SURAU.CO– Nama Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi (w. 505 H) tak asing dalam sejarah keilmuan Islam. Lahir di kota Tus, Persia, ia dikenal sebagai Hujjatul Islam, tokoh reformis spiritual yang menjembatani ilmu lahir dan batin. Bagi Al-Ghazali, puasa bukan sekadar amalan fisik, melainkan pelatihan ruhani.
Kitab Bidayatul Hidayah ditulis sebagai pintu gerbang bagi para penempuh jalan Tuhan. Ia merupakan “pendahuluan” dari mahakarya besar Ihya’ Ulumuddin, dan menjadi panduan etika harian seorang murid spiritual. Bab ke-14 dalam kitab ini membahas dengan lembut namun tajam mengenai adab-adab berpuasa sebuah tema yang tetap menyala dalam kehidupan kita hari ini.
1. Puasa Bukan Sekadar Lapar, Tapi Latihan Jiwa
Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa esensi puasa bukan terletak pada lapar dan haus, tapi pada bagaimana kita menjaga anggota tubuh dari hal-hal yang haram dan sia-sia. Dalam salah satu kutipannya, beliau menulis:
فَإِنَّ الصَّوْمَ نِصْفُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ نِصْفُ الإِيمَانِ
“Sesungguhnya puasa adalah separuh dari kesabaran, dan kesabaran adalah separuh dari iman.”
Puasa sejatinya merupakan madrasah kesadaran. Ia melatih lidah agar tidak menyakiti, telinga agar tidak menguping, mata agar tidak memandang yang haram, dan hati agar terus terjaga dari riya’. Bukankah hari ini kita sering berpuasa dari makan, tapi tak menahan komentar sinis di media sosial? Inilah tantangan spiritual zaman digital.
2. Adab Sahur dan Niat, Menghidupkan Subuh dengan Kesadaran
Al-Ghazali sangat menekankan pentingnya niat sahur sebelum fajar. Niat bukan formalitas, tapi titik awal ruhani. Beliau menulis:
وَيَجِبُ أَنْ يُبَيِّتَ النِّيَّةَ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَيَنْوِي الصِّيَامَ قُرْبَةً لِلَّهِ تَعَالَى
“Wajib bagi seseorang untuk berniat sebelum fajar, dan hendaklah ia meniatkan puasanya sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Ta’ala.”
Dalam konteks hari ini, adab sahur menjadi simbol kedisiplinan. Sahur bukan hanya makan malam terlambat, melainkan ritual kesiapan ruhani. Kita diingatkan untuk memulai hari dengan kesadaran, bukan dengan kepanikan atau tergesa-gesa. Niat menjadi mercusuar, mengapa aku berpuasa? Untuk Allah, atau untuk tren kesehatan?
3. Waktu Berbuka Jangan Lupa Rasa Syukur
Ketika waktu maghrib tiba, Al-Ghazali memberi nasihat agar tidak melupakan hakikat berbuka:
فَإِذَا أَفْطَرْتَ فَابْدَأْ بِتَمْرَةٍ، فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِمَاءٍ، وَأَفْطِرْ عَلَى نِيَّةِ التَّقَرُّبِ إِلَى اللَّهِ
“Jika engkau berbuka, mulailah dengan kurma. Jika tidak ada, maka dengan air. Dan berbukalah dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Di era sekarang, kita sering tergoda menjadikan buka puasa sebagai ajang pesta kuliner. Padahal, momen berbuka adalah detik-detik spiritual untuk menyadari karunia Allah: seteguk air, sesuap nasi, udara segar. Ia seharusnya memunculkan rasa syukur, bukan sekadar kenyang.
Puasa sebagai Jalan Pulang ke Dalam Diri
Puasa bukan semata ibadah tahunan. Ia adalah cara Allah mengajarkan kita menjadi manusia yang sadar. Imam Al-Ghazali lewat Bidayatul Hidayah membimbing kita agar puasa tak berhenti di lambung, tapi menyentuh kalbu. Ia mengajak kita merenung: Sudahkah puasa kita menjadi jalan pulang ke dalam diri dan kepada-Nya?
Di tengah zaman yang kompleks dan instan ini , saatnya kita menata ulang cara kita menyambut Ramadan. Bukan hanya dengan menyiapkan takjil, menyiapkan agenda buka bersama tetapi juga membersihkan jiwa. Mari bertanya pada hati masing-masing: Apakah kita sudah benar-benar berpuasa, atau sekadar menahan lapar?
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صِيَامَنَا صِيَامَ الصَّادِقِينَ، وَقِيَامَنَا قِيَامَ الْمُخْلِصِينَ، وَافْتَحْ لَنَا فُهُوْمَ الْعَارِفِينَ، آمِين.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
