Sosok
Beranda » Berita » Gus Miek: Sang Kiai Nyentrik Dari Kediri

Gus Miek: Sang Kiai Nyentrik Dari Kediri

Tinggalan Gus Miek berupa “Jantiko Mantab” hari ini bukan sekadar organisasi, melainkan gelombang batin yang terus bergerak dengan Semaan Qur’an dan Majelis Dzikrul Ghafilin

SURAU.CO. Di tengah arus zaman yang semakin bising dan gaduh, ketika manusia sering kehilangan arah dalam hiruk-pikuk dunia, ada satu nama kiai nyentrik yang tetap memancarkan ketenangan—meski raganya telah lama tiada. Ia adalah KH. Chamim Tohari Djazuli, atau yang lebih akrab disapa dengan Gus Miek.

Nama ini mungkin tak asing bagi kalangan pesantren dan pecinta Al-Qur’an. Namun sejatinya, ketenangan yang terpancar dari sosoknya justru menembus batas-batas komunitas religius, menjangkau mereka yang hidup di pinggiran jalan spiritual: para pendosa yang rindu arah, para perindu Tuhan yang tak tahu jalan pulang. Gus Miek hadir seperti angin malam, hening, lembut, namun menusuk hingga ke relung jiwa.

Sosok kiai nyentrik dari Kediri ini tidak pernah benar-benar pergi dari hati umatnya. Jalan hidupnya yang unik, penuh dengan kejutan dan keberanian menembus batas-batas dakwah tradisional, menjadikan Gus Miek sebagai figur yang selalu menarik untuk dibaca, dikenang, dan diteladani serta dijadikan sebagai inspirasi.

Gus Miek di Masa Kecil

Gus Miek lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 17 Agustus 1940. Beliau tumbuh dalam lingkungan pesantren. Ayahnya adalah KH. Ahmad Djazuli Usman, pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, sementara ibunya adalah Nyai Rodhiyah. Sejak kecil, Gus Miek sudah menunjukkan karakter yang berbeda. Ia pendiam dan suka menyendiri. Namun, ia memiliki suara merdu dan daya ingat yang luar biasa dalam menghafal Al-Qur’an.

Bahkan, meski hanya nyantri di Lirboyo selama 16 hari, ia mampu menguasai kitab-kitab besar. Kitab-kitab tersebut seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Tafsir Jalalain. Banyak orang meyakini Gus Miek memiliki karomah sejak kecil. Salah satu peristiwa yang menguatkan keyakinan ini adalah saat ia “hilang” di sungai Brantas dan ditemukan kembali dengan tenang di tepinya, konon Gud miek dalam lindungan Nabi Khidir AS.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Nama: KH. Chamim Tohari Djazuli (Gus Miek)
Istri: Nyai Hj. Lilik Suyati
Ayah: K.H. Ahmad Djazuli Utsman
Ibu: Nyai Hj. Rodilyah
Anak:
1. KH. Agus Tajuddin Heru cokro
2. KH. Agus Sabuth Panotoprojo
3. KH. Tinjani Robert Syaifunnawas.
4. KH. Agus Orbar Sadewo Achmad
5. Hj. Tahta Alfina Pagelaran
6. Hj. Riyadin Dannis Fatussunnah

Kiai Nyentrik Dakwah Melalui Cinta dan Empati

Gus Miek bukan hanya seorang penghafal Al-Qur’an. Ia menjadikannya sahabat spiritual. Al-Qur’an menjadi tempatnya berbicara dengan Tuhan. Ia juga menyeka air mata dan mengobati luka batin. Dari sana, Gus Miek membangun gerakan dakwah yang tidak biasa. Gerakan ini berupa majelis-majelis spiritual yang lahir dari cinta dan empati.

Beberapa di antaranya adalah Jamaah Mujahadah Lailiyah (1962), Majelis Semaan Al-Qur’an, Dzikrul Ghofilin (1971), dan Jantiko Mantab (1986). Jantiko Mantab adalah singkatan dari Jamaah Anti Koler Majelis Nawaitu Tapabrata. Semua komunitas ini masih aktif hingga kini. Ribuan jamaah dari berbagai kalangan hadir dalam majelis ini. Mereka termasuk orang-orang yang dulu jauh dari agama. Di majelis ini, orang-orang menyimak lantunan 30 juz Al-Qur’an dengan tenang. Mereka juga mendengarkan dzikir malam dan nasihat spiritual yang menyejukkan.

Gus Miek percaya bahwa tidak ada manusia yang terlalu hina untuk mencintai Al-Qur’an. Ia juga percaya tidak ada manusia yang terlalu suci untuk berhenti membacanya. Dalam semaan-semaan itu, siapa pun bisa datang. Ada pengusaha, santri, mantan narapidana, bahkan mereka yang dulu tenggelam dalam dunia malam.

Merangkul yang Terpinggirkan

Gaya dakwah Gus Miek cukup berbeda dengan kebanyakan kiai. Ia tidak membatasi dakwahnya di mimbar dan pesantren. Gus Miek justru turun ke jalan, ke tempat-tempat yang sering dianggap “penuh maksiat”. Diskotik, karaoke, terminal, dan klub malam bukan tempat yang ditakutinya. Ia hadir di sana bukan untuk menghakimi. Sebaliknya, ia hadir untuk merangkul. Gus Miek mengajak mereka yang terpinggirkan untuk kembali mengenal Tuhan. Ia melakukannya dengan pelan-pelan dan penuh kasih sayang.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Gaya hidupnya yang sederhana dan tutur katanya yang lembut membuat Gus Miek dicintai oleh banyak orang. Bahkan, Gus Dur pernah mengatakan bahwa Gus Miek memiliki kedalaman spiritual yang langka. Ia tidak banyak bicara, tapi sekali bicara, menembus jiwa. Ia tidak membangun bangunan tinggi, tetapi membangun jalan sunyi yang kuat. Jalan itu menjadi jalan pulang bagi hati yang tersesat.

Warisan Abadi Gus Miek

Gus Miek wafat pada Sabtu, 3 Juni 1993. Wafatnya beliau terjadi pukul 15.00 di rumah sakit Surabaya. Saat itu, bertepatan dengan 14 Dzulhijjah 1413 H dalam Usia 53 tahun. Makamnya berada di Pemakaman Auliya Tambak Ngadi Kediri. Di sana, ia dimakamkan bersama tiga waliyullah lainnya. Tiga waliyullah tersebut adalah Syaikh Maulana Abdul Qodir Khoiri bin Ismail Al- Iskandariyah, Syaikh Maulana Abudllah Sholil Al- Istambuli, dan Syaikh Maulana Muhammad Herman Arruman.

Tinggalan Gus Miek berupa “Jantiko Mantab” bukan sekadar organisasi melainkan juga sebuah gelombang batin yang terus bergerak. Di berbagai daerah, semaan Qur’an terus berkumandang dan dzikir malam terus dilantunkan. Nama Gus Miek terus selalu ada dalam bisikan cinta. Ia memang tidak meninggalkan menara dakwah yang megah. Tetapi, ia meninggalkan cahaya yang menyala di hati banyak orang. Itulah jalan cinta yang diterangi al-Qur’an.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement