SURAU.CO – Arus informasi hari ini bergerak begitu cepat dan deras. Namun, di balik kelimpahan data itu, daya ingat manusia justru kian melemah. Hafalan yang dulu menjadi ruh pendidikan Islam klasik perlahan tergeser oleh budaya instan. Padahal, menghafal bukan hanya soal menumpuk informasi, tetapi menyimpan cahaya ilmu dalam hati dan amal.
Salah satu karya agung yang mengupas persoalan ini adalah Ta‘limul Muta‘allim Ṭarīq at-Ta‘allum, buah pena Burhanuddin Az-Zarnuji. Ulama abad ke-6 Hijriah ini berasal dari wilayah Transoxiana (Asia Tengah), sebuah pusat intelektual Islam. Di tengah kegersangan adab dan memudarnya semangat belajar, Zarnuji hadir dengan risalah pendidikan yang menyentuh dasar-dasar akhlak dan niat dalam menuntut ilmu.
Berbeda dari kitab-kitab akademik, Ta’limul Muta’allim justru diperuntukkan bagi pelajar awal. Ia mengajarkan bahwa keberkahan ilmu bukan bergantung pada kecerdasan semata, melainkan pada kemurnian niat, kebersihan hati, serta penghormatan terhadap guru dan ilmu. Tak mengherankan jika kitab ini tetap hidup dalam tradisi pesantren dan madrasah hingga hari ini.
Menghafal Bukan Sekadar Menyimpan Tapi Menyalakan Cahaya
Dalam salah satu babnya, Al-Zarnuji menyampaikan:
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: كَثْرَةُ الذُّنُوْبِ تُنْسِي الْعِلْمَ
“Sebagian ulama berkata: Banyaknya dosa bisa membuat lupa terhadap ilmu.”
Pernyataan ini menggambarkan bahwa daya ingat tak hanya bergantung pada otak, tetapi juga hati. Ilmu adalah cahaya. Jika hati keruh karena maksiat, maka cahaya itu sulit bersemayam. Oleh karena itu, menjaga diri dari dosa menjadi fondasi penting dalam proses menghafal.
Sebagian orang kerap mengeluhkan hilangnya hafalan. Namun, alih-alih menyalahkan faktor usia atau tekanan pikiran, kita perlu merenung: apakah hati kita bersih dari maksiat digital? Apakah waktu belajar kita tak terganggu oleh gawai dan tayangan yang tak bermanfaat?
Menjaga Hafalan Lewat Gaya Hidup dan Kebiasaan Sehari-hari
Selain sisi spiritual, Zarnuji juga menekankan aspek fisik dan kebiasaan hidup yang menunjang hafalan. Ia menulis:
وَيَنْبَغِي أَنْ لاَ يُكْثِرَ أَكْلَ الْحَامِضِ وَالْكِبْرِيتِ وَالتُّفَّاحِ الْحَامِضِ
“Sebaiknya tidak banyak makan makanan yang asam, seperti cuka, belerang, dan apel asam…”
Makanan yang kita konsumsi nyatanya berpengaruh terhadap ketajaman ingatan. Dalam banyak pesantren, para santri diajarkan untuk menghindari makanan berat sebelum belajar, menjaga tidur malam yang cukup, serta bangun di waktu sepertiga malam. Semua itu bukan hanya rutinitas, melainkan disiplin hidup yang membentuk pikiran jernih.
Sebaliknya, begadang dengan kopi instan di hadapan layar biru sudah menjadi kebiasaan banyak pelajar hari ini. Tak heran jika otak terasa lelah bahkan sebelum ayat atau matan dihafal. Dalam hal ini, pesan Al-Zarnuji terasa relevan: tubuh yang terjaga akan melahirkan ingatan yang kuat.
Lingkungan Sosial dan Kekuatan Doa Guru
Tak hanya soal tubuh dan hati, Zarnuji menyinggung pula pentingnya karakter dan lingkungan sosial:
وَقِيلَ: أَكْثَرُ نِسْيَانِ الطَّالِبِ لِكَوْنِهِ قَبِيْحَ الْخُلُقِ
“Telah dikatakan bahwa pelajar yang akhlaknya buruk lebih mudah melupakan hafalannya.”
Ungkapan ini mengandung hikmah besar. Daya hafal bukan sekadar hasil kerja otak, tetapi juga buah dari hubungan sosial yang baik dengan guru, teman, dan lingkungan. Sopan santun terhadap guru, menjauhi debat kusir, serta menjaga keharmonisan hati menjadi faktor penting yang sering luput dari perhatian.
Di pesantren, banyak santri mengakui bahwa hafalan mereka terasa ringan berkat doa dan restu sang kiai. Lingkungan yang suportif baik secara spiritual maupun emosional menghidupkan semangat belajar. Maka, bertemanlah dengan orang-orang yang mencintai ilmu, karena ruh mereka akan menguatkan langkahmu.
Menjaga Hafalan Merawat Amanah Ilmu
Menghafal sejatinya adalah bagian dari menjaga amanah. Ilmu yang telah masuk ke dalam hati bukan hanya untuk dibanggakan, tetapi harus dijaga dan diamalkan. Zarnuji tidak menawarkan metode instan, melainkan membimbing pembaca untuk menempuh jalan ilmu secara perlahan dan penuh makna.
Mulailah dengan membersihkan niat. Jaga mata dan lisan. Pilih makanan yang menyehatkan. Hargai guru. Dan yang paling utama, cintai ilmu sebagaimana kita mencintai cahaya yang menuntun jalan hidup.
Menutup perenungan ini, mari lantunkan doa yang indah dari hati para pencinta ilmu:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صُدُوْرَنَا وَعَاءً لِعِلْمِكَ، وَأَذْهَانَنَا مَحَلًّا لِفَهْمِكَ، وَقَوِّنَا عَلَى حِفْظِ كِتَابِكَ وَسُنَّةِ نَبِيِّكَ
“Ya Allah, jadikan dada kami wadah ilmu-Mu, pikiran kami tempat pemahaman-Mu, dan kuatkan kami dalam menjaga hafalan Kitab-Mu dan sunnah Nabi-Mu.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
