Perkembangan Agama dan Spiritualitas Sepanjang Rentang Kehidupan: Sebuah Telaah Psikologis.
Pendahuluan: Dalam kehidupan manusia yang terus bergerak dari satu fase ke fase lainnya, agama dan spiritualitas sering kali hadir sebagai penopang utama dalam menghadapi berbagai dinamika dan tantangan. Mulai dari masa kanak-kanak yang polos, remaja yang penuh gejolak, hingga masa tua yang sarat kontemplasi—keberadaan agama dan spiritualitas memainkan peran yang tak tergantikan. Maka, penting untuk menelaah bagaimana keduanya berkembang sepanjang rentang kehidupan.
Pada Kamis, 31 Juli 2025, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar Kajian Kamisan bertajuk “Perkembangan Agama dan Spiritualitas Sepanjang Rentang Kehidupan”. Kegiatan ini menghadirkan narasumber istimewa, Prof. Dr. Rena Latifa, M.Psi., Psikolog, Guru Besar di bidang Psikologi Agama. Kegiatan ini dimoderatori oleh Evi Zulvia dan berlangsung secara hybrid di lantai 3 Perpustakaan Sekolah Pascasarjana, serta disiarkan langsung melalui platform Zoom dan live streaming.
Apa yang Dimaksud dengan Perkembangan Agama dan Spiritualitas?
Perkembangan agama dan spiritualitas merujuk pada proses bertumbuhnya pemahaman, keyakinan, serta pengalaman keagamaan dan spiritual seseorang dari waktu ke waktu. Dalam psikologi agama, perkembangan ini dipengaruhi oleh banyak faktor: usia, lingkungan, pendidikan, pengalaman hidup, bahkan krisis eksistensial.
Agama sering diasosiasikan dengan sistem keyakinan yang terstruktur dan bersifat institusional, mencakup ajaran, aturan, ritual, dan komunitas. Sementara spiritualitas lebih bersifat personal dan mendalam, merujuk pada pencarian makna hidup, hubungan dengan yang transenden, dan pengalaman batin yang mendalam.
Dalam praktiknya, keduanya saling melengkapi. Agama memberi kerangka dan arah, sementara spiritualitas memberi kedalaman dan nuansa eksistensial.
Tahapan Perkembangan Agama dan Spiritualitas
1. Masa Kanak-Kanak (0–12 tahun)
Pada tahap ini, pemahaman anak terhadap agama masih bersifat konkret dan literal. Mereka cenderung memahami Tuhan dan nilai-nilai keagamaan sebagaimana diceritakan oleh orang tua, guru, atau tokoh agama.
Menurut teori perkembangan James Fowler, ini disebut sebagai tahap “intuitive-projective faith”, di mana anak-anak membentuk imajinasi spiritual yang kuat, tetapi belum memiliki struktur pemahaman logis. Maka, penting bagi orang dewasa untuk menyampaikan ajaran agama dengan pendekatan naratif dan emosional yang menyentuh.
2. Masa Remaja (13–20 tahun)
Remaja mulai mempertanyakan kepercayaan yang diwariskan. Fase ini disebut sebagai tahap “synthetic-conventional faith”, di mana individu mulai menyusun keyakinan berdasarkan apa yang diajarkan oleh komunitas atau lingkungan sosialnya, namun belum sepenuhnya disaring secara kritis.
Di sinilah pentingnya peran pendidikan agama yang bersifat dialogis. Remaja perlu ruang untuk bertanya, berdiskusi, dan merenung. Kegiatan mentoring keagamaan, halaqah, atau diskusi terbuka bisa sangat membantu membimbing arah spiritualitas mereka.
3. Masa Dewasa Awal (21–40 tahun)
Tahap ini ditandai dengan pencarian makna hidup yang lebih mendalam. Karier, keluarga, dan tanggung jawab sosial mulai mewarnai hidup seseorang. Di sinilah mulai terjadi krisis eksistensial yang memaksa individu untuk menafsir ulang ajaran agama dalam konteks hidup nyata.
Sebagian orang mungkin mulai mengevaluasi ulang keyakinannya. Ini adalah masa refleksi dan pendewasaan spiritual. Tahap ini juga bisa menjadi awal dari fase “individuative-reflective faith”, di mana seseorang mengembangkan pemahaman agama yang lebih personal dan berdasar pada refleksi mendalam, bukan sekadar warisan.
