SURAU.CO – Ilmu bukan sekadar hafalan yang hanya tertanam di akal. Melainkan Ilmu tumbuh subur bila hati dijaga, dan mata ditundukkan dari memandang hal-hal yang diharamkan. Imam Al-Ghazali membuka jalan ini dengan penuh kelembutan dan ketegasan dalam Bidayatul Hidayah sebuah kitab ringan yang padat makna dan menggugah nurani.
Di zaman di mana gambar dosa terpampang bebas dalam genggaman, nasihat Imam Al-Ghazali terasa lebih relevan dari sebelumnya. Mari kita telaah bagaimana beliau mengajarkan cara meninggalkan maksiat, dimulai dari menjaga mata.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, lahir tahun 450 H di Thus, Persia, dikenal sebagai salah satu imam besar dalam dunia tasawuf, filsafat, dan fikih. Beliau hidup dalam era keemasan Islam, namun juga masa penuh keraguan dan kegelisahan spiritual.
Kitab Bidayatul Hidayah (Permulaan Hidayah) ditulis sebagai panduan bagi pelajar pemula, agar tidak hanya cerdas akal tapi juga bersih hati. Kitab ini menjadi pengantar sebelum memasuki karya besarnya, Ihya’ Ulumuddin, dan hingga kini menjadi bacaan wajib di banyak pesantren.
1. Menjaga Pandangan, Gerbang Maksiat yang Pertama
Imam Al-Ghazali menulis:
وَاحْفَظْ بَصَرَكَ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ تَعَالَى
“Jagalah pandanganmu dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala.”
Pandangan adalah awal dari banyak kemaksiatan. Satu lirikan bisa menyeret hati pada khayalan, lalu tindakan. Maka Islam memerintahkan ghaddul bashar menundukkan pandangan.
Di era digital, menjaga mata bukan sekadar dari maksiat fisik, tapi juga dari layar gawai. Scroll tak terkendali bisa merusak iman. Imam Al-Ghazali mengajarkan untuk menjaga mata sebagai penjaga hati sebab hati tak akan bening jika cermin matanya keruh.
2. Menolak Syahwat sejak Pandangan Pertama
Lebih lanjut, Al-Ghazali mengingatkan:
فَالنَّظَرُ سَهْمٌ مَسْمُومٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ
“Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah Iblis.”
Pandangan yang tak dijaga bagaikan racun yang perlahan menumpuk dalam jiwa. Bahkan beliau menasihati agar tidak memandang dengan niat “sekadar melihat”, karena racun Iblis sering datang dari kelalaian kecil.
Seringkali kita menyangka pandangan itu sepele. Tapi dari situlah hawa nafsu menyelinap. Maka para ulama menjadikan menjaga mata sebagai bentuk pertama dari jihad melawan diri sendiri.
3. Pandangan yang Halal: Apa Batasannya?
Al-Ghazali tetap memberi ruang realitas. Melihat sesama dalam keperluan sosial dan kemanusiaan tetap dibolehkan. Tapi beliau menekankan: “Pandanganmu harus membawa zikir, bukan syahwat.”
Misalnya, dalam interaksi belajar atau muamalah, menjaga adab dan niat menjadi kunci. Tak semua pandangan menjadi maksiat, tapi niat di balik pandanganlah yang menjadi tolak ukur.
Di masa kini, menahan pandangan juga berarti bijak memilih konten. Menolak klik, menutup tab, dan memalingkan mata adalah bentuk nyata dari spiritualitas zaman digital.
Jalan Taat Dimulai dari Mata
Menjaga mata bukan perkara mudah. Tapi justru di situlah nilai jihadnya. Imam Al-Ghazali menempatkannya di awal Bidayatul Hidayah karena ia adalah gerbang hidayah atau awal kehancuran.
Mari kita renungkan:
“Apakah hari ini mataku lebih banyak menunduk karena Allah, atau justru bebas berkeliaran tanpa kendali?”
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang menjaga pandangan, menjaga hati, dan berjalan menuju cahaya-Nya dengan langkah yang bersih.
اللهم اجعل نورك في أبصارنا، ونقاءك في قلوبنا، وهدايتك في خطانا. آمين.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
