Ibadah Khazanah
Beranda » Berita » Menjaga Telinga dari Maksiat Kitab Bidayatul Hidayah Karya Imam Al-Ghazali

Menjaga Telinga dari Maksiat Kitab Bidayatul Hidayah Karya Imam Al-Ghazali

Menjaga Telinga
Sebuah perjalanan spiritual melintasi hutan yang tenang di kala fajar

SURAU.COImam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H), ulama besar abad ke-5 Hijriah, menulis Bidayatul Hidayah sebagai “kitab ” bagi para penempuh jalan menuju Allah. Kitab ini memadukan akhlak, adab, dan disiplin spiritual dalam bingkai tasawuf yang membumi. Ditulis untuk pelajar pemula dalam jalan sufi, kitab ini menjelaskan bagaimana memulai perjalanan ruhani, dari adab bangun tidur, salat, hingga cara meninggalkan maksiat.

Di tengah zaman yang penuh hiruk pikuk suara baik dari media sosial, televisi, atau podcast fasal tentang menjaga telinga terasa sangat relevan. Imam Al-Ghazali tidak hanya berbicara soal dosa lisan, tetapi juga maksiat pendengaran. Ia menegaskan bahwa telinga bukan sekadar alat pasif, melainkan gerbang hati yang bisa menguatkan iman atau mengotorinya.

1. Telinga: Jalan Masuk Cahaya atau Kegelapan?

Dalam fasal ini, Al-Ghazali menulis:

وَأَمَّا السَّمْعُ فَاحْفَظْهُ كَمَا تَحْفَظُ لِسَانَكَ، فَإِنَّمَا جُعِلَ لَكَ لِيُوصِلَ إِلَيْكَ كَلَامَ اللهِ تَعَالَى وَالْعِلْمَ بِشَرْعِهِ

“Adapun pendengaranmu, maka jagalah ia sebagaimana engkau menjaga lisanmu. Sesungguhnya ia diciptakan agar menyampaikan kepadamu firman Allah dan ilmu tentang syariat-Nya.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Al-Ghazali mengingatkan bahwa fungsi telinga bukan untuk mendengar segala hal, tapi khusus untuk menerima kalimat yang membawa cahaya. Sayangnya, hari ini kita justru terbiasa menyetel suara yang memperlemah iman dengan ghibah, musik yang melemahkan ruhani, atau tontonan yang menyisipkan kata-kata kotor.

Sebagaimana lisan bisa berdosa karena berkata dusta, maka telinga pun berdosa karena mendengar dusta dengan sengaja. Banyak orang tak sadar bahwa mendengarkan kemungkaran dengan senang hati adalah bentuk persetujuan batin yang bisa mengotori hati.

2. Bahaya Ghibah Bukan Hanya Pelaku, Pendengar Juga Berdosa

Imam Ghazali menegaskan:

وَالسَّامِعُ شَرِيكُ الْقَائِلِ فِي الْإِثْمِ، وَهُوَ أَحَدُ الْغَافِلَيْنِ، لِأَنَّهُ رَضِيَ بِالْمَعْصِيَةِ، وَالرِّضَا بِالْمَعْصِيَةِ مَعْصِيَةٌ

“Pendengar itu ikut berbagi dosa dengan orang yang berkata, karena ia ridha terhadap maksiat tersebut. Dan ridha terhadap maksiat adalah bentuk maksiat itu sendiri.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Bayangkan, saat seseorang menggunjing, kita hanya mendengarkan tanpa membantah atau meninggalkan maka menurut Imam Ghazali, kita menjadi partner dalam dosa itu. Ini bukan hanya soal hukum, tapi lebih pada sensitivitas ruhani. Bila hati kita tidak terusik saat mendengar keburukan orang lain, mungkin kita sudah kebal terhadap maksiat.

Dalam kehidupan modern, bentuk ghibah bisa datang dari berbagai media: konten gosip selebritas, sindiran di podcast, atau komentar jahat di TikTok. Kita tak menyadari bahwa scrolling kita bisa menjadi sarana maksiat, bukan karena kita berbicara, tetapi karena kita mendengarkan dan menikmatinya.

3. Menjaga Telinga sebagai Latihan Menjaga Hati

Al-Ghazali menutup bagian ini dengan perintah tegas:

فَاحْفَظْ سَمْعَكَ عَنْ كُلِّ كَلَامٍ يُكْرَهُ سَمَاعُهُ

“Maka jagalah pendengaranmu dari setiap perkataan yang tidak disukai untuk didengar (oleh Allah dan Rasul-Nya).”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Pesan ini begitu jelas. Jika ingin hati bersih, jaga telinga. Jika ingin nurani hidup, kurangi mendengar hal yang sia-sia. Pendengaran adalah latihan pertama untuk menyucikan hati.

Beberapa langkah praktis yang bisa kita ambil:

  • Batasi konsumsi konten yang tak bermanfaat.
  • Pilih podcast dan video dengan nilai positif.
  • Jika berada di tengah ghibah, alihkan pembicaraan atau pergi dengan alasan baik.

Dalam dunia serba audio-visual ini, menjaga telinga adalah jihad kecil tapi berdampak besar. Karena setiap yang kita dengar akan memengaruhi apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita pikirkan akan membentuk siapa kita.

 Ketika Telinga Menjadi Amal

Telinga yang baik bukan hanya tak mendengar maksiat, tapi juga aktif mencari suara kebaikan. Suara adzan, lantunan Qur’an, nasihat orang tua, atau bahkan tangisan saudara yang butuh pelukan semua bisa menjadi ladang amal jika hati kita peka.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ سَمْعَنَا يَسْتَمِعُ لِلْحَقِّ، وَيَنْصِتُ لِلْهُدَى، وَيُعْرِضُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ، آمِين.

Mulai sekarang, mari latih diri. Sebelum membuka telinga untuk mendengar, tanyakan: “Apakah suara ini mendekatkanku pada Allah, atau justru menjauhkan?” Karena bisa jadi, telinga adalah jembatan menuju surga atau jurang menuju kesia-siaan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement