Ibadah Khazanah
Beranda » Berita » Menjaga Lidah dari Maksiat Kitab Bidayatul Hidayah Karya Imam Al-Ghazali

Menjaga Lidah dari Maksiat Kitab Bidayatul Hidayah Karya Imam Al-Ghazali

Menjaga Lidah
Sebuah perjalanan spiritual melintasi hutan yang tenang di kala fajar

SURAU.COImam Abu Hamid Al-Ghazali (450–505 H), ulama besar kelahiran Thus, Persia, adalah sosok yang menjembatani ilmu zahir dan batin. Karyanya Bidayatul Hidayah ditulis sebagai panduan awal bagi para murid dan penempuh jalan spiritual. Kitab ini membahas adab harian, amal lahir dan batin, serta cara meninggalkan maksiat dalam rangka menata diri menuju ridha Allah.

Salah satu fasal penting dalam kitab ini adalah cara menjaga lidah, bagian tubuh kecil yang mampu membawa seseorang ke surga atau menjerumuskannya ke neraka.

1. Lidah: Kecil Wujudnya, Dahsyat Akibatnya

Al-Ghazali membuka nasihatnya:

فَاحْفَظْ لِسَانَكَ كَمَا تَحْفَظُ ذَهَبَكَ وَفِضَّتَكَ

“Jagalah lidahmu sebagaimana engkau menjaga emas dan perakmu.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kalimat ini langsung menusuk hati. Betapa banyak orang menjaga harta, namun mengabaikan ucapannya. Imam Al-Ghazali mengingatkan, dosa-dosa lisan seperti ghibah, namimah, berdusta, dan mencaci adalah penyakit ruhani yang sering dianggap remeh.

Di zaman media sosial seperti sekarang, lidah bahkan “berpindah bentuk” ke ujung jari. Status, komentar, dan caption bisa menjadi “ucapan” yang menjerumuskan. Maka menjaga lidah hari ini berarti juga menjaga digital footprint kita.

2. Delapan Maksiat Lisan Menurut Al-Ghazali

Imam Ghazali menjabarkan delapan bentuk maksiat lisan, antara lain:

  1. Berbicara tanpa ilmu
  2. Janji palsu
  3. Ghibah (menggunjing)
  4. Namimah (mengadu domba)
  5. Ucapan kasar dan hinaan
  6. Mendoakan keburukan
  7. Ucapan sia-sia
  8. Ucapan bohong

Satu kutipan yang menggetarkan adalah:

الغِيْبَةُ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Ghibah itu lebih buruk dari zina.”

Mengapa? Karena zina masih bisa diampuni jika pelakunya bertaubat, tetapi ghibah membutuhkan kerelaan orang yang digunjing. Dalam era gosip publik dan sindiran viral, ghibah menjadi makanan harian banyak orang, bahkan dibungkus sebagai “konten lucu”.

Imam Ghazali tidak sekadar menyebutkan dosa, tapi mengajak untuk menakar dampak sosial dan spiritual dari lisan. Setiap kata bisa menjadi jembatan silaturahmi atau alat pemecah umat.

3. Cara Menjaga Lidah, Diam yang Berpahala

Al-Ghazali menulis:

وَعَلَيْكَ بِالصَّمْتِ مَا أَمْكَنَكَ، فَفِيهِ سَلَامَتُكَ

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

“Hendaklah engkau diam selama engkau mampu, karena di dalam diam terdapat keselamatan bagimu.”

Ini bukan ajakan pasif, tapi bentuk kebijaksanaan. Diam bukan berarti tak berbuat apa-apa, tetapi memilih untuk tidak menyakiti. Dalam banyak hadis, Nabi ﷺ menyebut bahwa keselamatan iman terletak pada menjaga lisan dan kemaluan.

Di tengah dunia yang memaksa orang bicara, diam bisa menjadi ibadah. Saat semua orang mengomentari, menyindir, membalas, dan membela diri maka menahan lidah menjadi bentuk kekuatan.

Satu kisah nyata pernah viral di media sosial. Seorang guru kehilangan pekerjaannya karena status sinis yang ditulisnya tentang kepala sekolah. Kalimat itu sebenarnya ditulis dalam kondisi emosi dan hanya ditujukan untuk lingkaran kecil. Namun dunia digital tak mengenal batas privat. Dalam hitungan jam, tangkapan layar menyebar ke banyak pihak. Yang tersisa hanya penyesalan dan rasa malu.

Inilah bahaya ghibah dan su’udzan yang diposting atau dibisiki lewat pesan singkat. Sekali tersebar, kata-kata bisa menyakiti lebih dalam daripada pedang. Dalam Bidayatul Hidayah, Al-Ghazali mengingatkan:

وَإِيَّاكَ أَنْ تَسْعَى بِكَلاَمٍ تُرِيدُ بِهِ إِفْسَادَ بَيْنَ النَّاسِ، فَإِنَّهُ مِنْ أَقْبَحِ الْغِيبَةِ

“Dan jauhilah menyampaikan ucapan yang merusak hubungan antar manusia, karena itu termasuk seburuk-buruknya ghibah.”

Jika dahulu ghibah membutuhkan ruang duduk dan majelis gosip, kini cukup dengan jempol dan sinyal. Betapa cepat lidah ini tergelincir, meski dalam bentuk emoji dan meme. Maka menjaga lidah hari ini, sejatinya juga menjaga etika digital.

Lidahmu, Jalan Menuju Keselamatan

Mari renungkan berapa banyak luka yang kita buat lewat kata-kata? Berapa banyak relasi rusak karena omongan yang tergelincir?

Imam Ghazali mengajak kita untuk mengolah lisan sebagaimana seorang petani merawat tanahnya. Ia harus menyiangi gulma, menyiram dengan kebaikan, dan menunggu buahnya.

اللَّهُمَّ أَلْهِمْنَا ذِكْرَكَ، وَجَنِّبْنَا لَغْوَ الْقَوْلِ، وَارْزُقْنَا لِسَانًا صَادِقًا، وَقَلْبًا سَلِيمًا

Jika lidah adalah cermin hati, maka menjaga lidah adalah jalan menyucikan batin. Saat kata-kata kita mulai ditimbang bukan hanya dengan logika, tapi juga dengan akhlak dan rasa takut kepada Allah di situlah awal dari hidayah sejati.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement