Bebasnya Hasto dan Tom Ketika Hukum Jadi Alat Politik.
Apa yang baru saja terjadi yaitu pembebasan Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, sejatinya bukan peristiwa hukum biasa. Karena ini adalah potret terang tentang bagaimana sistem peradilan di negeri ini yang bisa dibajak oleh kepentingan politik, dan betapa bahayanya jika hukum tak lagi berpihak pada keadilan, melainkan menjadi alat kekuasaan.
Saya disini tidak sedang membela mereka sebagai pribadi. Tapi sungguh saya berdiri pada satu titik kebenaran yang harus berdiri dan ada di atas siapa pun, entah itu politisi, ekonom, aktivis, atau rakyat biasa. Dan dalam kasus ini, baik Hasto maupun Tom sebenarnya tidak pernah terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai warga negara maupun dalam konteks politik yang mereka jalani. Maka ketika mereka dibebaskan, publik tidak seharusnya bertepuk tangan bahagia karena ‘pemaafan’ telah diberikan, tetapi justru bertanya. Mengapa mereka berdua harus diseret maju ke meja hijau sejak awal?
Hukum yang Dibelokkan Demi Elektabilitas
Inilah sebenarnya problem utama kita semua, yaitu hukum tidak lagi netral. Sebab telah digunakan untuk menciptakan ketakutan, membungkam kritik, dan menggembosi lawan politik. Siapapun mereka yang berseberangan, atau dianggap mengancam kepentingan elite, akan dicari-cari kesalahannya, dimanipulasi semua proses hukumnya, dan dipaksa menjadi kambing hitam demi mengangkat citra penguasa. Inilah logika electoral authoritarianism yang sedang menguat di banyak negara demokrasi semu dan sayangnya, Indonesia tampaknya sedang berada dalam barisan itu.
Dalam konteks perkara Hasto, yang selama ini menjadi simbol kesetiaan politik PDIP dan secara terbuka selalu mengkritisi arah demokrasi pasca Pemilu 2024, jelas adanya motif politik dalam upaya kriminalisasi dirinya. Sementara itu Tom Lembong, dengan rekam jejak internasional dan keahliannya dalam ekonomi, menjadi suara yang sulit dikendalikan lagi, karena ia tidak bicara demi kekuasaan, tapi demi akal sehat.
Mengapa Ini Penting untuk Kita Semua?
Karena jika hukum bisa disalahgunakan untuk mereka yang punya nama besar, bagaimana nasib rakyat kecil yang tidak punya akses, kuasa, atau media untuk membela diri? Mereka yang mungkin tidak pernah salah, tapi terpaksa menerima vonis karena sistem sudah dibajak mulai dari hulu ke hilir?
Kita tidak boleh diam. Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh di atas sistem hukum yang adil dan independen. Jika hukum hanya menjadi alat kekuasaan, maka tidak ada jaminan hak dan martabat manusia akan dihormati. Maka membela kebenaran dalam kasus seperti ini bukan sekadar sikap politik, tapi sungguh harus menjadi sikap moral sebagai warga negara.
Kemenangan Akal Sehat, Bukan Pengampunan Kekuasaan
Maka perlulah saya ulangi dengan tegas, bahwa bebasnya Hasto dan Tom adalah memang sudah seharusnya dilakukan. Bukan hadiah. Bukan pula kemurahan hati penguasa. Tapi sebagai koreksi atas adanya ketidakadilan yang sebelumnya telah dilakukan oleh sistem yang menyimpang.
Sekarang bukan saatnya bersyukur karena keduanya telah dibebaskan. Tapi saatnya bagi kita bertanya, berapa banyak lagi, warga negara yang tidak dikenal media, yang tak punya akses ke kekuasaan, yang sudah dan akan menjadi korban dari sistem hukum yang telah dipelintir ini?
Saatnya Kita Bicara Jujur tentang Negara Hukum
Negara hukum bukan hanya sekedar slogan. Karena hukum adalah fondasi dari masyarakat yang bermartabat. Dan martabat itu baru bisa dijaga jika hukum tidak tunduk pada kekuasaan. Maka jangan biarkan bangsa ini meluncur menjadi negara yang hanya berselimut demokrasi, tapi jiwanya otoriter.
Kita semua segenap anak bangsa punya tanggung jawab untuk bersuara, berpikir kritis, dan membela mereka yang menjadi korban dari sistem yang semestinya melindungi. Karena hari ini Hasto dan Tom. Besok bisa siapa saja dari kita. (Yoga Dowarto) – (Tono Wahyu Agung)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
