Kesehatan Mental dalam Profesi Diplomatik: Menakar Risiko dan Tanggung Jawab Sistemik.
Polda Metro Jaya mengonfirmasi kematian ADP (39), diplomat Kementerian Luar Negeri, sebagai kasus tanpa keterlibatan pihak lain. Menanggapi hal ini, Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) melakukan asesmen psikologis forensik bersama tujuh psikolog senior melalui wawancara dengan keluarga, atasan, dan kolega ADP.
Hasil wawancara menggambarkan ADP sebagai individu yang dikenal positif yang ditunjukkan dengan sikap bertanggung jawab, pekerja keras, dan peduli. Namun, ditemukan bahwa ia kesulitan mengekspresikan emosi negatif dan cenderung menginternalisasi stres. Terdata pula bahwa ia sempat menggunakan layanan kesehatan mental secara daring terakhir pada tahun 2021.
Apsifor mendapati bahwa ADP mengalami burnout, yaitu kelelahan fisik, emosional, dan mental akibat tekanan kerja berkepanjangan. Ini sesuai dengan definisi burnout menurut WHO International Disease Classification (ICD-11 yang ditandai dengan energi menipis, jarak mental dari pekerjaan, sinisme, serta menurunnya efikasi profesional
Profesi Diplomatik
Profesi diplomatik mengandung beban psikologis yang khas. Para diplomat dituntut untuk berpindah tugas secara berkala, mewakili negaranya di berbagai konteks budaya dan politik, serta menjaga citra nasional dalam kondisi yang tidak selalu kondusif. Tak jarang mereka juga ditempatkan di wilayah konflik yang memiliki risiko trauma tersendiri. Dalam kondisi seperti itu, akumulasi stres yang tidak tersalurkan dapat mengarah pada burnout bahkan gangguan psikologis berat.
Disamping itu, ketika bertugas di tanah air mereka juga menghadapi masalah beban hidup, penghasilan yang mereka peroleh seperti ASN biasa, sementara mereka selama bertugas di luar negeri sudah terbiasa dengan berbagai fasilitas termasuk pendidikan anak dan berbagai tunjangan, fenomena ini membuat sebagian Diplomat menghadapi “kejutan” ekonomi bahkan harus menjalani kehidupan LDR seperti Alm ADP untuk mengurangi beban hidup di Jakarta dan biaya pendidikan anak.
Gaya Hidup dan Lingkungan Kerja
Belum lagi soal “gaya hidup” dilingkungan kerja dan pergaulan para Diplomat yang menuntut mereka harus terlihat berkelas
Burnout semakin tinggi karena tuntutan relokasi yang tinggi, adaptasi lintas budaya, tekanan diplomatik, dan potensi trauma di zona konflik. Sebuah kajian sistematis menunjukkan bahwa respons psikologis diplomat terhadap trauma mirip dengan pekerja profesional lain yang terekspos risiko tinggi (Brooks et.al, 2023).
Sementara studi lain menyimpulkan bahwa kualitas hidup diplomat sangat dipengaruhi oleh stres pekerjaan, mobilitas tinggi, dan sumber daya coping yang terbatas (Fliedge et.al.,2016)
Maslach dalam teorinya menjabatkan tiga dimensi utama dari burnout:
1. Kelelahan Emosional, yakni rasa lelah yang mendalam akibat tekanan kerja berkepanjangan.
2. Depersonalisasi, berupa sikap sinis atau menjauhkan diri secara emosional dari pekerjaan dan orang lain.
3. Penurunan Prestasi Diri, yaitu berkurangnya rasa pencapaian, efektivitas, dan makna dalam bekerja.
Ketika lingkungan kerja tidak memberikan dukungan yang memadai, ketiga aspek tersebut dapat berkembang dan memperburuk kondisi psikologis individu.
Sayangnya, dalam sistem birokrasi yang kaku dan berorientasi pada pencitraan, isu kesehatan mental masih sering diabaikan atau dianggap tabu.
Akumulasi Beban Mental
Tanpa sistem pendukung yang kuat, akumulasi beban mental ini bisa mengarah pada depresi serius atau bahkan keputusasaan ekstrem.
Tragedi ini memberikan sejumlah pelajaran penting bagi institusi pemerintah, khususnya dalam pengelolaan sumber daya manusia di bidang strategis seperti diplomasi bahwa:
1. Kesehatan mental adalah isu sistemik, bukan semata personal. Tekanan kerja yang tidak manusiawi sering kali berasal dari sistem yang minim empati dan tidak adaptif.
2. Lingkungan kerja yang abai mempercepat kelelahan mental.Tanpa dukungan emosional dan struktural, burnout menjadi risiko yang tak terhindarkan.
3. Profesi berisiko tinggi membutuhkan perlakuan khusus.Diplomat dan profesi serupa memerlukan pendampingan psikologis yang terstruktur dan berkelanjutan.
4. Budaya diam memperparah krisis.Ketika organisasi tidak menyediakan ruang aman untuk berbicara, individu terdorong menanggung beban sendirian, meningkatkan potensi terjadinya krisis mental.
5. Perlu reformasi kebijakan yang berpihak pada kesehatan mental.Institusi wajib membangun sistem dukungan mental melalui layanan konseling, pelatihan manajemen stres, dan kepemimpinan yang humanis.
Kasus ADP adalah alarm yang tak boleh diabaikan. Ia mewakili banyak individu dalam sistem yang menuntut kekuatan tanpa menyediakan ruang untuk kelemahan.
Di balik senyapnya tugas negara, ada jiwa-jiwa yang menanggung beban tanpa suara. Kesehatan mental bukan sekadar urusan pribadi, melainkan tanggung jawab kolektif terutama bagi institusi yang menempatkan individu dalam tekanan luar biasa.
Kehadiran Negara
Saatnya negara hadir, bukan hanya dalam bentuk aturan, tetapi dalam wujud empati yang nyata. Sebab dalam dunia yang menuntut ketahanan, justru keberanian untuk peduli adalah bentuk perlindungan paling kuat.
Saatnya akses layanan kesehatan mental bagi diplomat diberikan dengan mudah khususnya layanan konseling serta program-program Psikoedukasi untuk mencegah terjadinya gangguan psikologi. Psikolog, Assoc. Prof Universitas Paramadina/Pernah bekerja di KBRI Kuala Lumpur (Muhammad Iqbal, Ph.D)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
