Kisah
Beranda » Berita » Ketika Patung Menjadi Tuhan: Kisah Awal Mula Kesyirikan

Ketika Patung Menjadi Tuhan: Kisah Awal Mula Kesyirikan

Ketika Patung Menjadi Tuhan: Kisah Awal Mula Kesyirikan di Zaman Nabi Nuh
etika Patung Menjadi Tuhan: Kisah Awal Mula Kesyirikan di Zaman Nabi Nuh

SURAU.CO – Di tengah sejarah panjang umat manusia, kisah tentang awal mula kesyirikan menjadi peringatan bagi setiap generasi. Kesyirikan adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk lain bukanlah hal sepele. Ia merupakan dosa terbesar dalam Islam dan menjadi sebab utama turunnya azab bagi kaum-kaum terdahulu. Salah satu kisah awal dan paling tragis tentang munculnya kesyirikan yang terjadi pada masa Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Sebelum Kesyirikan: Masyarakat yang Bertauhid

Sebelum zaman Nabi Nuh, manusia hidup dalam fitrah tauhid. Mereka menyembah Allah semata, mengikuti ajaran para nabi terdahulu dari keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam. Tidak ada penyembahan berhala, tidak ada patung-patung, tidak pula ritual-ritual kepada selain Allah. Masyarakat hidup dalam kedamaian spiritual, menganut nilai-nilai ilahiah. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul perubahan dalam cara manusia memaknai kebaikan dan keteladanan.

Al-Qur’an dalam Surah Nuh ayat 23 menyebut lima nama: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka adalah orang-orang saleh dari generasi terdahulu. Masyarakat mencintai dan menghormati mereka karena kebaikan, ketakwaan, serta peran besar mereka dalam menyebarkan ajaran tauhid.

Setelah tokoh-tokoh ini wafat, setan pun membisikkan tipu daya kepada manusia: “Buatlah patung-patung mereka agar kalian tidak melupakan kebaikan mereka.” Maka masyarakat pun membuat patung-patung sebagai bentuk penghormatan dan pengingat.

Awalnya, patung-patung itu hanyalah simbol. Tidak disembah, tidak dikeramatkan. Namun, setan sabar dalam menggoda. Generasi demi generasi berganti, hingga datangnya kaum yang tidak lagi mengetahui maksud awal pembuatan patung-patung itu. Lalu, setan membisikkan, “Nenek nenek moyang kalian dahulu menyembah mereka dan dari situ mereka mendapatkan keberkahan.” Maka mulailah manusia menyembah patung-patung itu. Kesyirikan pun lahir.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Datangnya Nabi Nuh dan Seruan Tauhid

Di tengah masyarakat yang telah tenggelam dalam kesesatan, Allah mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan manusia ke jalan yang benar. Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Ankabut ayat 14:

“ولقد أرسلنا نوحا إلى قومه فلبث فيهم ألف سنة أو أقل من خمسين عاما”

“Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun” (QS. Al-Ankabut: 14)

Namun, ajakan Nabi Nuh mendapatkan penolakan yang keras. Kaumnya menutup telinga, menutup hati, bahkan mencemooh dan mengusirnya. Kesyirikan telah meresuk begitu dalam. Mereka tidak hanya menyembah patung, tapi juga mewariskan kesesatan itu kepada anak cucu mereka sebagai sebuah tradisi.

Nabi Nuh berkata, sebagaimana disebutkan dalam Surat Nuh ayat 23:

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

“وقالوا لا تذرن آلهتكم ولا تذرن ودًّا ولا سواعا ويغوث ويعوق ونسرًا”

Dan mereka berkata, ‘Janganlah kamu meninggalkan tuhan-tuhan kamu dan jangan (pula) kamu meninggalkan Wadd, dan jangan Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’.” (QS. Nuh : 23)

Ini adalah bentuk pembangkangan terhadap dakwah tauhid. Mereka lebih memilih mengikuti leluhur mereka daripada petunjuk dari Allah.

Azab yang Menghapus Kesyirikan

Setelah dakwah panjang yang penuh penolakan, Nabi Nuh memohon kepada Allah agar menurunkan azab. Allah pun memerintahkan Nabi Nuh membuat sebuah kapal besar sebagai bentuk persiapan azab yang akan menimpanya.

Ketika banjir besar datang, seluruh kaum kafir dan musyrik binasa, termasuk anak Nabi Nuh yang tidak mau beriman. Peristiwa ini menjadi pelajaran bahwa kesyirikan adalah akar kehancuran suatu kaum. Sejarah pun mencatat bahwa dari umat Nabi Nuh lahirlah generasi baru umat manusia yang kembali kepada tauhid.

Penaklukan Thabaristan: Merebut Negeri Kapak Persia di Masa Utsmaniyah

Pelajaran dari Kisah Nabi Nuh

  1. Kesyirikan tidak terjadi seketika , tetapi melalui proses bertahap: dari penghormatan, menjadi pengagungan, lalu penyembahan.
  2. Setan menggunakan tipu daya yang halus dan memanfaatkan rasa cinta terhadap orang saleh untuk menipu manusia.
  3. Kebodohan generasi berikutnya terhadap maksud dari simbol atau tradisi dapat menyebabkan mereka tersesat.
  4. Kesyirikan bukan sekedar kesalahan individu , namun bencana sosial dan spiritual yang dapat membawa kehancuran kolektif.

Kesyirikan di Masa Kini

Meski zaman telah berubah, semangat kesyirikan tetap berusaha menyusup dalam berbagai bentuk. Bukan hanya patung, kini manusia menyembah uang, jabatan, bahkan kekuatan supranatural. Bentuk-bentuk baru dari berhala zaman modern muncul dalam bentuk pemujaan terhadap manusia, benda, bahkan ideologi yang menafikan Tuhan.

Padahal, Islam datang membawa pesan yang jelas: hanya Allah yang layak disembah. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sebenarnya hal yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya (pamer ibadah).” (HR.Ahmad)

Penutup: Kembali ke Jalan Tauhid

Kisah Nabi Nuh dan awal mula kesyirikan menjadi cermin besar bagi kita semua. Ia bukan hanya cerita masa lampau, tetapi peringatan yang relevan sepanjang zaman. Ketika hati manusia mulai menjauh dari dzikir kepada Allah, ketika simbol dijadikan tujuan, dan ketika kebaikan diukur hanya dari warisan budaya tanpa tauhid sebagai dasar, maka itu adalah jalan menuju kesesatan.

Mari kita jaga tauhid dalam diri, keluarga, dan masyarakat. Jangan biarkan simbol dan tradisi menggeser kedudukan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Karena jika kesyirikan kembali merajalela, maka kehancuran hanyalah soal waktu.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement