Ibadah Khazanah
Beranda » Berita » Cara Meninggalkan Maksiat (Menjaga Perut) dalam Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali

Cara Meninggalkan Maksiat (Menjaga Perut) dalam Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali

Menjaga Perut
Sebuah perjalanan spiritual melintasi hutan yang tenang di kala fajar

SURAU.CO – Dalam keseharian, mungkin kita jarang merenungkan bahwa makanan yang kita konsumsi dapat menjadi pintu masuk bagi kegelapan batin atau sebaliknya, menjadi cahaya hidayah. Imam Al-Ghazali, dalam karya klasiknya Bidayatul Hidayah, membuka bab kedua ini dengan nasihat yang sederhana namun sangat dalam: menjaga perut.

Imam Al-Ghazali (450–505 H/1058–1111 M), seorang ulama besar dari Khurasan (Iran), dikenal sebagai Hujjatul Islam karena keluasan ilmu dan kedalaman spiritualitasnya. Bidayatul Hidayah merupakan karya pengantar menuju magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin. Kitab ini ditujukan bagi pelajar yang ingin memulai jalan menuju Allah dengan bimbingan adab, amal, dan menjauhi maksiat. Dalam khazanah Islam, kitab ini menjadi salah satu rujukan dasar dalam pendidikan moral dan spiritual, terutama di pesantren-pesantren tradisional.

Menjaga Perut Sebagai Jalan Awal Menuju Kesucian

Imam Al-Ghazali menulis:

وَاعْلَمْ أَنَّ الطَّعَامَ الْحَلَالَ لَا يُنْفِقُهُ إِلَّا مَنْ عَرَفَ الْحَرَامَ مِنَ الْحَلَالِ، وَكَانَ وَرِعًا فِي أَكْلِهِ

“Ketahuilah bahwa makanan halal tidak dapat dikonsumsi dengan benar kecuali oleh orang yang mampu membedakan halal dari haram dan memiliki sifat wara’ dalam makannya.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Pesan ini relevan di tengah masyarakat yang semakin mengabaikan asal-usul makanan. Imam Al-Ghazali mengajak kita tidak hanya memeriksa label halal, tetapi juga sumber rezeki dan cara memperolehnya. Makanan yang berasal dari praktik curang, ghibah, atau penghasilan syubhat bisa menggelapkan hati dan menutup pintu ilmu.

Makanan sebagai Energi Spiritual

Tidak semua makanan yang mengenyangkan akan memberi kebaikan. Dalam pandangan Al-Ghazali, apa yang kita makan akan memengaruhi kecenderungan ruhani. Jika makanan datang dari jalan haram, maka tubuh dan hati akan berat menerima kebaikan. Ia menulis:

كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka neraka lebih berhak atasnya.”

Kalimat ini menggugah siapa pun yang ingin memulai jalan suci untuk mulai dari apa yang paling dekat: perut sendiri. Ini bukan sekadar perkara fiqih, tapi etika spiritual. Bagaimana mungkin seseorang mendambakan hidayah, sementara sumber energinya adalah dari keburukan?

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Zaman Modern dan Godaan Syubhat

Hari ini, tantangan untuk menjaga perut lebih kompleks. Tawaran pekerjaan instan, produk makanan yang tak jelas sumbernya, hingga budaya konsumsi berlebihan mendorong kita menjauh dari sikap wara’. Al-Ghazali menyarankan untuk bersikap selektif dan hati-hati, bahkan terhadap yang halal, demi menjaga kejernihan batin.

Saya teringat cerita seorang sahabat yang mengembalikan gaji lembur karena merasa pekerjaan itu melibatkan manipulasi laporan. Meski sederhana, sikap itu mencerminkan semangat Imam Al-Ghazali: menolak satu suapan yang ragu demi keselamatan jiwa.

Makan dengan Takwa, Hidup dengan Terarah

Menjaga perut bukan semata soal diet atau pola konsumsi, tapi laku spiritual untuk menjaga hati tetap bening. Mungkin kita bisa mulai dari pertanyaan ini: “Dari mana makanan ini berasal, dan apa dampaknya bagi jiwaku?”

Mari kita akhiri dengan doa Imam Al-Ghazali:

اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا حَلَالًا طَيِّبًا، وَجَنِّبْنَا الحَرَامَ وَالشُّبُهَاتِ

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“Ya Allah, karuniakan kami rezeki yang halal lagi baik, dan jauhkan kami dari yang haram dan syubhat.”

Semoga setiap suapan yang kita konsumsi menjadi bahan bakar untuk amal saleh dan penerang jalan menuju-Nya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement