Sejarah
Beranda » Berita » Perjanjian Sèvres: Titik Awal Keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniyah

Perjanjian Sèvres: Titik Awal Keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniyah

Perjanjian Sèvres: Titik Awal Keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniyah
Perjanjian Sèvres: Titik Awal Keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniyah

SURAU.CO – Sejarah umat Islam tidak hanya mencatat kemenangan-kemenangan gemilang, tetapi juga menyimpan luka-luka mendalam yang menyuguhkan pelajaran abadi. Salah satu luka paling tragis dalam sejarah modern Islam hadir dalam bentuk Perjanjian Sèvres, sebuah kesepakatan politik yang secara resmi meruntuhkan pilar terakhir Kekhalifahan Utsmaniyah dan menyerahkan dunia Islam ke tangan para penjajah. Perjanjian ini bukan sekadar kontrak diplomatik biasa, tetapi menjadi titik balik yang menandai keterpecahan dan penjajahan menyeluruh terhadap umat Islam.

Latar Sejarah Perjanjian

Setelah Kekaisaran Utsmaniyah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I, negara-negara Barat yang tergabung dalam Blok Sekutu memaksakan syarat-syarat perdamaian yang sangat berat kepada mereka. Pada 10 Agustus 1920, para wakil Kekhalifahan Utsmaniyah menandatangani perjanjian itu di kota Sèvres, Prancis, dengan para delegasi dari Inggris, Prancis, Italia, dan Yunani.

Negosiasi yang berlangsung di Sèvres sepenuhnya menunjukkan dominasi mutlak Sekutu. Para delegasi Utsmaniyah datang tanpa kekuatan tawar-menawar dan para pemenang perang mengambil seluruh keputusan secara sepihak.

Isi Perjanjian: Penjajahan yang Dilegalkan

Para pihak dalam Perjanjian Sèvres menyepakati beberapa poin penting, yang secara sistematis melucuti kekuasaan dan kedaulatan Kekhalifahan Utsmaniyah:

  1. Pecahnya Wilayah Islam: Prancis merebut wilayah Suriah dan Lebanon, sementara Inggris mengambil Palestina, Irak, dan Transyordania.

    Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

  2. Kemerdekaan Armenia dan Kurdistan: Sekutu mendeklarasikan pembentukan negara Armenia dan Kurdistan secara sepihak.

  3. Kontrol Internasional atas Selat Bosphorus: Para penjajah menempatkan selat penting antara Asia dan Eropa di bawah pengawasan kekuatan asing.

  4. Pembatasan Militer Utsmaniyah: Sekutu membatasi pasukan Utsmaniyah hanya dalam jumlah ribuan tanpa mengizinkan keberadaan angkatan laut.

Isi perjanjian tersebut bukan hanya menjelaskan strategi geopolitik semata, tetapi juga menunjukkan bentuk nyata dari pengingkaran terhadap kedaulatan umat Islam. Almarhum Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi menegaskan bahwa Perjanjian Sèvres merupakan “titik kulminasi dari kejatuhan politik umat yang sudah lama kehilangan ruh keilahiannya.”

Reaksi dan Perlawanan

Rakyat Turki merespons perjanjian ini dengan kemarahan besar. Mereka melihatnya sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa dan nilai-nilai Islam. Mustafa Kemal Atatürk lalu memimpin gerakan nasionalis dan membentuk pemerintahan tandingan di Ankara. Ia mengobarkan Perang Kemerdekaan Turki (1919–1923) dengan tujuan mengusir pasukan asing dan menolak legitimasi kekuasaan Sultan yang telah tunduk kepada Sekutu.

Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

Melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi, Atatürk menyatukan kekuatan rakyat, membangun kembali militer nasional, dan secara bertahap mengusir kekuatan asing dari wilayah Anatolia. Akhirnya, perjuangan tersebut membuahkan hasil. Atatürk dan para pemimpin nasionalis berhasil membatalkan Perjanjian Sèvres dan menggantinya dengan Perjanjian Lausanne pada tahun 1923.

Dampak Terhadap Dunia Islam

Perjanjian Sèvres tidak hanya mengubah peta wilayah kekuasaan umat Islam, tetapi juga menghancurkan simbol terpenting kekuatan politik Islam: institusi Kekhalifahan. Ketika Sultan Mehmed VI menyetujui perjanjian tersebut, banyak pihak memandangnya sebagai pengkhianat yang tunduk kepada kekuatan asing. Akibatnya, legitimasi kekhalifahan pun mulai runtuh.

Pada tahun 1924, Atatürk—yang telah menggantikan sistem kesultanan dengan republik sekuler—membubarkan lembaga Khilafah secara resmi. Bagi umat Islam, peristiwa ini menjadi luka spiritual dan politik yang mendalam. Untuk pertama kalinya sejak masa Khulafaur Rasyidin, umat Islam kehilangan kepemimpinan politik global yang menyatukan mereka.

Hingga hari ini, banyak negara-negara Islam masih hidup dalam kondisi tercerai-berai dan mengalami krisis kepemimpinan. Kondisi ini merupakan warisan langsung dari perjanjian-perjanjian kolonial seperti Perjanjian Sèvres.

Penutup: Saatnya Bangkit dengan Iman dan Ilmu

Perjanjian Sèvres memang menjadi babak kelam dalam sejarah panjang umat ini, tetapi babak itu sekaligus menyimpan banyak pelajaran penting. Umat Islam harus memahami bahaya besar dari ketergantungan kepada kekuatan asing, pentingnya persatuan, dan betapa rapuhnya kekuatan umat ketika mereka kehilangan arah tanpa visi ilahiyah.

Kitab Taisirul Kholaq: Terobosan Pembelajaran Akhlak Metode Salafiyah

Kini, umat Islam memiliki peluang untuk bangkit kembali. Kebangkitan itu tidak bergantung pada senjata, tetapi pada ilmu, kesadaran, solidaritas, dakwah, dan penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Umat Islam tidak boleh terus-menerus mengenang Sèvres hanya sebagai tragedi sejarah, tetapi harus menjadikannya panggilan spiritual untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, serta membina generasi yang beriman, cerdas, dan siap memikul amanah umat.

“Jika kalian menjauh dari agama Allah, maka Allah akan menjauh dari kalian. Dan jika kalian meninggalkan persatuan, maka kehinaan akan menghampiri kalian.”
Hasan al-Banna


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement