SURAU.CO – Ilmu bukan sekadar hasil dari membaca dan menghafal. Ia tumbuh subur ketika hati bersih, pikiran jernih, dan jalan hidup dijaga dari syubhat. Dalam Ta’limul Muta’allim, Burhanuddin Al-Zarnuji menekankan bahwa sikap wara’ menjauhi perkara yang meragukan adalah fondasi penting agar ilmu mendekatkan kita kepada Allah, bukan sekadar menambah kesombongan atau kepuasan intelektual.
Kitab ini ditulis oleh Burhanuddin Al-Zarnuji, ulama asal Asia Tengah pada abad ke-6 Hijriah. Beliau pernah berguru kepada tokoh-tokoh besar seperti Burhanuddin Al-Marghinani dan Najmuddin Al-Kubra. Karya ini bukan hanya panduan akademik, tetapi juga panduan adab, yang sangat relevan bagi para santri, pelajar, hingga siapa pun yang menapaki jalan ilmu.
Tidak mengherankan jika kitab ini masih diajarkan di banyak pesantren hingga kini. Ia telah menjadi jembatan penting antara ilmu, adab, dan keberkahan. Dalam tradisi pendidikan Islam, Ta’limul Muta’allim bukan sekadar dibaca, melainkan diwariskan sebagai pedoman hidup.
Wara’ Bukan Ekstrem, Tapi Bentuk Takwa
Imam Al-Zarnuji menyatakan:
الْوَرَعُ أَصْلٌ عَظِيْمٌ مِنْ أُصُولِ الدِّيْنِ، وَهُوَ نَوْعٌ مِنَ التَّقْوَى.
“Wara’ adalah fondasi besar dari pokok agama, dan termasuk bagian dari takwa.”
Wara’ bukan sikap berlebihan atau menutup diri dari dunia. Ia justru melatih ketelitian dan kehati-hatian dalam memilih, memakan, hingga mencari ilmu. Dalam konteks pendidikan, wara’ mengajak kita untuk menelusuri asal muasal rezeki, kejujuran saat ujian, serta ketulusan dalam membaca buku.
Banyak pelajar hari ini bisa mendapatkan nilai tinggi, tetapi belum tentu prosesnya jujur. Di sinilah wara’ menjadi penting: ia mendorong kita belajar bukan untuk mendapat pujian, melainkan untuk membersihkan diri dan mencari ridha Tuhan.
Ilmu Tanpa Wara’ Akan Kehilangan Arah
Lebih lanjut, Al-Zarnuji memberi peringatan:
العِلْمُ لاَ يَنْفَعُ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ الْوَرَعُ
“Ilmu tidak akan bermanfaat jika tidak disertai wara’.”
Ilmu yang tidak dilandasi kejujuran bisa melahirkan arogansi. Banyak yang terlihat pandai, tetapi tidak mampu menahan lidah dari menyakiti orang lain. Ada pula yang menguasai banyak referensi, namun tidak mencerminkan kebijaksanaan dalam kehidupan.
Di sinilah peran wara’ sebagai pagar batin. Ia menjaga agar ilmu tidak melenceng dari tujuannya yang luhur. Dalam konteks guru, murid, atau penulis sekalipun, keteladanan moral menjadi faktor utama yang membuat ilmu lebih dari sekadar teori.
Tantangan Baru: Mewariskan Wara’ di Era Digital
Kemudahan teknologi memberi akses luas pada informasi, tetapi juga membuka celah pada pelanggaran etika. Dalam situasi seperti ini, sikap wara’ harus lebih ditekankan.
Sebagai contoh, pelajar bisa menyalin skripsi dari internet tanpa merasa bersalah. Sementara itu, santri yang aktif di media sosial bisa tergoda membangun citra tanpa kesungguhan isi. Maka dari itu, menjaga wara’ menjadi penting: tidak hanya soal jujur dalam akademik, tapi juga dalam cara berbagi ilmu, berdakwah, dan berdiskusi.
Wara’ mengajarkan kita untuk tidak mencaci dalam debat, tidak memanipulasi data, serta tidak menjadikan ilmu sebagai alat popularitas. Ia membimbing agar kita tetap merendah, sekaligus menjaga kemurnian niat belajar.
Cermin Keikhlasan dan Jalan Menuju Keberkahan
Sebelum membuka buku, pastikan niat telah lurus. Sebelum menulis atau berbicara, latih kejujuran dan kerendahan hati. Wara’ adalah sikap batin yang tak terlihat, tetapi akan memancar dalam perilaku.
Ilmu sejati hanya akan bersemayam dalam dada yang bersih. Oleh karena itu, mari memohon agar Allah membersihkan hati kita, memperindahnya dengan takwa dan wara’, serta menjadikan ilmu sebagai pembela, bukan penuduh.
Doa:
اللهم طهر قلوبنا من الرياء، وزينها بالتقوى والورع، واجعل العلم حجة لنا لا علينا.
“Ya Allah, sucikan hati kami dari riya’, hiasilah dengan takwa dan wara’, dan jadikan ilmu sebagai pembela kami, bukan penuduh kami.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
