SURAU.CO – Belakangan ini, berbagai gerakan sosial berukuran besar sering kali membawa muatan politik yang tersembunyi. Salah satunya terlihat pada gerakan bela Palestina yang merebak ke berbagai kota besar pada Februari 2025. Masyarakat menunjukkan kepedulian yang luar biasa karena membela Palestina berarti membela kemanusiaan. Namun demikian, semangat militansi yang tumbuh dari gerakan semacam ini seharusnya kita arahkan pada tujuan luhur, bukan justru memecah belah bangsa.
Di tengah geliat solidaritas tersebut, muncul kekhawatiran ketika pihak tertentu menyusupkan propaganda ideologi. Sebagai contoh, beberapa narasi mulai menonjolkan anggapan bahwa sistem khilafah lebih unggul daripada demokrasi. Dalam penelusuran penulis, muncul artikel berjudul “Sistem Pemerintahan Khilafah Memang Menakjubkan!” yang dimuat oleh portal Muslimahnews.net. Tulisan ini memuat banyak agitasi serta menggiring opini publik menuju ideologi ekstrem yang tidak sejalan dengan prinsip keberagaman.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengajukan pertanyaan kritis: benarkah sistem khilafah menjadi satu-satunya sistem pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam? Apakah demokrasi benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis menelusuri kembali warisan keislaman yang agung dan menemukan satu contoh nyata: Piagam Madinah.
Piagam Madinah: Landasan Berbangsa dan Bernegara
Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beliau menjumpai masyarakat yang sangat majemuk. Kota itu terjadi oleh berbagai suku, agama, dan golongan yang sebelumnya sering terlibat konflik. Meskipun beliau mempunyai jabatan sebagai nabi dan pemimpin, beliau tidak memaksakan kehendaknya. Sebaliknya, beliau mengajak seluruh elemen masyarakat untuk duduk bersama dan menyusun perjanjian damai.
Melalui musyawarah yang inklusif, Rasulullah SAW bersama berbagai pihak melahirkan Piagam Madinah. Dokumen ini mengatur hubungan antarwarga secara adil dan setara. Kecerdasan Rasulullah menunjukkan luar biasa sebagai pemimpin dan negarawan. Beliau tidak menempuh jalur otoriter, melainkan menawarkan keadilan dan kerja sama.
Nilai-Nilai Fundamental dalam Piagam Madinah
Piagam Madinah mengusung prinsip-prinsip mendasar yang menjamin keamanan dan keadilan. Beberapa di antaranya meliputi:
- Menegakkan perdamaian dan kerja sama antarkelompok.
- Melindungi harta dan nyawa seluruh penduduk Madinah.
- Menjamin kebebasan beragam bagi semua pihak.
- Menghapus ketidakadilan tanpa membedakan latar belakang suku atau keyakinan.
Dokumen ini tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tetapi juga bagi kaum Yahudi dan kelompok-kelompok lainnya. Rasulullah mempertemukan mereka dalam satu komunitas bernama umatun wahidah (umat yang satu). Langkah ini menciptakan lompatan besar dalam sejarah politik dan sosial umat manusia.
Struktur Piagam Madinah yang Inklusif dan Progresif
Piagam Madinah tersusun dari sepuluh bagian utama yang saling terhubung. Bagian pertama pentingnya membangun kesatuan umat. Bagian kedua hingga kelima mengatur hak asasi, kebebasan beragama, kewajiban menjaga persatuan, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Dalam piagam itu, Rasulullah SAW mengakui hak kaum Yahudi untuk menjalankan agamanya dan mengajak mereka ikut membela Madinah jika kota berada dalam ancaman. Selanjutnya, bagian keenam hingga kedelapan memuat ketentuan tentang tanggung jawab warga negara, perlindungan negara, dan mekanisme penyelesaian konflik berdasarkan hukum yang disepakati bersama.
Pada bagian terakhir, Rasulullah menegaskan bahwa keadilan harus berlaku secara menyeluruh. Beliau melarang siapa pun menyalahgunakan piagam demi melindungi pihak yang bersalah. Dengan demikian, beliau menunjukkan integritas hukum yang luar biasa dalam kehidupan bernegara.
Pengakuan Dunia terhadap Piagam Madinah
Berbagai sarjana Barat, seperti HAR. Gibb, W. Montgomery Watt, dan Muhammad Marmaduke Pickthall, mengapresiasi kejeniusan Rasulullah SAW dalam menyusun Piagam Madinah. Mereka menyebut dokumen tersebut sebagai konstitusi pertama di dunia yang memuat prinsip-prinsip toleransi, keadilan sosial, dan kesetaraan dalam satu komunitas multikultural.
Lebih dari itu, Piagam Madinah menjunjung enam nilai utama yang sangat relevan hingga hari ini:
- Al-Ikha’ (persaudaraan),
- Al-Tasamuh (toleransi),
- Al-Musawah (persamaan),
- Al-‘Adalah (keadilan),
- Al-Ta’awun (tolong-menolong), dan
- Al-Tasyawur (musyawarah).
Nilai-nilai tersebut membentuk fondasi yang kokoh dalam mewujudkan masyarakat yang damai, setara, dan inklusif.
Relevansi Piagam Madinah bagi Indonesia
Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman yang tinggi, memiliki tantangan serupa dengan Madinah pada masa Rasulullah. Keberagaman agama, suku, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang wajib kita jaga bersama. Oleh karena itu, di tengah munculnya narasi-narasi ekstrem, kita harus meneladani Rasulullah SAW dalam membangun persatuan melalui dialog dan musyawarah.
Demokrasi Indonesia selaras dengan nilai-nilai Islam. Konsep keadilan sosial, partisipasi rakyat, dan perlindungan terhadap hak-hak minoritas mencerminkan semangat Piagam Madinah. Justru, sistem ini menjadi wadah terbaik dalam mewujudkan cita-cita keislaman yang penuh rahmat dan kasih sayang.
Merawat Warisan Nabi: Toleransi dan Persatuan
Kita tidak boleh membiarkan Piagam Madinah tinggal sebagai dokumen sejarah semata. Kita harus menjadikannya sebagai inspirasi dalam menyikapi isu-isu kontemporer, termasuk godaan ideologi transnasional yang merongrong kedaulatan bangsa.
Sebagai umat Islam, kita mempunyai tanggung jawab besar untuk merawat warisan Nabi berupa toleransi dan persatuan. Kita perlu melawan setiap narasi yang mengancam keharmonisan sosial, apalagi yang menganut kedok agama.
Rasulullah SAW telah menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Melalui Piagam Madinah, beliau membuktikan bahwa kehidupan damai dalam masyarakat multikultural bukan sekedar harapan, melainkan sebuah keniscayaan yang lahir dari prinsip-prinsip Islam itu sendiri.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
