Khazanah
Beranda » Berita » Berpisah Di Dunia Untuk Berkumpul Di Akhirat Abadi

Berpisah Di Dunia Untuk Berkumpul Di Akhirat Abadi

Berpisah Di Dunia Untuk Berkumpul Di Akhirat Abadi

Berpisah di Dunia untuk Berkumpul di Akhirat Abadi

Refleksi Dakwah tentang Cinta, Perpisahan, dan Janji Allah

Di dalam sebuah pedesaan yang sunyi, tampak seorang wanita bercadar memeluk erat anaknya, mengangkat tangan dalam isyarat perpisahan kepada seorang laki-laki berjanggut dengan ransel besar di punggungnya. Tatapan penuh haru dan kesungguhan terpancar di wajah keduanya. Di antara mereka, ada untaian kalimat yang menyayat sekaligus menguatkan:
“Berpisah di dunia untuk berkumpul di akhirat abadi.”

Kalimat ini bukan hanya ungkapan rindu yang tertunda, melainkan sebuah ikrar suci yang dilandasi oleh iman. Di dunia, tak semua kebersamaan bisa berlangsung selamanya. Namun bagi hati yang bersandar pada Allah, perpisahan bukanlah akhir, melainkan awal dari pertemuan hakiki di akhirat kelak — jika keduanya istiqamah dalam keimanan dan amal salih.

1. Perpisahan yang Menguatkan, Bukan Melemahkan

Setiap perpisahan yang dilandasi karena Allah akan membuahkan kedewasaan rohani. Dalam Islam, perpisahan tidak selamanya buruk. Bahkan, ada kalanya ia menjadi bagian dari ujian keimanan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

> “Sesungguhnya dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)

Bagi orang-orang beriman, dunia ini hanya tempat persinggahan sementara. Bila harus berpisah karena tugas dakwah, menuntut ilmu, atau karena sebab lain yang tidak bisa dielakkan, maka keyakinan kepada janji Allah menjadi penguat hati.

Sang suami mungkin pergi jauh, menapaki medan dakwah atau menunaikan tanggung jawab sebagai pencari nafkah. Sementara sang istri menanti dengan setia, menjaga rumah tangga dan anak-anak dengan penuh kesabaran. Setiap air mata yang jatuh karena rindu, setiap doa yang dilangitkan di tengah malam, semuanya tak akan sia-sia — karena Allah mencatatnya sebagai bagian dari amal salih.

2. Cinta Sejati: Mengakar di Dunia, Berbuah di Akhirat
Cinta dalam Islam bukan sekadar perasaan, tapi tanggung jawab dan perjanjian di hadapan Allah. Perpisahan sementara tidak akan menggoyahkan cinta yang dilandasi iman. Bahkan, cinta itu semakin kokoh ketika diuji dengan perpisahan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Cinta sejati dalam rumah tangga Muslim bukan yang selalu bersama secara fisik, tapi yang tetap satu hati dan satu tujuan walau raga terpisah. Tujuan itu adalah surga Allah.

Allah berfirman:

> “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6)

Maka cinta suami-istri yang sebenarnya adalah cinta yang saling menjaga dari api neraka. Cinta yang saling membimbing menuju surga, bukan menjerumuskan kepada dunia yang fana.

3. Istri Salihah: Pilar Kesabaran dan Kekuatan Rumah Tangga
Gambaran wanita bercadar dalam foto itu adalah simbol dari para istri salihah yang tabah dan kuat. Walau harus melepas kepergian suami dengan air mata, tapi ia tidak goyah. Karena dalam hatinya tertanam keyakinan: “Jika aku sabar, insya Allah kami akan dipertemukan kembali dalam naungan kasih sayang Allah yang abadi.”

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Sabar adalah pakaian terbaik bagi para wanita yang suaminya berada jauh. Bukan sekadar sabar menunggu, tapi juga sabar menjaga amanah, anak-anak, dan kehormatan diri.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Apabila seorang wanita menjaga salat lima waktunya, puasa di bulan Ramadan, menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu sukai.'” (HR. Ahmad)

Betapa agung kedudukan istri yang tetap taat dan sabar dalam perpisahan. Bukan karena lemah, tapi karena ia paham hakikat kehidupan dunia: semuanya sementara. Tujuan akhirnya adalah surga.

4. Suami yang Bertanggung Jawab: Melangkah dengan Amanah
Sang suami dalam gambar itu melambangkan seorang lelaki yang memikul tanggung jawab besar. Ia pergi bukan untuk lari dari keluarga, tapi untuk menunaikan amanah kehidupan. Bisa jadi ia seorang dai, musafir, pekerja perantauan, atau penuntut ilmu. Tapi ia tidak lupa untuk berpamitan dengan tulus, memohon restu, dan menitipkan keluarganya kepada Allah.

Dalam Islam, suami adalah qawwam (pemimpin) bagi istri dan keluarganya. Maka tanggung jawabnya bukan hanya memberi nafkah, tapi juga memimpin keluarganya menuju keridhaan Allah.

Allah berfirman:

> “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa: 34)

Seorang suami yang tahu tanggung jawabnya akan tetap menjaga ikatan cinta dan iman, meskipun ia berada jauh. Ia akan terus mendoakan istrinya, menjaga komunikasi, dan merawat cinta itu dengan kebaikan dan kesetiaan.

5. Perjumpaan Kembali di Negeri yang Kekal
Apa yang membuat perpisahan ini istimewa bukan karena kisah sendunya, tapi karena harapan besar di baliknya. Harapan untuk kembali berkumpul, bukan di dunia yang sementara ini, tetapi di negeri yang kekal — akhirat.

Allah menjanjikan surga bagi pasangan yang salih dan salihah. Allah menyatukan kembali keluarga-keluarga yang taat dalam surga-Nya, sebagaimana firman-Nya:

> “…dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka…” (QS. At-Thur: 21)

Inilah penghibur terbaik bagi hati yang berpisah karena Allah. Bahwa janji-Nya adalah pasti. Asalkan keduanya istiqamah, insya Allah mereka akan dipertemukan kembali dalam kenikmatan surga — jauh lebih indah daripada pertemuan mana pun di dunia.

6. Doa: Jembatan Hati di Tengah Perpisahan
Saat raga tak bisa saling menggenggam, doa menjadi jembatan yang menyambungkan hati. Seorang istri yang ditinggal suaminya bisa mengangkat tangannya di malam hari, memohon kepada Allah agar melindungi suaminya. Begitu pula suami, bisa berdoa di tanah perantauan agar keluarganya dijaga dan diberkahi.

Doa bukanlah bentuk ketidakberdayaan, tapi bentuk penghambaan paling tulus. Dalam doa, kita mengakui bahwa hanya Allah-lah yang mampu menjaga cinta ini tetap suci dan abadi.

Penutup: Cinta yang Diuji, Akan Diganjar

Perpisahan karena tugas, karena amanah, karena keadaan yang tak bisa dielakkan — bukanlah akhir dari sebuah kisah cinta. Dalam Islam, cinta yang diuji adalah cinta yang akan dinaikkan derajatnya.

Mari kita doakan seluruh pasangan Muslim yang sedang berjuang dalam perpisahan. Semoga mereka tetap tegar, saling mendoakan, dan dipertemukan kembali oleh Allah — baik di dunia maupun di surga-Nya. (Tengku Iskandar, M. Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement