SURAU.CO – Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi adalah seorang ulama besar abad ke-5 Hijriah. Lahir di Tus, Iran, ia dikenal sebagai hujjatul Islam pembela Islam karena kemampuannya mengintegrasikan ilmu fikih, filsafat, dan tasawuf. Kitab Bidayatul Hidayah ditulis sebagai pedoman praktis untuk para pencari jalan menuju Allah. Kitab ini merupakan pengantar menuju karya agungnya, Ihya Ulumuddin, dan menjadi bacaan penting bagi para santri dan penempuh jalan tasawuf. Tujuan kitab ini jelas: membentuk akhlak, mengasah disiplin spiritual, dan menyucikan jiwa.
1. Waktu Pagi Adalah Awal yang Bersih untuk Jiwa
Imam Al-Ghazali menulis:
“وَاجْتَهِدْ أَنْ تَكُونَ مُبْكِرًا فِي الْخُرُوجِ مِنْ مَنْزِلِكَ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ سُنَنِ الْمُتَّقِينَ”
“Bersungguh-sungguhlah untuk keluar rumah menuju masjid di waktu pagi, karena itu merupakan sunnah orang-orang yang bertakwa.”
Kalimat ini mengandung pesan yang mendalam ketika kita betul-betul memahaminya. Pagi bukan sekadar waktu teknis, tetapi simbol dari kesegaran spiritual. Dalam konteks modern, kita bisa memaknainya sebagai ajakan untuk mengawali hari dengan kebajikan dan keteraturan. Banyak dari kita terjebak dalam hiruk-pikuk dunia kita disibukan dengan hal hal yang kurang penting seperti halnya bermain digital sejak pagi, tetapi ajaran ini mengajak untuk kembali memprioritaskan hubungan vertikal sebelum terlibat dalam urusan horizontal dalam arti shalih secara sosial.
2. Menghindari Kelalaian dan Aktivitas Tak Bermanfaat
Imam Al-Ghazali memperingatkan:
“وَاحْذَرْ مِنَ الْغَفْلَةِ وَالْبِطَالَةِ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ، فَإِنَّهَا تَجْلِبُ الْفُتُورَ فِي سَائِرِ الْيَوْمِ”
“Hindarilah kelalaian dan menganggur di awal hari, karena itu akan menyebabkan malas sepanjang hari.”
Nasihat ini sangat relevan. Banyak orang menunda-nunda pekerjaan, menghabiskan waktu dengan scroll media sosial yangtak berujung, hingga kehilangan produktivitas yang semestinya di jalani sebagai tanggung jawab hidup. Imam Al-Ghazali ingin kita memulai hari dengan kesadaran, bukan kelengahan. Jika pagi adalah cermin hari, maka kejernihan pagi menjadi fondasi bagi kejernihan batin sepanjang waktu.
3. Amal Harian sebagai Latihan Jiwa
Setelah subuh hingga tergelincirnya matahari, Imam Al-Ghazali menyarankan amal-amal ringan yang mendidik ruhani dengan beberapa aktivitas. Seperti halnya membaca Al-Qur’an, berdzikir, atau menuntut ilmu. Aktivitas ini bukan beban, tetapi sarana untuk menata jiwa yang tentram. Dalam bahasa beliau:
“فَاجْعَلْ بَعْدَ الصُّبْحِ وَقْتًا لِذِكْرِ اللهِ وَتِلَاوَةِ كِتَابِهِ، وَكُنْ دَائِمًا عَلَى طَهَارَةٍ”
“Jadikan waktu selepas subuh untuk berdzikir kepada Allah dan membaca kitab-Nya. Senantiasalah dalam keadaan suci.”
Dalam rutinitas hari ini, kita bisa menyesuaikannya dengan kegiatan seperti mendengarkan kajian singkat, membaca satu ayat Al-Qur’an dengan tafsirnya, atau sekadar merenung dalam keheningan pagi. Yang penting bukan kuantitasnya, tetapi kualitas kehadiran hati.
Membingkai Pagi dalam Cahaya
Pagi adalah waktu yang diberkahi. Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa cara kita memperlakukan pagi akan menentukan arah spiritual kita sepanjang hari. Tidak hanya soal aktivitas, tetapi tentang niat, kesungguhan, dan kebeningan batin.
Mari kita bertanya pada diri sendiri, apakah pagi-pagi kita sudah menjadi waktu perjumpaan dengan Allah? Ataukah hanya menjadi awal dari kesibukan duniawi semata?
Semoga kita diberi kekuatan untuk memulai setiap hari dalam cahaya petunjuk-Nya, menata jiwa sebelum menata agenda. Sebab dari kebiasaan pagi yang baik, lahirlah kehidupan yang terarah.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَدْرَنَا مُنَشِّرًا بِنُورِكَ، وَوَقْتَنَا مَمْلُوْءًا بِذِكْرِكَ، وَيَوْمَنَا مَبْدُوْءًا بِهُدَاكَ، آمِيْن.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