4. Masa Paruh Baya (41–60 tahun)
Pada fase ini, seseorang mulai mengalami titik balik kehidupan. Muncul keinginan untuk memberi makna terhadap pencapaian hidup, hubungan dengan Tuhan semakin didekati secara intim dan personal. Ini adalah masa yang disebut-sebut sebagai “generativity vs stagnation” dalam teori Erik Erikson—di mana orang mulai memikirkan warisan spiritual yang akan ditinggalkan.
Banyak orang di usia ini mulai aktif mengikuti pengajian, memperdalam ilmu agama, dan meningkatkan amalan ibadah secara lebih konsisten. Bagi sebagian, spiritualitas menjadi fokus utama setelah sebelumnya disibukkan dengan urusan dunia.
5. Masa Lansia (60 tahun ke atas)
Tahap ini adalah puncak kedewasaan spiritual. Individu mulai melihat hidup secara utuh dan menerima segala sesuatu dengan lapang dada. Perasaan dekat dengan Tuhan meningkat. Shalat, dzikir, doa, serta keinginan untuk meninggalkan kebaikan menjadi hal yang utama.
Spiritualitas pada tahap ini bisa menjadi sumber kekuatan luar biasa dalam menghadapi penurunan fisik dan kematian. Di sini pula, nilai-nilai keimanan bisa menjadi penentu kualitas hidup lansia—menjadikan mereka tenang, sabar, dan penuh kasih.
Mengapa Perlu Membahas Perkembangan Ini?
Kajian semacam ini menjadi penting dalam konteks masyarakat modern yang kerap terjebak pada rutinitas, stres, dan kekosongan makna. Banyak yang menjalani hidup tanpa sadar, tidak tahu arah spiritualnya, bahkan merasa jauh dari Tuhan meski aktif secara ritual.
Dengan memahami perkembangan agama dan spiritualitas, kita bisa:
Mendampingi anak dan remaja dengan cara yang tepat dalam mengenal dan mencintai agama.
Menemani pasangan hidup dan sahabat dalam pencarian makna yang sedang mereka alami.
Menjadi dewasa secara spiritual sehingga tidak terjebak pada simbol, tetapi mampu memahami esensi ibadah.
Mempersiapkan hari tua dengan lebih tenang, damai, dan penuh harapan kepada Allah.
Manfaat Mengikuti Kajian Ini
Kegiatan ini terbuka untuk umum dan menawarkan banyak manfaat:
E-Sertifikat – sebagai bukti keikutsertaan dan menambah portofolio akademik maupun profesional.
Ilmu yang Bermanfaat – langsung dari pakar psikologi agama yang berpengalaman.
Relasi – bertemu dengan sesama pencari ilmu dan memperluas jejaring keilmuan.
Dengan dipandu moderator muda dan cakap, Evi Zulvia, serta narasumber ahli seperti Prof. Dr. Rena Latifa, peserta akan diajak menyelami aspek psikologi perkembangan agama secara ilmiah namun aplikatif.
Penutup: Menjadi Hamba yang Bertumbuh secara Spiritual
Hidup bukan hanya tentang bertambahnya usia, tapi juga tentang bertambahnya kedewasaan spiritual. Kita lahir tanpa membawa apa-apa dan akan kembali kepada-Nya dengan membawa amal dan iman. Maka, penting bagi setiap kita untuk menapaki perjalanan spiritual dengan sadar, terarah, dan penuh hikmah.
Mari manfaatkan momentum kajian ini untuk memperbarui niat dan memperkaya pemahaman. Jadikan setiap fasenya kehidupan sebagai ladang subur untuk menumbuhkan iman, membasahi hati dengan dzikir, serta merawat relasi dengan Allah.
Jika Anda memiliki waktu luang pada Kamis, 31 Juli 2025 pukul 13:00–14:30 WIB, jangan lewatkan Kajian Kamisan ini. Ikuti secara langsung di Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atau secara daring melalui Zoom dan streaming. Info lengkap dan pendaftaran bisa menghubungi kami.
“Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tidak bertambah petunjuk (amalnya), maka ia semakin jauh dari Allah.” – Hasan al-Bashri. (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
