SURAU.CO — Dalam setiap langkah kaki menuju masjid, sejatinya ada ladang amal yang tengah dipanen. Tidak sekadar tempat ibadah, masjid adalah rumah spiritual yang mengajarkan kedisiplinan, keikhlasan, dan ketundukan. Imam Al-Ghazali, dalam Bidayatul Hidayah, menghadirkan panduan etis yang halus namun mendalam dalam bab “Adab Pergi ke Masjid.” Inilah pedoman yang tak lekang oleh zaman.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi, hidup pada abad ke-5 Hijriah (1058–1111 M), merupakan salah satu tokoh besar dalam sejarah pemikiran Islam. Lahir di Kota Thus, Persia, ia dikenal sebagai Hujjatul Islam karena kemampuannya menyinergikan antara ilmu syariat dan hakikat. Kitab Bidayatul Hidayah ditulis sebagai panduan awal bagi para penempuh jalan spiritual. Disusun dengan bahasa yang sederhana, kitab ini mengajarkan etika dalam ibadah dan keseharian.
Dalam khazanah Islam, Bidayatul Hidayah adalah pintu gerbang menuju kitab-kitab besar Al-Ghazali lainnya seperti Ihya’ Ulumuddin. Ia menjadi rujukan utama di pesantren, madrasah, dan lingkaran kajian tasawuf.
Niat yang Tulus dan Hati yang Khusyuk
Imam Al-Ghazali membuka bab ini dengan menekankan pentingnya niat:
“فَإِذَا خَرَجْتَ مِنْ مَنْزِلِكَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَاخْرُجْ بِنِيَّةِ الصَّلَاةِ وَزِيَارَةِ رَبِّكَ وَتَعَلُّمِ الْعِلْمِ وَالنُّصْحِ لِلْمُسْلِمِينَ”
“Apabila engkau keluar dari rumah menuju masjid, maka keluarlah dengan niat shalat, mengunjungi Tuhanmu, mencari ilmu, dan menasihati sesama Muslim.”
Niat bukan sekadar formalitas. Ia adalah penentu arah ruhani. Dalam konteks kini, sering kali kita ke masjid karena rutinitas atau sekadar ikut-ikutan. Padahal, dengan menyadari niat, setiap langkah menuju masjid bisa bernilai ibadah. Bahkan, Al-Ghazali menganjurkan untuk menjadikan perjalanan ke masjid sebagai momen berdzikir dan menyucikan hati.
Menjaga Etika di Jalan dan di Masjid
Etika menuju masjid menurut Al-Ghazali bukan hanya ketika sampai, tapi sejak keluar dari rumah. Beliau menulis:
“فَلَا تَمُرَّ بِسُوقٍ أَوْ مَجْلِسِ لَغْوٍ إِلَّا بِغَضِّ الْبَصَرِ وَذِكْرِ اللَّهِ وَإِظْهَارِ الْوَقَارِ”
“Janganlah engkau melewati pasar atau majelis yang sia-sia kecuali dengan menundukkan pandangan, berdzikir kepada Allah, dan menampakkan kewibawaan.”
Di era modern, bisa jadi kita melewati keramaian mal, jalanan ramai, atau media sosial sebelum tiba di masjid. Adab ini tetap relevan dengan menjaga pandangan, jaga hati, dan isi dengan dzikir. Saat di masjid, lanjut Al-Ghazali, duduklah dengan tenang, jangan banyak berbicara, dan hadirkan khusyuk.
Spiritualitas Kolektif dan Kepedulian Sosial
Menariknya, Al-Ghazali menyebut bahwa pergi ke masjid bukan hanya urusan pribadi:
“وَإِذَا رَأَيْتَ أَخَاكَ فِي الْمَسْجِدِ فَابْدَأْهُ بِالسَّلَامِ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ تَحِيَّةً طَيِّبَةً”
“Jika engkau melihat saudaramu di masjid, maka dahuluilah ia dengan salam dan berikan penghormatan yang baik.”
Masjid adalah ruang sosial yang suci. Ia menjadi tempat silaturahmi, berbagi ilmu, dan memperkuat ukhuwah. Dalam kehidupan modern, banyak masjid telah menjelma menjadi pusat dakwah, pendidikan, bahkan layanan sosial. Semangat ini sejalan dengan visi Imam Al-Ghazali yakni masjid bukan hanya tempat ruku’ dan sujud, tapi juga tempat perbaikan umat.
Masjid Sebagai Cermin Jiwa
Pergi ke masjid bukan sekadar kewajiban fisik. Ia adalah cermin dari kondisi batin. Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa setiap langkah menuju rumah Allah harus dilandasi kesadaran, kerendahan hati, dan niat memperbaiki diri. Dalam dunia yang hiruk-pikuk, adab ini menjadi oase yang menenangkan.
Mari kita tanyakan pada diri, sudahkah kita menuju masjid dengan hati yang siap bertemu Sang Khalik? Sudahkah kita menjaga adab lahir dan batin saat berada di rumah-Nya? Semoga petunjuk dari Bidayatul Hidayah ini menghidupkan semangat ruhani kita.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ قُلُوبَنَا مُتَعَلِّقَةً بِبُيُوتِكَ وَرُكُوعَنَا خَالِصًا لِوَجْهِكَ
Ya Allah, jadikan hati kami terpaut dengan rumah-Mu dan rukuk kami murni untuk wajah-Mu semata.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
