SURAU.CO– Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, seorang ulama besar abad ke-5 Hijriyah, dikenal sebagai hujjatul Islam karena kedalaman pemikiran dan ketajaman spiritualitasnya. Beliau lahir di Thus, Khurasan (Iran sekarang) pada tahun 450 H dan wafat pada 505 H. Karya-karyanya menjadi fondasi penting dalam keilmuan Islam, terutama dalam bidang akhlak, tasawuf, dan filsafat Islam.
Kitab Bidayatul Hidayah ditulis sebagai panduan praktis bagi para penempuh jalan spiritual (salik). Buku ini menyentuh aspek etika lahir dan batin, dimulai dari adab bangun tidur hingga relasi manusia dengan Allah dalam ketaatan. Dalam khazanah Islam klasik, kitab ini ibarat pintu gerbang menuju karya puncak Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin.
1. Menyambut Masjid dengan Hati yang Siap
Imam Al-Ghazali menuliskan:
“فَإِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ فَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ”
Artinya: “Ketika engkau masuk ke dalam masjid, ucapkanlah: ‘Dengan nama Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.’”
Adab pertama yang diajarkan adalah dzikir saat melangkahkan kaki ke masjid. Bukan sekadar ritual lisan, tetapi penyelarasan hati dengan niat ibadah. Di tengah dunia yang serba cepat, kebiasaan ini mengingatkan kita untuk tidak melangkah ke tempat suci dengan pikiran kosong.
Bayangkan suasana hati yang terlatih—masuk masjid dengan sadar, dengan harap, dan dengan kerendahan hati. Jika ini menjadi kebiasaan, maka kita tidak hanya menginjak lantai masjid, tetapi juga membuka pintu-pintu langit dalam jiwa kita sendiri.
2. Shalat Tahiyyatul Masjid dan Makna Kesantunan Spiritual
Selanjutnya, Al-Ghazali menasihatkan untuk shalat dua rakaat tahiyyatul masjid sebelum duduk:
“فَإِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَجْلِسْ حَتَّى تُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ”
“Jangan duduk sebelum engkau shalat dua rakaat.”
Secara hukum, ini dikenal sebagai sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Namun, Al-Ghazali memaknai ini sebagai bentuk penghormatan batiniah terhadap ruang ibadah. Dalam masjid, kita bukan hanya bertamu, tetapi berjumpa dengan kehadiran-Nya.
Dalam dunia modern, kita cenderung memasuki ruang—baik masjid, ruang kerja, atau komunitas—dengan tergesa-gesa. Adab ini mengajarkan kita pentingnya ‘pause’—diam sejenak, menghadap, dan sadar sebelum bertindak. Sungguh relevan, bukan?
3. Doa Ketika Keluar dan Etika Meninggalkan Kebaikan
Imam Al-Ghazali tidak lupa memberi bimbingan ketika meninggalkan masjid:
“فَإِذَا خَرَجْتَ فَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ”
Artinya: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu sebagian dari karunia-Mu.”
Doa ini tidak hanya ritual, melainkan wujud kesadaran bahwa setelah beribadah, seseorang akan kembali ke dunia. Namun, ia tak kembali dengan tangan kosong. Ia memohon karunia agar jejak langkah berikutnya tetap berada dalam lingkaran rahmat Allah.
Ini pelajaran penting: kebaikan bukan hanya ditinggalkan di masjid. Ia harus dibawa pulang, dijalankan di pasar, di rumah, di jalanan. Kita tidak keluar dari masjid untuk menjadi manusia biasa saja, tetapi membawa semangat luar biasa untuk berbuat lebih baik.
Masjid, Cermin Hati
Masjid adalah tempat menata hati dan membersihkan niat. Dalam era serba cepat ini, mari kita hidupkan kembali adab yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali. Masuk masjid bukan rutinitas kosong, melainkan ziarah jiwa yang menghidupkan makna.
Marilah kita bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana kondisi hatiku ketika masuk dan keluar dari rumah Allah?”
اللَّهُمَّ اجْعَلْ قُلُوبَنَا مُتَعَلِّقَةً بِمَسَاجِدِكَ، وَزَيِّنْهَا بِأَدَبِ رَسُولِكَ.
Ya Allah, jadikanlah hati kami terikat pada masjid-masjid-Mu dan hiasi ia dengan adab Nabi-Mu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
