikir.
Ibnu Mas’ud menegur mereka keras:
> “Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Betapa cepat kalian menuju kehancuran! Ini baju Nabi belum usang, para sahabat beliau masih banyak, tapi kalian sudah membuat bid’ah dalam agama!” (Riwayat Ad-Darimi)
Dari sini terlihat bahwa Ibnu Mas’ud sangat menjaga kemurnian ibadah dan berpegang teguh pada sunnah, serta melawan segala bentuk bid’ah meskipun tampaknya baik.
Guru Ulama Kufah dan Pembentuk Madrasah Fiqh
Di masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud dikirim ke Kufah (Irak) sebagai guru dan hakim. Di sana, beliau membentuk madrasah ilmu yang menjadi cikal bakal Mazhab Hanafi, mazhab terbesar dalam Islam.
Para muridnya seperti Alqamah bin Qais, Masruq, dan lainnya kemudian menjadi tabi’in terkemuka. Bahkan, Imam Abu Hanifah sendiri banyak mengambil ilmu dari jalur Ibnu Mas’ud.
Inilah warisan ilmu yang tak terputus: dari seorang penggembala, menjadi sumber inspirasi keilmuan sepanjang zaman.
Wafatnya Sang Ulama Rabbani
Abdullah bin Mas’ud wafat di masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, sekitar tahun 32 H. Saat sakit, Utsman menawarkan pengobatan dengan dana dari Baitul Mal, tapi Ibnu Mas’ud menolak dengan lembut:
> “Aku tidak membutuhkan itu. Aku tidak meminta dunia dari kalian selama hidupku, maka aku tak akan mengambilnya saat wafatku.”
Ia wafat dalam keadaan zuhud, ilmu yang luas, dan amal yang besar. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Ridhalah kamu, wahai Abdullah, sebab Allah dan Rasul-Nya ridha kepadamu.”
Pelajaran untuk Umat Islam Masa Kini
Kisah hidup Abdullah bin Mas’ud adalah cermin kejayaan ilmu dan akhlak dalam Islam. Beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil:
a. Ilmu Lebih Utama dari Kekayaan atau Jabatan
Ibnu Mas’ud tidak kaya, tidak tinggi, tidak kuat secara fisik. Tapi ia bernilai besar di sisi Allah karena ilmunya dan keikhlasannya.
b. Teguh Menjaga Sunnah dan Tauhid
Ia tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang nampaknya indah namun tidak berasal dari Nabi ﷺ. Ini menjadi peringatan bagi kita agar hati-hati dalam mengikuti ajaran agama.
c. Keberkahan Ilmu yang Diamalkan
Ilmunya tidak hanya berhenti pada diri sendiri, tapi melahirkan generasi ulama setelahnya, hingga hari ini.
d. Kecil Bukan Penghalang Besar di Hadapan Allah
Jangan pernah menganggap remeh diri sendiri. Yang Allah nilai adalah hati, iman, dan amal, bukan status duniawi.
Penutup: Abdullah bin Mas’ud adalah ikon sahabat yang rendah hati, berilmu tinggi, dan sangat dekat dengan wahyu Allah. Hidupnya menjadi bukti bahwa ilmu yang disertai ketakwaan akan menjadikan seseorang mulia di dunia dan akhirat.
Mari kita teladani semangat beliau dalam:
Mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh.
Menjaga kemurnian sunnah dan tauhid.
Merendahkan diri di hadapan Allah, meski punya kelebihan.
Mewariskan ilmu kepada generasi setelah kita.
> “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Semoga kita termasuk orang-orang yang mengikuti jejak Ibnu Mas’ud, istiqamah dalam ilmu, dan meninggal dalam keadaan diridhai Allah. Aamiin. (Tengku)