“Potret Lama, Cahaya yang Tak Pernah Padam” Refleksi Dakwah dari Sebuah Foto Keluarga.
Di balik selembar foto lama yang mulai pudar warnanya, tersimpan kisah panjang yang tak tertulis, namun berbicara lantang kepada siapa pun yang sudi merenunginya. Sebuah potret keluarga dengan latar tirai merah muda, dinding rumah sederhana, dan pakaian khas era 70-an—menjadi saksi bisu akan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Foto ini bukan sekadar arsip visual masa lalu. Ia adalah jendela waktu yang membuka tabir kehidupan sebuah keluarga: Ayah yang berdiri tegap dengan jas dan peci; Ibu yang setia mendampingi dengan balutan busana batik; anak-anak yang berjejer rapi, sebagian tampak malu-malu, sebagian lagi penuh percaya diri. Mungkin mereka tidak sadar bahwa di masa depan, foto ini akan menjadi warisan berharga bagi anak cucu mereka.
Warisan Nilai dalam Bingkai Keluarga
Foto ini menggambarkan betapa pentingnya kebersamaan keluarga. Di tengah keterbatasan zaman, mereka tetap mengabadikan momen penting secara kolektif. Tanpa gadget canggih, tanpa aplikasi filter, mereka menghadirkan kehangatan yang alami. Ini adalah potret tentang nilai—tentang cinta, tanggung jawab, dan pengasuhan.
Dakwah Islam sangat menekankan pentingnya keluarga sebagai fondasi masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Dalam foto ini, kita melihat bagaimana nilai kebaikan dalam keluarga diwariskan secara turun-temurun. Ayah sebagai pemimpin keluarga memancarkan ketegasan sekaligus kasih sayang. Ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anak, tampak mendampingi dengan keteduhan hati. Anak-anak yang berdiri rapi mencerminkan pendidikan adab dan sopan santun yang diajarkan sejak dini.
Kesederhanaan adalah Kemewahan yang Tak Terlihat
Tak ada yang glamor dalam potret itu. Rumahnya biasa saja, bahkan mungkin sempit. Tapi dari senyum-senyum tipis dan keteguhan posisi tubuh mereka, terpancar kebahagiaan yang jujur. Kesederhanaan ini justru menjadi kemewahan spiritual yang tak bisa dibeli oleh dunia modern.
Kesederhanaan adalah bagian dari sunnah. Rasulullah ﷺ sendiri hidup sederhana meski diberi pilihan oleh Allah untuk hidup sebagai raja. Dalam keluarga, hidup sederhana melatih syukur, menumbuhkan empati, dan membentuk ketahanan jiwa.
“Berbahagialah orang-orang yang hidup sederhana dan bersyukur, sebab mereka akan merasakan nikmat dalam segala kondisi.” (HR. Bukhari)
Peci, Batik, dan Baju Polkadot: Simbol Zaman dan Identitas
Tampilan dalam foto ini bukan sekadar mode. Peci di kepala sang ayah, batik di tubuh sang ibu, dan baju polkadot si anak remaja—semuanya adalah simbol identitas budaya dan zaman. Peci bukan hanya penutup kepala, tetapi lambang kehormatan dan religiositas seorang lelaki Muslim di Indonesia. Batik adalah warisan budaya yang menyatu dengan nilai kesopanan. Dan mode anak muda kala itu menunjukkan semangat zaman yang tetap dibingkai dalam kesopanan.
Dakwah tidak selalu harus melalui mimbar. Pakaian dan tampilan pun bisa menjadi sarana menyampaikan pesan. Dalam Islam, berpakaian yang baik dan sopan adalah bagian dari syiar.
“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap kali memasuki masjid.” (QS. Al-A’raf: 31)
Pakaian adalah cermin hati. Ketika ayah mengenakan peci dan jas, itu bukan sekadar gaya, melainkan simbol tanggung jawab dan kehormatan. Ketika ibu memilih batik, itu adalah ungkapan rasa bangga akan jati diri dan budaya. Dan ketika anak-anak berdandan rapi, itu adalah buah dari pengasuhan penuh cinta dan arahan.
Keluarga sebagai Madrasah Kehidupan
Dari foto ini, kita belajar bahwa keluarga adalah madrasah pertama dan utama. Semua nilai—iman, akhlak, kedisiplinan, kasih sayang, bahkan nasionalisme—berakar dari rumah. Di sinilah anak-anak belajar shalat, belajar sopan santun, belajar berkata jujur, dan belajar menyayangi saudara.
Islam memerintahkan kita untuk menjaga keluarga dari api neraka:
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Ayah dan ibu dalam foto ini mungkin bukan ustadz atau ustadzah. Tapi mereka sedang menjalankan peran sebagai murabbi (pendidik) dalam arti sesungguhnya. Dengan tangan mereka, mereka membentuk manusia. Dengan kasih sayang mereka, mereka melahirkan generasi.
Foto yang Menyimpan Doa
Mereka mungkin sudah tidak bersama kita hari ini. Ada yang telah tiada, ada yang telah lanjut usia, ada pula yang kini telah menjadi orang tua bagi anak-anak mereka. Namun setiap kali kita melihat foto ini, hati kita bergetar. Ada rasa rindu, rasa hormat, dan rasa terima kasih yang tak terucap.
Di balik potret ini, ada doa-doa yang tak pernah berhenti. Doa seorang ayah yang ingin anak-anaknya menjadi orang berguna. Doa seorang ibu yang memohon keselamatan dan kebaikan untuk keluarganya. Doa anak-anak yang mungkin belum tahu apa-apa, tapi kini menjadi penerus perjuangan.
“Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Menjadi Penerus yang Tak Melupakan Akar
Kita yang hidup hari ini, mungkin telah berpindah ke zaman serba cepat, digital, dan penuh godaan. Tapi foto ini mengingatkan kita untuk tidak lupa pada akar. Kita bukan siapa-siapa tanpa orang tua kita. Kita tak akan tegak hari ini tanpa pengorbanan dan cucuran keringat mereka dulu.
Inilah saatnya untuk melanjutkan perjuangan mereka. Mewariskan nilai-nilai Islam, menjaga adab keluarga, menyambung silaturahmi, dan mendoakan mereka dengan penuh cinta.
“Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Daud)
Menjaga Foto, Menjaga Sejarah
Mungkin kita menyimpan banyak foto di ponsel atau media sosial hari ini. Tapi foto seperti ini berbeda. Ia punya nyawa. Ia menyimpan napas dari masa lalu yang membisikkan: Jangan lupa dari mana kamu berasal…
Maka simpanlah foto-foto keluarga ini baik-baik. Bukan untuk dipuja, tapi untuk direnungi. Ajarkan kepada anak-anak kita siapa kakeknya, siapa neneknya, bagaimana mereka hidup, berjuang, dan mencintai. Jadikan ini bahan dakwah keluarga—dakwah yang hidup, yang mengalir, dan yang meresap hingga ke hati.
Penutup: Sebuah foto keluarga lama bisa jadi lebih berharga daripada ribuan kata. Ia adalah kitab sejarah kecil yang merekam kasih sayang, perjuangan, dan nilai-nilai kehidupan. Mari kita rawat warisan ini dengan penuh cinta. Dan semoga Allah menjadikan kita penerus yang amanah, yang terus mendoakan leluhur kita, dan yang menghidupkan sunnah Nabi di tengah keluarga kita. اللهم اجعلنا من الصالحين وأصلح لنا ذرياتنا . Aamiin ya Rabbal ‘alamin. Foto Sekedar Ilustrasi (Tengku Iskandar, M.Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
