SURAU.CO — Dalam derap kehidupan modern yang serba cepat, kita sering terjebak dalam rutinitas ibadah tanpa makna. Shalat menjadi sekadar gerakan fisik, tanpa ruh yang menghidupkan. Namun, para ulama klasik seperti Imam Abu Hamid Al-Ghazali telah menulis warisan luhur agar ibadah kita tak sekadar menggugurkan kewajiban, melainkan menjadi tangga ruhani menuju Allah. Salah satunya termaktub dalam Bidayatul Hidayah, terutama pada Bab ke-11 yang mengulas adab-adab saat melaksanakan sembahyang.
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi (w. 505 H/1111 M) adalah ulama besar yang lahir di Persia dan hidup dalam era kejayaan ilmu pengetahuan Islam. Sebagai seorang ahli fikih, filsuf, dan sufi, Al-Ghazali dikenal karena kemampuannya menyatukan antara syariat dan hakikat.
Kitab Bidayatul Hidayah ditulis sebagai panduan awal bagi murid-murid yang ingin menapaki jalan menuju Allah. Ia bukan hanya buku fikih, tapi juga peta perjalanan spiritual yang menyentuh hati. Dalam khazanah Islam, kitab ini menempati posisi penting sebagai pengantar menuju karya puncaknya, Ihya’ Ulumuddin.
1. Menghadirkan Hati Saat Takbiratul Ihram
Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya menghadirkan hati sejak awal shalat:
“فإذا قمت إلى الصلاة فقم قيام خائف راجٍ مستحيٍ، فإنك بين يدي الله عز وجل”
“Jika engkau berdiri untuk shalat, maka berdirilah seperti seorang hamba yang penuh rasa takut, harap, dan malu. Sebab engkau sedang berada di hadapan Allah Azza wa Jalla.”
Pesan ini menyentak kita bahwa shalat bukan sekadar ritual. Ia adalah perjumpaan. Kita berdiri di hadapan Sang Raja, bukan di hadapan tembok kosong. Maka, shalat harus diawali dengan kesadaran penuh, bukan sekadar lafaz takbir tanpa makna.
Di tengah era digital, banyak dari kita tergoda mengecek ponsel bahkan menjelang iqamah. Padahal, seharusnya sejak wudhu, hati kita mulai bersih. Saat takbir, seluruh dunia seolah menghilang, hanya tersisa kita dan Tuhan.
2. Menjaga Khusyuk dan Menyadari Bacaan
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali juga menasihati:
“واحذر أن يكون ظاهرك مخالفًا لباطنك في الصلاة، فإن ذلك نفاق صريح”
“Waspadalah agar zahirmu tidak bertentangan dengan batinmu dalam shalat. Sebab itu adalah kemunafikan yang nyata.”
Shalat bukan soal terlihat khusyuk di mata manusia, tapi bagaimana hati dan lisan sejalan. Membaca Al-Fatihah tanpa merenungi maknanya, rukuk tanpa menyadari pujian kepada Tuhan, atau sujud tanpa merasa hina di hadapan-Nya, semua itu menjauhkan kita dari esensi ibadah.
Di zaman yang menyanjung penampilan, Imam Al-Ghazali mengingatkan agar batin tetap tulus. Keshalihan bukan pada panjangnya doa atau suara merdu, tapi pada kehadiran hati saat menyebut “Subhana Rabbiyal A’la” dalam sujud terdalam.
3. Menutup Shalat dengan Harapan dan Rasa Takut
Imam Al-Ghazali menyarankan agar setelah salam, seorang hamba tidak langsung beranjak, tetapi duduk merenung:
“فإذا سلمت فكن خائفًا من أن لا تُقْبَل صلاتك، وارجُ أن تُقْبَل”
“Jika engkau telah mengucapkan salam, maka takutlah bahwa shalatmu tidak diterima, dan berharaplah agar shalatmu diterima.”
Di sini, kita diajak menghidupkan sikap tawadhu’ tidak ujub dengan ibadah kita, namun tetap optimis. Rasa harap dan takut ini menyeimbangkan jiwa. Tidak berlebihan dalam menganggap ibadah kita pasti diterima, namun juga tidak putus asa.
Bayangkan jika setelah shalat kita meluangkan waktu sejenak untuk berdoa, bersyukur, atau bahkan menangis karena merasa masih jauh dari kesempurnaan. Bukankah itu akan membuat hubungan kita dengan Allah semakin dalam?
Shalat sebagai Jalan Cinta
Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah tidak hanya memberi hukum, tapi mengajarkan cinta. Ia menuntun kita agar shalat menjadi jembatan antara dunia dan akhirat, antara hamba dan Tuhannya.
Mari kita bertanya pada diri: sudahkah kita shalat dengan hati yang hidup? Ataukah kita sekadar menggugurkan kewajiban?
Ya Allah, ajarkan kami khusyuk seperti hamba-hamba pilihan-Mu. Jadikan shalat kami sebagai cahaya, bukan beban. Amiin Ya Rabbal Alamin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
