Surau.co – Di Indonesia, muslim laki-laki terbiasa menggunakan peci atau kopiah saat melaksanakan shalat. Di jazirah arab, umumnya laki-laki mengenakan sorban atau imamah. Sementara di Afrika Barat, mereka mengenakan Kufi atau penutup kepala bulat yang terbuat dari bahan tenun atau kain brokat.
Perbedaan jenis penutup kepala saat shalat tersebut menyesuaikan tradisi di masing-masing negara. Lalu pertanyaannya, apakah hal itu bagian dari rukun shalat atau hanya sebatas aksesoris pemanis semata?
Yang Wajib adalah Menutup Aurat
Dari aspek rukun, yang wajib dari pelaksanaan shalat adalah menutup aurat, selain terbebas dari najis. Untuk ‘kaum adam’, bagian tubuh yang termasuk aurat terletak dari pusar hingga lutut. Hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Qasim dalam kitab Fathul Qarib, halaman 12 :
“Aurat lelaki ialah anggota tubuh antara pusar hingga lutut, dan aurat perempuan dalam shalat ialah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan.”
Meski demikian, tidak hanya menutup aurat, islam juga menganjurkan kita untuk melaksanakan shalat dengan pakaian yang pantas, bahkan yang indah. Anjuran itu tercantum dalam Al-Quran Surat Al A’raf ayat 31.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31).
As Sa’di dalam kitab Taisir Karimir Rahman menjelaskan maksud ayat itu adalah perintah untuk menutup aurat ketika hendak melakukan semua shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Karena menutup aurat itu memperindah raga, sebagaimana membuka aurat itu membuat raga tampak buruk dan jelek. Dan termasuk dalam kandungan ayat juga, bahwa makna az zinah di sini adalah yang lebih dari sekedar menutup aurat, yaitu pakaian yang bersih dan bagus.
Menutup Kepala Anjuran Nabi
Secara historis, menutup kepala saat shalat adalah kebiasaan atau keseharian Rasulullah SAW. Nabi Muhammad sering kali mengenakan penutup kepala seperti imamah atau sorban dalam aktivitas sehari-hari, termasuk saat shalat. Dalam hadits riwayat Bukhari, disebutkan:
أنه كان يُصلِّي في العِمامة
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat dengan memakai imamah” (HR. Bukhari 205, Muslim 1359)
Dari hadits ini, para ulama sepakat bahwa Rasulullah pernah shalat dalam keadaan memakai penutup kepala. Namun, yang menjadi perdebatan adalah apakah itu menunjukkan kewajiban, kesunahan, atau hanya kebiasaan budaya yang tidak berkaitan langsung dengan hukum ibadah.
Empat imam mazhab memiliki kesamaan pendapat jika mengenakan sorban, peci atau penutup kepala apapun bukanlah kewajiban. Memakai penutup kepala saat shalat hanya dipandang sebagai bagian dari anjuran menjaga kesopanan dan adab, bukan kewajiban.
Sehingga shalat seseorang tetap sah meski tidak memakai penutup kepala. Namun, memakai penutup kepala akan lebih utama. Karena itu mencerminkan rasa hormat kita saat berdiri menghadap Allah SWT.
Penutup Kepala sebagai Nilai Budaya
Tak bisa dimungkiri, penggunaan penutup kepala dalam shalat saat ini sangat dipengaruhi budaya lokal. Di banyak wilayah Nusantara, peci hitam menjadi simbol nasional dan religius. Orang yang shalat tanpa peci kadang dipandang kurang sopan, meski dalam kacamata hukum syariat itu bukan masalah fatal.
Di sisi lain, di beberapa negara, pria shalat dengan kepala terbuka tidak menimbulkan pertanyaan atau kecurigaan. Artinya, persepsi soal penutup kepala banyak dibentuk oleh nilai-nilai budaya dan kebiasaan masyarakat.
Pada intinya, Islam memberi kelonggaran dalam hal ini. Yang terpenting, kita harus melaksanakan shalat dengan kebersihan hati, khusyuk, serta kesadaran penuh untuk penghormatan kepada Allah. Tentu dengan tatacara yang tidak bertentangan dengan syariat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
