SURAU.CO – Menghafal bukan sekadar perkara daya ingat, tapi tentang menanamkan cahaya ilmu dalam hati dengan cara yang benar. Di bagian pertama, kita telah membahas bahwa menjaga hati, memilih makanan, dan adab sosial berperan penting dalam kekuatan hafalan. Sekarang, mari kita gali nasihat Al-Zarnuji tentang waktu terbaik, peran menulis, dan pentingnya konsistensi dalam menjaga hafalan.
Waktu Emas untuk Menghafal: Saat Fajar Menyapa Jiwa
Al-Zarnuji memberikan isyarat bahwa waktu-waktu tenang memiliki pengaruh besar dalam memperkuat hafalan. Salah satunya adalah menjelang subuh.
وَأَفْضَلُ أَوْقَاتِ الْحِفْظِ السَّحَرُ، ثُمَّ الْغَدَاةُ، وَأَفْضَلُ مَا يُسْتَفَادُ مَا كُتِبَ بِاللَّيْلِ
“Waktu paling utama untuk menghafal adalah waktu sahur, kemudian pagi hari, dan ilmu terbaik adalah yang ditulis malam hari.”
Dalam suasana sunyi menjelang fajar, hati lebih mudah menerima ilmu. Banyak santri terbiasa bangun sebelum subuh, lalu melafalkan hafalan di bawah cahaya lampu redup. Keheningan pagi membuka ruang batin, menjadikan ayat-ayat atau matan yang dibaca lebih mudah melekat.
Kini, banyak orang justru memulai hari dengan membuka ponsel dan notifikasi. Jika tradisi fajar kembali dihidupkan, hafalan akan tumbuh kuat seperti tanaman yang disiram pada saat matahari belum terik.
Menulis Ilmu Dari Tangan Menuju Hati
Menulis adalah sarana ampuh untuk menguatkan hafalan. Al-Zarnuji menegaskan:
فَإِنَّ الْكِتَابَةَ تُثَبِّتُ الْحِفْظَ وَتَجْلُو الْفِكْرَةَ
“Sesungguhnya menulis dapat memperkuat hafalan dan memperjelas pemikiran.”
Menulis bukan hanya kegiatan fisik, tetapi proses batin yang mendalam. Ketika tangan menoreh huruf demi huruf, ilmu perlahan mengendap dalam hati. Dulu, para santri di pesantren sering menyalin ulang kitab sebagai bagian dari proses menghafal dan memahami.
Meski teknologi digital memudahkan akses, menulis dengan tangan masih relevan. Dengan menulis, kita melatih fokus, ketekunan, dan rasa tanggung jawab terhadap ilmu yang dipelajari.
Konsistensi Dalam Menyirami Ilmu Agar Tak Layu
Ibnu Abbas pernah berpesan, dan dikutip oleh Al-Zarnuji:
تَعَاهَدُوا الْعِلْمَ، فَإِنَّهُ يَتَفَلَّتُ كَتَفَلُّتِ الْإِبِلِ مِنَ الْعُقُلِ
“Peliharalah ilmu, karena ia mudah lepas seperti unta yang lepas dari ikatannya.”
Ilmu memiliki sifat mudah hilang. Maka ia perlu dijaga dengan cara terus-menerus diulang dan diamalkan. Hafalan yang tidak ditinjau ulang, lama-lama menguap dari ingatan.
Di banyak pesantren, kegiatan murajaah (mengulang hafalan) dilakukan secara rutin. Bahkan, santri saling menguji satu sama lain. Bukan hanya untuk melatih daya ingat, tetapi juga untuk memperkuat kepercayaan diri dan rasa memiliki terhadap ilmu tersebut.
Ilmu yang terus dibaca, ditulis, dan diajarkan akan tumbuh subur. Sebaliknya, jika dibiarkan, ia akan pudar. Seperti tanaman yang tak pernah disiram, akhirnya mati.
Hafalan Bukan Koleksi, Tapi Kehidupan
Hafalan bukan hanya tumpukan informasi, melainkan bentuk komitmen kepada ilmu. Ia hidup dalam hati yang bersih, rutinitas yang disiplin, dan lisan yang senantiasa menjaga kalam para ulama dan ayat-ayat Allah.
Di era digital ini, banyak orang menyimpan ratusan file, tapi lupa menjaga hafalan yang pernah ditanam. Maka mari kita kembali pada petunjuk ulama: perbaiki waktu belajar, biasakan menulis, dan jaga rutinitas dengan penuh adab.
“Ya Allah, karuniakan kepada kami hati yang kuat mengingat, lisan yang ringan mengulang, dan jiwa yang tulus menjaga ilmu.”
Jika berkenan, saya siap menulis Bagian 3 untuk menggali praktik-praktik menguatkan hafalan di pesantren Nusantara, dan bagaimana warisan Al-Zarnuji itu hidup dalam keseharian santri dan masyarakat muslim Indonesia. Siap lanjut?
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
